SAMBUTAN REKTOR WISUDA SARJANA, MAGISTER, DAN DOKTOR KE-49 UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA TAHUN 2022

Oleh: Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd
(Rektor UIN RM Said Surakarta)

Yth. Ketua Senat beserta Anggota

Yang Berbahagia Wisudawan/Wisudawati

Assalamu’alaikum wr. wb.

Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan taufik-Nya, sehingga hari ini kita semua dapat menghadiri Wisuda ke-49 UIN Raden Mas Said Surakarta dalam keadaan sehat wal– ‘afiat. Amin ya rabbal ‘alamin.

Tema wisuda kali ini adalah “Peran PTKIN dalam Menghadapi Perubahan Iklim”. Pilihan tema ini bertujuan untuk mendorong kita menyadari, mengenali, dan melaksanakan agenda-agenda mitigasi krisis lingkungan akibat perubahan iklim pada level yang bisa kita lakukan sesuai fungsi kita sebagai kelompok masyarakat strategis di perguruan tinggi Islam. Secara sepintas, pilihan tema ini terasa tidak urgen karena kita sebenarnya dihadapkan pada situasi krisis, yakni: pandemi Covid-19 hampir dua tahun lebih yang telah merenggut korban nyawa, harta, dan air mata. Namun, sebenarnya, munculnya krisis pandemi mikroba tidak terlepas dari salah satu ekses perubahan iklim. Itulah sebabnya, literasi tentang perubahan iklim berikut ekses-eksesnya perlu menjadi kesadaran ilmiah dan relijiusitas kita sebagai manusia modern yang terus tumbuh dengan problem-problem yang kian kompleks serta saling ketergantungan.

Ada tiga ancaman utama umat manusia di masa kini dan masa depan, yakni: mikroba, perang nuklir, dan perubahan iklim. Tiga ancaman ini sebagian telah terjadi dan kita rasakan, namun dalam batas-batas tertentu, telah dapat dilalui meskipun dengan korban-korban yang terus berjatuhan. Diakui, di setiap umat manusia melewati masa-masa krisis, selalu ada hikmah yang menyertai, yakni: munculnya kerjasama antar umat manusia secara lebih baik lagi; ditemukannya sains dan teknologi serta inovasi-inovasi sebagai respons penanganan krisis; meningkatnya spiritualitas umat manusia sehingga bersikap lebih arif dan rendah hati dalam memperlukan makhluk hidup serta lingkungannya; dan tumbuhnya kesadaran akan keterikatan manusia dengan tempat tinggalnya di bumi yang merupakan satu-satunya warisan untuk kehidupan. Sekalipun begitu, hikmah-hikmah akibat krisis oleh perubahan iklim tak akan muncul lagi jika telah mencapai tahap yang tidak bisa balik lagi, misalnya, karena suhu bumi yang terus meningkat sehingga berdampak pada hilangnya kelayakan bumi sebagi tempat tinggal bersama. Argumen-argumen ini telah banyak dijelaskan oleh berbagai penelitian dan semestinya PTKIN, termasuk UIN Raden Mas Said Surakarta ikut serta dalam berkontribusi melalui kegiatan-kegiatan ilmiah yang memiliki relevansi dengan isu-isu perubahan iklim.

Bagi masyarakat tertentu yang sudah sangat maju, dampak-dampak perubahan iklim telah diantisipasi melalui pendidikan, inovasi-inovasi teknologi, investasi-investasi riset, dan lompatan-lompatan alternatif mencari dunia baru di luar planet bumi. Langkah-langkah masyarakat maju tersebut memang terlalu mewah dan tidak terpikirkan oleh masyarakat kita yang lebih sibuk bertikai soal-soal agama. Maka tak heran, jika terjadi perubahan iklim ekstrem hanya negara-negara maju yang dapat beradaptasi dan mampu menyelamatkan diri. Fakta-fakta ini, secara perlahan harus menjadi kesadaran kita bersama untuk memulai agenda-agenda Pendidikan yang responsif terhadap krisis lingkungan dan perubahan iklim.

Bagaimana peran PTKIN dimainkan dalam ikut serta memitigasi krisis lingkungan akibat perubahan iklim? Menurut saya, ada sekurang-kurangnya tiga tindakan yang bisa dilakukan. Pertama, memasukkan isu-isu krisis lingkungan dan perubahan iklim dalam kurikulum Pendidikan kita dalam balutan teologis. Kedua, mendorong tema-tema riset mahasiswa baik S1, S2, dan S3 (termasuk para dosen) dengan pendekatan perspektif lingkungan dan perubahan iklim. Apapun judul risetnya selalu didekati dengan perspektif lingkungan dan perubahan iklim, dan ketiga, terus-menerus memupuk pandangan dunia komunitas kampus yang responsif terhadap lingkungan dan perubahan iklim sehingga diharapkan menjadi agen-agen efektif bagi gerakan mitigasi lingkungan hidup.

Itulah tiga peran PTKIN untuk terlibat dalam menghadapi isu-isu krisis lingkungan dan perubahan iklim. Sebagai masyarakat strategis, kampus punya tanggung jawab yang lebih berkelas yang keluar dari cangkang kebiasaan, seperti keberpihakan pada masalah-masalah krisis lingkungan hidup. Selama ini, masalah-masalah lingkungan hidup hanya menjadi kesadaran kecil sebagian dari kita. Kita sering menganggap bahwa bencana-bencana tak punya kaitan dengan sikap dan tindakan umat manusia yang tidak ekologis dan hanya menganggapnya sebagai hukuman Tuhan akibat dosa-dosa manusia. Tak heran jika kemudian penyelesaiannya bersifat teologis, misalnya, dengan rukyah dan doa-doa.

Sambutan kami ini, hanyalah letupan-letupan kecil tentang seruan mencintai lingkungan hidup sebaik-baiknya dan mendorong kita semua untuk menjadikan ketokohan kita (jika ada) untuk memengaruhi, menyebarkan, menuliskan, dan melaksanakan agenda-agenda mitigasi lingkungan hidup sebesar yang bisa kita lakukan.

Di kesempatan yang baik ini, kami mengajak para wisudawan-wisudawati menjadi bagian dari proyek visioner global menyelamatkan warisan bumi yang satu-satunya ini melalui peran kita masing-masing. Seruan yang terkesan bombastis ini, kelak akan menjadi fakta yang memaksa kita semua saling bahu-membahu menghadapinya dengan penuh air mata dan kerendahan hati.

Akhirnya, atas nama pimpinan kami mengucapkan selamat kepada para wisudawan/wati atas telah selesainya perjalanan kuliah Saudara-Saudara di kampus tercinta ini. Semoga Saudara-Saudara segera mendapatkan pekerjaan, jodoh, dan masa depan yang lebih baik.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Sukoharjo, 12 Maret 2022

Rektor,

Prof. Dr. H. Mudofir Abdullah, S.Ag., M.Pd.

SAMBUTAN REKTOR PADA WISUDA SARJANA, MAGISTER, DAN DOKTOR KE-48 UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd
(Rektor UIN RM Said Surakarta)

Yth. Ketua, Sekretaris, dan segenap Anggota Senat
Yth. Bupati Sukoharjo atau yang mewakili
Yth. Dan Kopassus Kartasura
Yth. Dan Lanud Adi Soemarmo Surakarta
Yth. Kankemenag Sukoharjo atau yang Mewakili
Yth. Kepala/Pimpinan Bank-bank Mitra
Yth. Orang Tua/Wali Wisudawan/Wisudawati
Yang Berbahagia Wisudawan-Wisudawati ke-48

Assalamu’alaikum wr. wb.

Di hari yang berbahagia ini, marilah kita hadirkan diri kita sepenuhnya untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT., Pencipta Semesta yang dengan limpahan  taufik dan inayah-Nya,  kita semua dapat hadir dalam prosesi Wisuda Sarjana, Magister, dan Doktor ke-48 UIN Raden Mas Said Surakartadalam keadaan sehat wal-afiat.

Tidak lupa, kita sampaikan shalawat dan salam kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Melalui Baginda Rosulullah Muhammad SAW itulah, kita bisa menikmati rahmat hidayah dan kecerlangan ilmu yang menerangi semesta ini.

Ada dua kebahagiaan dalam Wisuda Sarjana, Magister, dan Doktor ke-48 ini. Pertama, bahwa wisuda hari ini adalah wisuda yang pertama kali diadakan setelah IAIN Surakarta berubah status dan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta. Dengan berubahnya status menjadi UIN, maka peran Tridharma perguruan tinggi, yaitu Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengembangan , dan Pengabdian Kepada Masyarakat bisa lebih maksimal.

Kedua, bahwa wisuda hari ini adalah wisuda pertama yang dilaksanakan secara luring di masa pandemi Covid-19.

Wisuda hari ini mengambil tema Menuju Normalisasi Perkuliahan Tatap Muka untuk Peningkatan Mutu Lulusan yang Berdaya Saing”. Tema ini menjadi penting dengan berpijak dari evaluasi selama kurun hampir 2 tahun pembelajaran dilakukan secara daring (dalam jaringan). Ternyata, selama pembelajaran daring, muncul  permasalahan yang dihadapi mahasiswa yang dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu akademik, pribadi, keluarga, dan sosial.

Jika diuraikan pada ketegori akademik, ternyata mahasiswa menghadapi masalah kurang jelas memahami materi perkuliahan, jaringan internet yang terkendala dan terbatas  karena tidak semua mahasiswa memiliki keleluasaan mengakses internet. Keterbatasn akses internet tersebut berdampak pada  keterbatasan mencari informasi dan mengerjakan tugas yang diberikan dosen.

Selain faktor akademik di atas, masih ada faktor pribadi seperti bosan di rumah dan kesepian, faktor keluarga dan faktor sosial. Jika diuraikan akan sangat panjang. Pada intinya bahwa tantangan yang muncul dari perkuliahan daring ternyata lebih besar dibandingkan luring atau tatap muka langsung.

Pelajaran lain dari pandemi covid 19 ini adalah bahwa ternyata dunia bisa berubah sangat cepat diluar faktor yang diperhitungkan manusia. Pandemi ini, seperti yang sama-sama kita ketahui bahkan kita rasakan, mengakibatkan sektor ekonomi jatuh, perusahaan bangkrut dan mengurangi tenaga kerjanya. Banyak sekali jenis usaha yang tutup. Detak jarum aktifitas dunia melambat. Sisi lain, dunia pendidikan tinggi menghasilkan lulusannya. Kondisi ini tentunya bisa membuat stress lulusan perguruan tinggi. Karenanya, lulusan perguruan tinggi seperti lulusan Universitas Islam Negeri Raden Mas Said ini harus berdaya saing tinggi.

Selain faktor covid 19 di atas, perubahan mendasar yang bisa diperhitungkan manusia adalah adanya disrupsi teknologi sehingga mengubah pola produksi, pola manajemen, pola pemasaran bahkan sistem pembayaran. Itulah revolusi industri 4.0 yang lahir dari perpaduan sangat masif teknologi informasi, robotika dan internet. Istilah revolusi industri ini baru lahir tahun 2016 dan dipopulerkan oleh Klaus Schwab dalam bukunya “Revolusi Industri Keempat”. Waktu itu, Klaus Schwab menjabat sebagai ketua World Economic Forum.

Secara singkat bisa disimpulkan bahwa dunia sekarang ini telah disadarkan berada dalam pendulum ketidakpastian dan perubahan mendasar akibat perkembangan teknologi. Pertanyaan yang harus dijawab adalah kita sebagai manusia yang diberi mandat sebagai khalifah apakah akan menjadi korban ataukah menjadi pengendali dari detak jarum perubahan dunia.

Karenanya kita perlu mengingat lagi dua ayat Al Qur’an berikut ini. Q.S. Al-An’am: 165, yang artinya “Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi.” Demikian pula dalam Q.S. An-Naml: 62 Allah SWT juga berfirman, yang artinya “Dan (Dialah) yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi.”

Peran sebagai khalifah di Bumi akan berhasil jika kita memiliki keunggulan dalam bidang keilmuan. Dan pusat keunggulan ilmu adalah dunia pendidikan tinggi, seperti yang kita jalani sekarang ini.

Ada empat tantangan yang dihadapi oleh pendidikan tinggi di revolusi global sekarang ini.  1) High quality of human resources untuk mendorong pendidikan menjawab berbagai tantangan baru; 2) High capacity of management, yaitu meningkatkan kapasitas manajemen pendidikan; 3) Internasionalisasi, yaitu terbukanya perguruan tinggi dan networking yang dibangun oleh perguruan tinggi; 4) Daya saing global, yaitu memposisikan perguruan tinggi sejajar dengan perguruan tinggi dunia.

Perguruan tinggi memiliki posisi strategis di dalam membentuk manusia yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi. Strategi untuk mewujudkan itu melalui pola pendidikan yang tepat dan efektif dalam rentang waktu terbatas. Perkuliahan tatap muka yang nantinya akan dilaksanakan menjadi cara terbaik untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, sekaligus menjawab tantangan perguruan tinggi di era revolusi global.

Akhir kata, sebagai pimpinan Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, saya mengucapkan selamat kepada wisudawan-wisudawati ke-48 ini. Jangan pernah lelah apalagi berhenti untuk terus belajar. Ingatlah bahwa “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mujadilah: 11)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Surakarta, 24 November 2021

Rektor,


Prof. Dr. H. Mudhofir Abdullah, S.Ag., M.Pd.


PERGERAKAN DI JANTUNG VORSTENLANDEN (Sejarah Sosial Masyarakat Surakarta Era Kolonial)

Oleh: Prof. Dr. H. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama


Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Institut Agama Islam Negeri Surakarta Tanggal 28 September 2021

Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam Pada Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua.


Yth. Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta, Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd, Yth. Ketua Senat UIN Raden Mas Said Surakarta, Yth. Bapak Ibu Anggota Senat IAIN Surakarta, Yth Kepala Biro AUAK UIN Raden Mas Said Surakarta, Para Dekan dan Wakil Dekan di lingkungan UIN Raden Mas Said Surakarta, Direktur Pasca Sarjana, Para Kepala Unit, Kaprodi, seluruh dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan UIN Raden Mas Said Surakarta, serta seluruh hadirin dan tamu undangan, yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, yang saya muliakan.

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga acara pengukuhan guru besar atas nama saya dapat dilangsungkan dengan khidmad walaupun di musim pandemic covid-19. Semoga Allah Swt senantiasa melimpahkan keberkahan berupa Kesehatan kepada bapak/ibu dan hadirin yang hadir dalam acara pengukuhan ini, baik yang mengikuti di Graha ini maupun yang via daring.

Shalawat dan salam semoga tetap atas junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya min al-dhulumat ila an-nuur, dari pemikiran dan perkataan yang gelap dan menggelapkan menuju pemikiran dan perkataan yang cerah dan mencerahkan, dari perilaku primitif menuju perilaku yang rasional.

Atas berkah rahmat Allah SWT dan do‟a kedua orang tua dan kakek nenek saya, istri dan anak-anak saya, serta para guru dan orang-orang baik di sekitar saya, alhamdulillah saya dapat mencapai tahapan tertinggi dalam dunia akademik dengan gelar Guru Besar setelah melalui serangkaian perjalan karir akademik sebagai dosen luar biasa IAIN Walisongo Fakultas Ushuluddin Surakarta tahun 1996 yang kemudian menjadi dosen tetap di STAIN Surakarta yang tahun 1997 yang kemudian beralih status menjadi IAIN Surakarta, dan pada tahun 2021 beralih status menjadi UIN Raden Mas Said Surakarta.

Pidato pengukuhan ini merupakan renungan saya sebagai dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Semoga pidato akademik ini dapat memberikan sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang sejarah Peradaban Islam. Tulisan ini setidaknya memberikan konrtribusi dalam mengisi penggalan sejarah yang kosong dalam dalam bentangan narasi kronologis-diakrtonis dalam sejarah nasional maupun sejarah Islam di Indonesia.

Hadirin yang saya hormati, ijinkan saya menyampaikan pidato pengukuhan guru besar dengan judul Pergerakan di Jantung Vorstenlanden (Sejarah Sosial Masyarakat Surakarta Era Kolonial)

PENDAHULUAN

Di dalam sejarah pergerakan nasional, Surakarta merupakan salah satu kota penting di Jawa. Surakarta pada era kolonial sering disebut dengan Vorstenlanden yang berarti Land of the Kings ( Tanah Raja-Raja ). Vorstenlanden menjadi wilayah teritorial Pemerintah Hindia Belanda yang diorganisir oleh pejabat kolonial yang disebut sebagai Residen, sehingga Surakarta menjadi sebuah kota Karesidenan yang memiliki kekhususan yaitu adanya sifat semi otonom. Surakarta merupakan kota tradisional yang memiliki jejak-jejak sejarah yang terkait dengan dinamika pergerakan Indonesia dewasa ini. Dinamika pergerakan di Surakarta menarik untuk dikaji karena Surakarta akhir abad IX dan awal abad XX merupakan kota yang paling bergerak di Indonesia yang mengilhami pergerakan di daerah lain. Sejarah Surakarta memiliki dinamika yang luas, baik di dalam konteks budaya, sosial, ekonomi, politik, dan agama. Surakarta telah menjadi miniatur penting bagi eksistensi sosial masyarakat Jawa yang hirarkis dan sekaligus menjadi ruang bagi pergerakan politik dan keagamaan, baik yang ortodok, modernis, maupun revolusioner.

Seluruh paparan sejarah menggunakan metode sejarah. Tahap heuristik dilakukan dengan mengumpulkan sumber-sumber dari surat kabar sezaman, arsip dan memory van overgave, dilanjutkan dengan kritik sumber, yakni kritik eksternal untuk menguji otentisitas surat kabar yang dijadikan sumber primer dan kritik internal dengan menguji kredibilitas makna yang tertulis dalam surat kabar tersebut (Reiner: 1987, 76) dilanjutkan dengan analisa dengan teori ilmu sosial. Model historiografi yang digunakan adalah model tematik-kronologis.

Tulisan ini merupakan upaya rekonstruksi masa lalu, dengan theoretical frame work dari John Tosh, yakni bahwa telaah sejarah tidak semata-mata mengkaji kronologi dan perubahan sosial tetapi juga arah perubahan-perubahan itu berjalan (Tosh: 1984, 129). Adapun model hiostoriografi ini menggunakan model model Lingkaran Sentral, yaitu bahwa kejadian pada pusat lingkaran akan mempunyai akibat-akibat di sekitarnya. Pada gilirannya pusat lingkaran dan sekitarnya tersebut akan menyebabkan terjadinya pusat baru yang di sekitarnya juga akan timbul gejala-gejala lagi (Kuntowijoyo: 2003: 49-51).

Hindia Belanda Era Kolonial

Kondisi Hindia Belanda era Kolonial dipengaruhi oleh transformasi negara-negara Barat menjadi negara industri. Kerajaan Belanda kemudian menerapkan kebijakan ekonomi liberal pada tahun 1870. Kebijakan ini tidak dapat meningkatkan kesejahteraan pertanian di Hindia. Atas pertimbangan kemanusiaan, maka Parlemen Belanda mengusulkan perlunya kebijakan politik yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan rakyat Hindia dengan Politik Etis (Etische Politiek) (Suminto: 1996, 100). Politik Etis berawal dari pidato Ratu Wilhelmina tahun 1901 di Staten Generaal yang menegaskan bahwa Kerajaan Belanda merasa mempunyai kewajiban moral terhadap rakyat pribumi. Politik Etis bermula dari kritikan kaum liberal terhadap Kerajaan Belanda, di antaranya datang dari C. Th. van Devender. Ia menuliskan sebuah tulisan di surat kabar Belanda, bahwa Kerajaan Belanda berutang kepada rakyat Indonesia, sehingga perlu politik etis (Fikiran Ra‟jat: 1933, 17).

Sebagimana disebutkan dalam surat kabar Tjaja Hindia (1916, 166), Politik Etis itu memberikan penekanan pada trilogi, yaitu pendidikan, irigasi, dan emigrasi (Baudet: 1987, 101). Salah satu dampaknya adalah semakin semarak pendirian lembaga pendidikan (Bromartani: 1931). Politik Etis dimanfaatkan olerh Pemerintah Kolonial untuk mempertahankan dan melanggengkan daerah jajahan (Islam Bergerak: 1921,1). Kemajuan yang terjadi masih dianggap sebagai kemajuan semu, dan bukan kemajuan umum bagi bumiputra (Tjaja Hindia: 1916, 175). Politik Etis dicetuskan karena banyaknya modal asing yang masuk ke Hindia, sedangkan buruh profesional masih sangat kurang. Alasan tersebut menunjukkan bahwa Politik Etis dimaksudkan untuk memekarkan imperialisme, sebagaimana diterangkan dalam surat kabar Fikiran Ra‟jat (1933, 3) sebagai berikut; ”Di dalam hakekatnja, Etische Politiek ini hanja membikin Indonesia masak oentoek mekarnja imperialisme”.Tan Malaka (2000, 53) juga mengkritik pendirian sekolah-sekolah pemerintah, yang hanya untuk menciptakan kaki-kaki kolonial.

Di Hindia Belanda awal abad XX terjadi perubahan secara revolusioner, yang ditandai dengan semakin semaraknya kegiatan jurnalisme (Shiraishi: 1997, 42). Dalam sejarah perjuangan, jurnalisme bukan hanya sebagai industri bisnis penerbitan, tetapi merupakan sarana pendidikan, penyebaran gagasan, alat perjuangan, serta propraganda politik. Budaya baru yang tumbuh di kalangan “melek huruf” ini berawal dari adanya para jurnalis bumiputra yang bekerja di penerbitan Indo dan Tionghoa. Pada tahun 1903, Tirto Adhisoerjo mendirikan dan memimpin Soenda Beritadi Cianjur, sebuah surat kabar pertama yang dibiayai, dikelola, disunting, dan diterbitkan oleh kaum bumiputra. Empat tahun berikutnya, ia mendirikan mingguan Medan Prijaji, berbahasa Melayu dengan nuansa kritik sosial yang tajam. Medan Prijaji adalah surat kabar milik Sarekat Prijaji yang diketuai oleh R.M. Prawirodiningrat dengan Tirto Adhisoerjo sebagai sekretarisnya (Suryanegara: 2010, 355). Adhisoerjo, bersama Samanhoedi, juga mendirikan harian Sarotomodi Semarang. Pada tahun 1912, Tjokroaminoto mendirikan redaksi Oetoesan Hindia sebagai corong utama perjuangan Sarekat Islam (SI). Di Bandung, Abdoel Moeis menerbitkan surat kabar Kaoem Moeda. Pada tahun 1920, Centraal Sarekat Islam (CSI) menerbitkan surat kabar bernama Pemberita C.S.I. Surat kabar mingguan yang terbit di Yogyakarta ini memuat persoalan sosial, politik, ekonomi, dakwah Islam, dan informasi bagi anggota SI (Islam Bergerak: 1920, 2).

Pada tahun 1917, di Surakarta juga muncul surat kabar Islam Bergerak, sebagai pendukung Medan Moeslimin (1996, 24) Penerbitan tersebut dimaksudkan untuk melawan siapapun yang menghina Islam dan bumiputra, menerangkan soal-soal keislaman, dan memberikan informasi tentang kebutuhan umat Islam dalam kehidupan. Kehadiran surat kabar ini menjadi media pertahanan diri dan perlawanan terhadap surat kabar Kristen Mardi Rahardjo yang sering memojokkan umat Islam (Islam Bergerak: 1917, 1). Dalam melawan kelompok anti Islam, cara yang digunakannya adalah argumentatif. Kedua surat kabar ini juga memberikan pemahaman bahwa Islam tidak melarang umatnya mengikuti tradisi modern seperti memakai dasi, bermain sepakbola, dan berpakaian modern (Bakri, 2015, 35).

Surat kabar revolusioner lainnya adalah Sinat Djawa yang diterbitkan untuk pertama kali oleh SI Semarang pada tahun 1914 dengan pimpinan redaksi P.H. Koesoemo dibantu Mohammad Joesoef dan Saleh Handojomo sebagai redaktur. Ketika pimpinan redaktur dipegang oleh Semaoen, Marco, dan Darsono, pada tahun 1918, namanya diubah menjadi Sinar Hindia. Surat kabar ini sekaligus menjadi organ SI Semarang. Nama Sinar Hindia kemudian berubah menjadi Api pada 1 Agustus 1924. Perubahan ini didasarkan pada tiga alasan, yaitu: nama Hindia sering tertukar dengan nama India (British-Indie), sudah tidak sesuai dengan kehendak rakyat yang menuntut kemerdekaan melalui perjuangan kasta, dan singkatan S.H. mudah keliru dengan nama-nama lainnya. Nama Api memiliki filosofi yang mendasar, yaitu unsur semesta yang digunakan untuk memasak makanan, menerangi tempat gelap, membinasakan kotoran, dan menyembuhkan penyakit. Dengan kata lain, Api dimaksudkan untuk melenyapkan kapitalisme (Api: 1924, 1).

Beberapa media yang disebutkan di muka tersebut mempunyai peran yang cukup strategis dalam melakukan propaganda perjuangan organisasi. Topik-topik terkait dengan kesetaraan sosial, egalitarianisme kemanusiaan, dan perlawanan terhadap penindasan menjadi tema penting yang banyak dibicarakan oleh sejumlah media massa waktu itu (Doenia Bergerak, 1914, 3-8). Pada akhir 1913, Pantjaran Warta melancarkan kecaman terhadap lembaga pergundikan yang dilakukan oleh orang Eropa. Harian ini menuntut dilakukannya pernikahan yang sah terhadap perempuan-perempuan Jawa (Korver: 1985, 45). Topik-topik yang menyangkut masalah gender juga menjadi bahan diskusi di media massa. Soal fikih perempuan menjadi tema penting dalam Medan Moeslimin. Perkembangan pesat di dunia jurnalisme tersebut menunjukkan adanya perubahan besar dalam bidang kebudayaan, yang juga berdampak pada aspek politik. Pemerintah sering tidak adil dalam memberlakukan kebijakan terhadap dunia pers pribumi, dan menganakemaskan pers Belanda dan Eropa. (Islam Bergerak: 1917, 1). Surat kabar dipilih sebagai alat perjuangan karena dianggap efektif dalam menciptakan opini publik, sehingga pengaruh gagasan-gagasan yang ditulis akan sampai pada pembaca dengan cepat dan meluas (Fikiran Ra‟jat: 1933, 6-8).

Surakarta Bergerak

  1. Perubahan Sosial Budaya

Sebelum Abad XX, titik sentrum lingkaran sosial politik masyarakat aberada di tangan para raja sebagai penguasa negara tradisional. Kondisi masyarakat sangat terkait dengan struktur relasi antara Susuhunan dengan Gouvernemen. Kota Surakarta merupakan kota tradisional yang ditandai dengan pembagian spasial yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan kraton. Struktur masyarakat yang hierarkis ini sebenarnya sudah diawali pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) yang mulai membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan.

Di dalam arsip-arsip sebelum Perjanjian Giyanti 1755 M, diketemukan naskah nomor 1 yang berisi catatan pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi dan nama-nama prajurit Mataram. Sultan Agung juga membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan serta nama-nama abdi dalem. Pembentukan struktur masyarakat yang hierarkis ini dilanjutkan oleh Amangkurat I (1645-1677M). yang mengatur tentang gelar dan pangkat untuk keluarga Kerajaan Mataram (Margono: 2004, 1-3).

Secara sosiologis, konteks struktur sosial masyarakat Surakarta sangat kuat dengan susunan hierarkisnya, dan berlaku hubungan patron-klien (gusti-kawulo). Istilah hubungan gusti-kawulo ini diterapkan dalam kerajaan dengan menganalogikan raja sebagai patron dan rakyat sebagai klien (Pranoto: 210, 82-83). Struktur hierarkis ini begitu mengakar yang ditandai dengan fakta linguistik, yaitu adanya bahasa yang bertingkat: ngoko, kromo, dan kromo inggi (Lombard: 1996, 59). Struktur hierarkis tersebut mengindikasikan bahwa posisi raja berada di atas rakyat. Dalam struktur patron-klien, seorang raja diposisikan sebagai poros dunia, sekaligus patron (penguasa wilayah dan penguasa politik) yang diwujudkan dalam bentuk kepemilikan tanah sedangkan rakyat sebagai pemilik tenaga kerja. Sedangkan secara politis, raja adalah pucuk pimpinan monarkhi tertinggi yang memiliki wewenang penuh untuk mengatur kehidupan rakyatnya (Pranoto: 2010, 83).

Sebagai pusat kerajaan, di kota ini banyak para bangsawan istana bermukim, disamping juga menjadi pusat kajian kebudayaan, bahasa dan ilmu pengetahuan. Hal ini ditandai berdiri Instituut Voor de Javaansche Taal (Lembaga Pendidikan Kerajaan Untuk Bahasa Jawa) tahun 1832 M yang menekankan pembelajaran bahasa dan etika Jawa. Lembaga ini didirikan oleh Gericke di Surakarta yang akhirnya bubar pada tahun 1843 (Winter: 1928, v).

Kota Surakarta juga melahirkan para pujangga kraton yang telah banyak memproduk karya sastra, baik dalam bentuk serat, babad maupun suluk.De Graf (1995: 112-113) menuliskan nama para pujangga dan karya sastra yang terkenal di Surakarta, yaitu Kyai Yasadipura I (Serat Bratayudha, Serat Rama, Babad Gianti,Suluk Dewaruci), KGPAA Amangku Nagara II yang setelah menjadi raja bergelar Susuhunan Pakubuwana V (penggagas penggubahan Serat Centini), Kyai Ranggasutrasna, R. Ng. Sastradipura (bersama R.Ng. Yasadipura I menggubah Serat Centini), Sri Susuhunan Pakubuwana IV (Serat Wulangreh), Sri Mangunagara IV (Serat Wedhatama), Yasadipura II (Babad Pakepung), R. Ng. Ranggasasmita (Suluk Martabat Sanga), R. Ng. Ranggawarsita (Serat Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha,Babad Itih) dan masih banyak pujangga dan naskah lain. Beberapa naskah ditulis tanpa nama pengarang.

Pada awal abad XX hubungan orang-orang pergerakan dengan Gouvernemen lebih mendominasi dan memiliki dampak sosial politik daripada kerajaan (Nurhayati: 1999, 157 & 170). Hal ini menandakan era baru dalam struktur sosial dan budaya di Surakarta. Posisi sosial politik kraton yang mulai melemah telah digantikan oleh kaum pergerakan. Hal ini dibarengi dengan kebijakan Pemerintah Kolonial yang bertindak untuk menghapuskan lambang-lambang feodalisme bangsawan Jawa. Pada awal tahun 1900-an, posisi kaum bangsawan di kota Surakarta mulai merosot dan kehilangan peran sentrum, baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Hal ini disebabkan oleh jumlah bangsawan yang bertambah, sedangkan jumlah fungsi dan peran yang tersedia dan menjadi sumber penghasilan terbatas. Kemerosotan juga terjadi akibat semakin majunya pemikiran masyarakat Surakarta yang berani mengkritik kekuasaan otokrasi.

Dalam situasi sosial budaya yang demikian, sistem lapisan sosial mulai terlihat pecah. Kalangan ningrat masih dengan keras mempertahankan berlakunya aneka ragam perbedaan status antara bangsawan dan warga biasa, termasuk terkait dengan masalah pakaian. Pesta-pesta yang digelar oleh orang biasa, seperti pesta pernikahan, tidak boleh diselenggarakan dengan mewah, dan juga mereka tidak boleh naik kendaraan melalui alun-alun Kraton Surakarta (Korver: 12). Sebagian kalangan bangsawan Jawa ada yang menuding bahwa pudarnya pamor bangsawan Jawa karena pengaruh penyebaran Islam (Ricklefs: 2007, 196).

2. Dinamika Agraria

Sistem Tanam Paksa berakhir beransur-ansur antara tahun 1865 sampai dengan tahun 1870. Sejak tahun 1870, nusantara memasuki zaman baru yang disebut sebagai zaman modal, yaitu zaman politik kolonial yang liberal dan kapitalisme swasta yang menjadikan modal sebagai mesin penggerak di Vorstenlanden(Shiraishi, 9-10). Pada zaman modal, penguasaan ekonomi dialihkan ke pemilik modal swasta. Menurut Ricklefs (2007, 190), Tanam Paksa baru dihapuskan secara de facto pada tahun 1919. Hal ini ditandai dengan berakhirnya Tanam Paksa kopi di Parahiangan Jawa Barat tahun 1917 dan beberapa daerah pesisir utara Jawa pada Juni 1919. Penghapusan Tanam Paksa tersebut diawali dengan tuntutan Partai Liberal di Belanda. Sebagaimana daerah-daerah lain di nusantara, sebelum masuk zaman modal, di Vorstenlandenjugamengikuti kebijakan Tanam Paksa (culturediensten) yang diberlakukan dari tahun 1830 sampai dengan tahun 1870 (Rijkevorsel: 29, 106).

Tanam Paksa ini merupakan kebijakan Gubernur Jenderal J. van Den Bosch, akibat dari Perang Jawa yang telah menyebabkan pukulan ekonomi bagi Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah memikul biaya besar akibat perang melawan kaum santri yang dipelopori oleh Diponegoro, Kyai Mojo dan Sentot Ali Basyah ini (Ropbinson: 1987, 5-6), sehingga diberlakukannya Tanam Paksa sebagai cara memulihkan keadaan ekonomi pemerintah.

Zaman modal diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Bumi oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda tahun 1870, yang berisi mengubah fungsi Hindia menjadi tanah jajahan yang harus menyediakan sumber bahan mentah (raw material resources) dan sebagai pasar bagi industrinya. Untuk mendukung program ini maka Pemerintah Kolonial mengundang investor asing untuk menanamkan modal di Hindia Belanda. Jawa pun menjadi pasar bagi asing (Misbach: 1925, 6).

Zaman modal telah melahirkan dua kelompok kelas yaitu kelompok borjuis (kaum kaapital) dan kelompok proletar (kaum buruh, kaum miskin) dengan berbagai pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh kaum modal atas kaum proletar (Ra‟jat Beregerak: 1923, 1-2). Hal ini menyebabkan munculnya gerakan perlawanan yang dilakukan oleh para petani pribumu, yang oleh Pemerintah Kolonial disebut sebagai gerakan perbanditan seperti kecu dan pembakaran perkebunan. Gerakan ini dilakukan oleh petani sebagai bentuk ketidakpuasan dan sikap antipati terhadap sistem kapitalisme. Eksploitasi semakin menekan ekonomi para petani pribumi, kapitalisme semakin menguat yang didukung dengan alat transportasi kereta api. Surakarta yang dikenal sebagai kota gula justru berimplikasi pada penderitaan rakyat dengan beban-beban pajak (Tan Malaka: 2000, 49).

Akibat himpitan kapitalisme, muncullak gelombang aksi-aksi protes dan perlawanan kaum proletar, buruh dan tani antara tahun 1918-1920 yang dimobilisir oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Misbach dan Marco Kartodikromo. Hal ini berdampat pada sikap anti kolonialisme dan kapitalisme yang berujung pada pemberontakan di Surakarta antara tahun 1924-1926 yang melibatkan kaum santri, buruh dan tani (Bakri: 2015, 176-178).

3. Dinamika Ekonomi

Pada awalnya kehadiran Oost Indische Compagnie (OIC) di Indonesia, telah membangkitkan perniagaan bumiputra. Namun kemudian OIC menggunakan cara-cara kekerasan yang mematikan perniagaan bumiputra. Kebangkitan perniagaan kemudian bangkit lagi setelah pembubaran OIC dan digantikan dengan pemerintahan Gouvernement. Kebangkitan ini, salah satunya ditandai dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam (Tjaja Hindia: 1912, 167-168). Bersamaan dengan zaman modal, muncul elit-elit baru di Vorstenlanden. Akibat munculnya elit-elit ekonomi pribumi dan kaum terpelajar, apalagi mereka mempunyai kekayaan dan penghasilan melebihi dari kekayaan ningrat-kraton, maka wibawa sosial politik para elit bangsawan Jawa memudar, bahkan tidak sedikit kalangan ningrat yang berpiutang kepada kalangan kelas menengah baru yang kaya. Misalnya, Samanhoedi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) dan pengusaha batik kaya ketika itu, sering menjadi tempat peminjaman para ningrat (Laporan Asisten Residen Surakarta, 22 Agutus 1912, 1).

Dinamika ekonomi juga ditandai dengan munculnya pertokoan bumiputra, industri batik dan perhotelan (Islam Bergerak: 1920, 2). Masuknya industri batik di Kauman Surakarta pada awalnya disebabkan oleh tuntutan ekonomi masyarakat Kauman. Sebelumnya, masyarakat Kauman adalah termasuk dalam bingkai sosial Kraton Surakarta. Kauman menjadi salah satu sub sistem dari sistem sosial di Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Kauman adalah kampung bagi abdi dalem pamethakan (kaum putihan, santri) yang kehidupan ekonominya dijamin oleh pihak Kraton. Seiring perkembangan zaman, para abdi dalem pemetakhan juga melakukan aktifitas ekonomi dengan menjadikan industri batik sebagai mata pencaharian (Pusponegoro: 2007, 69-70). Teknologi batik lebih mutakhir diperkenalkan oleh seorang pedagang tahun 1850-an. Teknologi ini berasal dari Semarang yang sudah menggunakan metode cap (Shiraishi: 1997, 30). Dari sinilah kemudian batik di Kauman berkembang dengan pesat. Pabrik-pabrik batik mulai didirikan, baik di pusat kota maupun di bagian pinggiran kota.

Industri kerajinan batik di Surakarta ini secara umum berada di tangan para pengusaha Jawa, Arab dan Tionghoa. Pengusaha batik Jawa jumlahnya lebih banyak dibandingkan pengusaha Arab dan Tionghoa. Persaingan dagang antar mererka, yang awalnya hanyalah persaingan ekonomi, namun pada tahap lanjut, persaingan tersebut menimbnulkan gesekan politik yang cukup kuat. Ketika terjadi kerusuhan di Jakarta dan Surabaya pada Pebruari 1912 di kalangan penduduk golongan Tionghoa, Rinkers mengaitkan peristiwa ini dengan perkembangan di Surakarta. Menurut Rinkers, pada era itu telah terjadi persaingan dagang antara pedangan Jawa di Lawean Surakarta dan Firma Tionghoa Sie Dhian Ho yang juga bermarkas di Surakarta. Firma ini bergerak di bidang perdagangan buku, alat-alat kantor, penerbitan surat kabar, dan juga industri batik. Sejak peristiwa di Surabaya tersebut, persaingan ini menjadi akut, karena firma ini, secara diam-diam, ditopang oleh perkongsian orang-orang Tionghoa di daerah lain, termasuk dari Surabaya dan Jakarta (Korver, 16). Akhirnya pada tahun-tahun itu pula pecah berbagai konflik politik dan ekonomi yang melibatkan pengusaha Tionghoa versus pengusaha batik Jawa. Para pengusaha batik Jawa tergabung dalam Rekso Roemekso (perkumpulan tolong menolong pengusaha batik Jawa) sedangkan pengusaha batik Tionghoa bergabung dalam Kong Sing. Dinamika ekonomi memiliki pengaruh yang luas dan kuat dalam arena politik di Surakarta, yakni melahirkan sikap kemandirian dan kesadaran dalam pergerakan.

4. Dinamika Politik

Awal abad ke-20 adalah zaman baru yang disebut sebagai zaman pergerakan. Istilah pergerakan ini meliputi segala macam aksi-aksi yang dilakukan oleh bumiputra menuju perbaikan hidup untuk bangsa Indonesia. Pergerakan terjadi karena masyarakar bumiputra merasakan ketidakpuasan atas kondisi keterjajahan, baik oleh imperialisme tua (zaman Oost Indische Compagnie) maupun imperialisme baru yaitu sesudahnya timbulnya kapitalisme modern pada perempat pertama abad ke-19 M (Fikiran Ra‟jat: 1919, 154-155).

Snouck Hurgronje (1995, 2163) melukiskan bahwa sudah berabad-abad lamanya orang pribumi merasa dirinya kurang dibandingkan dengan seluruh manusia ras lain. Hal ini diperparah dengan kelaliman para penguasa di negeri sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh orang Eropa yang datang untuk kepentingannya sendiri. Masyarakat Jawa merasa dirinya ditindas oleh berbagai alat kekuasaan bangsa Eropa dan kesewenang-wenangannya. Selanjutnya, sikap kekurang mandirian orang Jawa semakin lama semakin menunjukkan titik paling lemah.

Pada awal abad ke-20, muncul dinamika politik baru di Surakarta. Ricklefs mencatat bahwa pada 1909 telah berdiri gerakan Sarekat Dagang Islamijah di Batavia yang didirikan oleh Tirtoadisurjo (1880-1918). Organisasi serupa didirikan di Bogor tahun 1911. Pada tahun 1911 juga, Tirtoadisurjo mendorong seorang pedagang batik Surakarta, Samanhoedi (1868-1956), untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) sebagai sebuah koperasi atau perkumpulan pedagang batik pribumi yang bersaing dengan pedagang keturunan Tionghoa. Pada tahun 1912 SDI berubah namanya menjadi Sarekat Islam (Ricklef, 252). Deliar Noer juga mengungkapkan bahwa Sarekat Islam berdiri pada 11 November 1912 di Surakarta. SI tumbuh dari organisasi yang mendahuluinya yaitu SDI.

Hal ini juga didukung oleh pendapat Harold W. Sundstrom bahwa Sarekat Islam yang berdiri tahun 1911 kemudian pada tahun 1912 berubah namnya menjadi Sarekat Islam (Sundstrom: 1977, 9-11). Mohammad Hatta (1977, 9-11) juga mengungkapkan bahwa SDI di Surakarta didirikan pada tahun 1912, sedangkan menurut Tamar Djaja (1974, 5) SDI didirikan di Solo oleh Samanhoedi pada 16 Oktober 1905 dan setahun kemudian pada tahun 1906 berubah namanya menjadi SI. Berdirinya SDI yang kemudian menjadi SI, juga dimaksudkan untuk menghadapi kekuatan ekonomi Belanda, Cina dan aristokrasi Jawa.

Tulisan lebih rinci dan argumentatif dikemukakan oleh Shiraishi, bahwa SI tumbuh dan berkembang dari Rekso Roemekso yang didirikan oleh Samanhoedi di Surakarta pada tahun 1912. Rekso Roemekso adalah organisasi ronda untuk menjaga keamanan industri batik karena sering ada kecu yang mencuri kain batik yang dijemur di halam-halaman rumah industri batik. Organisasi ini juga sering berbenturan dengan organisasi serupa milik pedagang Tionghoa, Kong Sing. Sering terjadi perkelahian kecil antara warga Rekso Roemeksodengan Kong Sing. Rekso Roemekso, organisasi ronda dan tolong menolong pengusaha batik di Surakarta ini, atas bantuan Tirto Adhisoerjo dibuatkan Anggaran Dasar dan kemudian dibungkus dengan nama SDI. Anggaran Dasar organisasi yang ditanda tangani Tirtoadhisoerjo tanggal 9 November 1911, dalam bagian pengantarnya menyatakan pembentukan SI. Perkumpulan ini sejak awalnya bernama Sarekat Islam walaupun masyarakat Surakarta waktu itu menamakannya Sarekat Dagang Islam. Tetapi Shiraishi (2007, 55-57) meragukan tanggal tersebut karena dianggap terlalu awal berdasarkan pendapat Van Wijk dan Tjokroaminoto yang menyatakan bahwa Tirtoadhisoerjo datang ke Surakarta pada tahun 1912.

Organisasi ini memiliki peran yang sangat vital dalam kebangkitan kaum pribumi. Tujuan didirikannya SI bukan hanya supaya kaum pribumi menjadi muslim yang taat, tetapi juga agar kaum bumiputra derajatnya terangkat (Notonegoro: 1913, 69). Karena memiliki basis keagamaan dan kerakyatan maka tidak mengeherankan jika kemudian SI diiukti oleh rakyat dari berbagai elemen, kaum saudagar, buruh, kaum ulama, jurnalis dan aktivis pergerakan.

Beriringan dengan pertumbuhan dan perkembangan SI, BoediOetomo (BO) yang lahir pada tahun 1908 mulai berkembang sebagai wadah perhimpunan bagi para priyayi Jawa terpelajar untuk memajukan dunia Pendidikan bumuputra (TjajaHindia: 1913, 5-6). Boedi Oetomo sendiri merupakan organisasi priyayi Jawa yang secara de jure didirikan oleh Wahidin Soedirohoesada pada bulan Mei 1908 di Jakarta dan diklaim sebagai organisasi nasional pertama di Hindia. Anggota BO pada umumnya adalah orang-orang yang Jawa terpelajar (dokter, patih, kandjeng, insinyur dan sebaginya) alumni sekolah menengah maupun perguruan tinggi seperti STOVIA, HBS, Osviba, Universiteit dan sebagainya. Kehidupan ekonomi mereka didapat dari pemerintah Hindia Belanda (Goepermen) maupun dari kaum modal (Larson: 1987, 49). Boedi Oetomo sendiri, menurut Suryanegara, sebenarnya hanya ingin menegakkan nasionalisme Jawa dengan laku utama sesuai ajaran Jawa (Suryanegara, 344-345). Hal in imenjadi penyebab konflik dan kerenggangan antara pengikut SI dengan Boedi Oetomo. Apalagi surat kabar Djawi Hisworo sebagai organ Boedi Oetomo pernah mengangkat tulisan yang menghina Rasulullah Muhammad. Reaksi dari SI pun muncul. Konflik ini kemudian memunculkan propagandis SI yang revolusioner, Misbach, yang dengan Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TNKM) siapmembela Islam. Eksistensi SI pada masa-masa ini begitu penting dan menjadi populer, bukan saja di kalangan muslim santri, tetapi juga di kalangan rakyat banyak.

Dalam kondisi kemunduran SI, pada tahun 1915 muncul aktifitas sosial, politik, ekonomi dan pendidikan yang dimotori oleh para pedagang batik dan guru ngaji di Surakarta. Dalam konteks inilah Misbach dan Hisamzaijnie menerbitkan majalah Medan Moeslimin sebagai tanggapan atas terbitnya Mardi Rahardjo oleh umat Kristen.Mardi Rahardjo merupakan media massa umat Kristen di Jawa yang didistribusikan secara cuma-cuma. Isinya sering menyudutkan umat Islam. “Toean-toean pembatja mesti taoe, bahwa Mardi Rahardjo seringkali menyangkoet sangkoet oleh Igama kita Islam jang kita rasa koerang enak bagi kita kaoem moeslimin”(Islam Bergerak: 1917, 1). Karena itulah Misbach dan Hisamzaijnie kemudian menerbitkan Medan Moeslimin sebagai majalah untuk menerangkan Islam dan perekat persaudaraan sesama umat muslim. Medan Moeslimin adalah majalah pertama di Jawa yang diterbitkan oleh intelektual berpendidikan pesantren. Pada tahun 1914 terjadi proses kristenisasi yang cukup besar. Masuknya agama Kristen di swapraja telah memacu umat Islam menyegarkan kehidupan keagamaan (Wijk: 1914, 55).

Dinamika politik juga ditandai dengan perlawanan rakyat antara tahun 1918-1924 yang melibatkan kaum santri, buruh dan tani yang diorganisir oleh kaum revolusioner dengan tokoh sentral Misbach. Walaupun Misbach sebagai tokoh sentral ditangkap dan dibuang ke Manokwari tahun 1924, api perlawanan semakin berkobar. Puncak dinamika politik terjadi tahun 1924-1926 yakni pemberontakan yang dilakukan oleh Sarekat Ra‟jat pimpinan Marco Kartodikromo, kaum buruh yang diorganisir Moetakallimoen dan kelompok Moe‟allimin Surakarta di bawah pimpinan Achmad Dasoeki. Pada tahun 1926-1927 seluruh pejuang anti kolonialisme dan kapitalisme ditangkap dan diadili dan beberapa dibuang ke Digoel. Mereka dari kalngan Sarekat Rakyat (SI Kiri), PKI Surakarta, kalangan buruh dan tani revolusioner, serta perkumpulan Moe‟allimin Surakarta yakni guru-guru agama di Madrasah Sunnijah Mardi Boesana Keprabon dan puluhan kyai yang menjadi guru di Madrasah Mambaoel Oeloem Surakarta (Bakri: 2015, 227). Puncak kobaran api pergerakan di Surakarta terjadi antara tahun 1918-1926. Tahun-tahun tersebut Surakarta menjadi kota paling bergerak di Indonesia.

5. Dinamika Keagamaan

Fenomena Islam di Surakarta nampak jelas pada abad ke XVIII sebagaimana tertulis dalam Serat Cabolek karya Yasadipura I, yang melukiskan perdebatan antara para ulama penjaga ortodoksi (ulama pejabat di kerajaan Mataram Kartasura) dengan Moetamakkin yang dianggap berfaham mistik Pamoring Kawulo Gusti(Katalog Pura Pakualaman Nomor St.20/ 0143/PP/73). Apapun bentuk perdebatannya, fenomena perdebatan tersebut menunjukkan adanya orang-orang alim di Surakarta pada masa Kerajaan Mataram Kartasura. Begitu juga jaringan tarekat yang sudah berkembang pada era Mataram Kartasura pada abad XVIII dapat menjadi bukti bahwa proses islamisasi sudah berkembang dengan baik (kartodirdjo, 2000, 15). Islam berkembang dengan pesat sejak perpecahan Mataram yang berdampak pada berdirinya Kasunanan Surakarta. Pemilihan lokasi dan pendirian bangunan Kraton Kasunanan ini melibatkan para ulama dan dengan alasan keagamaan (Hadisiswaja: 1936, 20). Dalam menjalankan proses pemerintahan, Pakubuwana IV mengangkat ulama (Kyai Makali) sebagai penasehat.

Pada abad XVIII ini juga di Surakarta berdiri Pesantren Jamsaren atas inisiatif Sunan Pakubuwana III tahun 1750 (Arsip Pakualaman Nomor 31/2121). Proses islamisasi terus berkembang dengan munculnya karya-karya kreatif berupa karya sastra keagamaan, pendirian Masjid Agung Surakarta tahun 1757 M, dan lembaga pendidikan Madrasah Mambaoel Oeloem tahun 1905 yang secara operasional bekerjasama dengan para kiai di pesantren. Mambaoel Oeloem didirikan atas inisiatif Sunan Pakubuwana X yang menaruh perhatian besar pada pendidikan agama. Tahun 1905 Sunan Pakubuwana X memerintahkan membuka sekolah Mambaoel Oeloem sebagai basis dakwah dan pendidikan Islam. Sunan Pakubuwana X juga menghidupkan kembali pesantren Jamsaren dan meminta Kyai Idris untuk mengelolanya setelah vakum selama 70 tahun sejak perang Diponegoro (Mooryadi: 2009, 139-143). Berdirinya Mambaoel Oeloem telah menjadi inspirasi pendirian madrasah di berbagai tempat sehingga berimplikasi pada kemajuan pendidikan Islam dan melekatnya identitas keislaman dalam masyarakat jawa (Pawarti Soerakarta:138, 134). Dalam catatan Snouck Hurgronje (1999, 63), identitas Islam pada abad ke-19 sudah sangat melekat dalam diri orang-orang Jawa, baik di Vorstenlanden maupun di daerah-daerah sekitarnya.

Berdirinya sekolah Mambaoel Oeloem dilatar belakangi oleh sulitnya mencari pengganti ulama yang sudah meninggal dan untuk mempersiapkan generasi ulama penghulu (Ismail: 1997, 80). Di sekolah Mambaoel Oeloem diajarkan ilmu agama, ilmu umum dan bahasa Arab. Proses pendidikan Mambaoel Oeloem pada awal berdirinya, dilaksanakan di salah satu ruang di Masjid Agung Surakarta. (Wijk: 1914, 55). Sunan Pakubuwana X juga memerintahkan masyarakat untuk menjalankan syari‟at Islam dengan baik seperti sholat, puasa dan zakat serta memerintahkan masyarakat untuk mendirikan masjid-masjid di daerah kabupaten, distrik dan onder distrik (Wijk: 1914, 56).

Pada awal abad 20, Adipati Sastraningrat dan Patih Dalem Kraton Surakarta serta adiknya Raden Tumenggung Wreksadiningrat memerintahkan lagu-lagu keagamaan untuk selanjutnya djadikan nyanyian yang disebut santiswaran yang dinyanyikan dengan didahului seorang bawaatau pengawal nyanyian dan diikuti oleh yang lain. Santiswaran Diiringi terbang, kendhang, dan kemanak. Nyanyian ini dimainkan tiap hari ahad jam 20.00-24.00 WIB di kedhaton. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sudah menjadi spirit dan budaya di komunitas Kraton.

Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa pada era kolonial Islam sudah melekat dalam diri orang-orang Jawa. Peran kekuasaan tradisional Jawa (kraton) dalam islamisasi diakui cukup besar. Peran tersebut salah satunya diperankan oleh Penghulu sebagai ulama pejabat di lingkungan kraton yang lebih menitik beratkan pada pengembangan ilmu fikih yaitu al-Tasyri‟ wa al-Qadla (perundang-undangan dan peradilan). Adapaun ulama perdikan yaitu ulama pesantren yang berada di luar sistem kekuasaan tradisional, lebih fokus pada pengajaran dan pengembangan ilmu akidah, akhlaq dan tasawuf (Ismail: 1997, 50).

Islamisasi di luar Kraton juga berkembang pesat sejak berdirinya Sarekat Islam di Laweyan Surakarta tahun 1912, Sarekat Ngrukti Sawa di Kauman tahun 1914, Muhammadiyah Surakarta tahun 1923 dan Nahdlatul Muslimat tahun 1931 (Pusponegoro, 10). Bahkan pada tahun 1931, Muhamamdiyah Cabang Surakarta sudah mendirikan sekolah MULO (setingkat SMP) (Bromartani: 1931, 39). Kegiatan keislaman di Surakarta semakin semarak dengan berdirinya pusat-pusat pengkajian Islam dan hadirnya beberapa ulama besar seperti Bagoes Arafah, Muhammad Adnan, Kiai Jauhar Laweyan, Kyai Masyhud Keprabon, Kyai Imam Ghazali Nirbitan dan sebagainya. Mereka adalah ulama tradisional yang memiliki pemikiran progresif.

Di samping lembaga-lembaga formal tersebut, islamisasi di Surakarta juga dilakukan oleh para ulama (da‟i) yang tergabung dalam perkumpulan Sidik Amanah Tableg Vatonah (SATV) yang diketuai oleh Misbach. Perkumpulan ini didukung oleh kaum santri muda seperti Koesen, Hisjamzaini, Harsoloemekso, Darsosasmito dari pedagang batik di Surakarta. Kaum santri Surakarta kemudian menyusul bergabung dengan SATV yaitu Haroen Rasjid, Achmad Dasoeki, K. Moechtar Boechari dan Sjarief (Simbolon: 2006, 592-593). Keberadaan SATV disambut positif oleh polisi dan pemerintah karena SATV bermaksud amar ma‟ruf nahi munkar termasuk mengingatkan agar tidak terjerumus dalam dunia hitam seperti berjudi, mabuk, mencuri dan lain sebaginya (Islam Bergerak, 1920, 1). Amar Makruf salah sataunya dilakukan dengan mengirim propagandist di desa-desa dan sekolah-sekolah (Islam Bergerak, 1921, 2).

Selain itu, SATV juga fokus pada pendidikan Islam yang ditandai dengan pendirian Sekolah 2e. Holland Inlandsche School met de Koeran (HIS met de Koeran di Solo. Kehadiran SATV semakin memperkuat penyebarabn Islam yang sudah dilakukan oleh beberapa surat kabar seperti Medan Moeslimin, Tjermin Islam, dan Islam Bergerak (1917, 1). Ketiga media massa tersebut setiap edisinya selalu menerangkan persoalan-persoalan diniyyah terkait fikih, akidah, tahuhid, akhlaq, dan juga wacana-wacana Islam modern.

Dalam Islam Bergerak antara tahun 1918-1919 diberitakan bahwa perhimpunan-perhimpunan tersebut adalah agen islamisasi di Surakarta pada awal abad ke-20. Kegiatan-kegiatan pendalaman agama juga sudah menyebar di Surakarta, baik di lingkungan Kraton, pesantren maupun di komunitas-komunitas keagamaan. SATV sendiri mengadakan kajian Islam setiap Senin dan Jum‟at jam 20.30 -23.00 WIB. Di antara pembelajaran agama Islam di Surakarta itu antara lain di rumah Harsoloemakso (Kampung Keprabon) setiap sabtu malam ahad pukul 21.00-24.00 WIB, di rumah M. Mawardi (Kampung Kauman) setiap tanggal 10 bulan hijriyah mulai pukul 20.00-23.00 WIB, di rumah M. Ngoemar (Kampung Tegalsari) setiap selasa malam rabo pukul 20,00-22.00 WIB, serta di rumah Lurah Karijowirono (Kampung Kepatihan Kulom) setiap malam senin pukul 20.00-22.00 WIB. Dari data lokasi tempat pembelajaran agama Islam di Surakarta tersebut nampak bahwa pengkajian Islam masih sentralistik di wilayah sekitar Masjid Agung Surakarta (sekarang masuk kecamatan Pasar kliwon) dan wilayah Laweyan.

Kegiatan-kegiatan kajian Islam ini bersamaan dengan semakin mengembangnya Madrasah Mambaoel Oeloem Surakarta yang juga membuka cabang di beberapa daerah kapubaten seperti Pengging (Boyolali) dan Klaten. Pada tahun 1919 sebagai rekomendasi dari Kongres al-Islam yang difasilitasi perhimpunan SATV, berdirilah Raad Oelama (Dewan Olema) (Islam Bergerak: 1918, 2). Dalam mendirikan Raad Oelama ini, SI dan Muhammadiyah memberikan dukungan yang besar guna memajukan Islam. Dari unsur agamawan priyayi, para pengulu mendirikan perhimpunan pengulu yang dinamakan Pengoeloe Bond pada 2 Juli 1919 di Sragen. Tujuannya adalah untuk memajukan Islam dan penyadaran kewajiban terhadap pemerintah. Pada 30 Oktober 1919, namanya diubah menjadi Oelomo Bond dengan alasan bahwa lid-lidnya bukan hanya pengoeloe saja tetapi juga naib-naib, modin, kyai dan lain-lain. Kelompok Medan Moeslimin menyambut baik perubahan ini sebagai benteng yang bersama benteng lain akan menjadi pagar kuat dari serangan kelompok anti Islam (Islam Bergerak:1919,2).

Walaupun sudah banyak kegiatan kajian Islam, berdirinya perhimpunan-perhimpunan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Surakarta serta Islam sudah menjadi identitas bumiputra, namun kebanyakan masyarakat di Surakarta adalah kaum muslim nominal yang secara keilmuan tidak banyak mengerti tentang ilmu agama, dan secara praktis belum menjalankan syariat Islam secara baik.

G. F. van Wijk (1914, 55), Residen Surakarta tahun 1909-1914 yang mengundurkan diri, dalam Memori Van Overgave (memori pada penyerahan jabatan untuk melaksanakan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 2 April No. 24) melukiskan kondisi keberagamaan (religiusitas) masyarakat di Surakarta masih jauh dari substansi, dan lebih sebagai formalisme beragama yang belum diaktualkan dalam transformasi masyarakat. Upaya-upaya membumikan Islam transformatif pun banyak dilakukan oleh aktivis pergerakan Islam, ulama dan surat kabar Islam.

Pada sisi lain, antara tahun 1909-1914 kristenisasi di Surakarta dilakukan dengan begitu gencar. Islam Bergerak melukiskan, “Masih banjak Zending-zending jang diperkenankan ke tanah air kita goena menangkap bangsa kita jang telah memeloek Igama Islam”(Islam Bergerak, 1917, 55). Semaraknya kristenisasi juga ditandai dengan berkembangnya pengikut Sadrach (Kristen Jawa) di Vorstenlanden yang juga membuat propaganda di Wonogiri untuk adu kesaktian yang mana pihak yang kalah harus mengikuti agama yang menang (Wijk, 55).

Perkembangan kristenisasi juga ditandai dengan adanya pembukaan rumah zending di Jebres Surakarta. Pendeta van Andel di Surakarta, sudah bekerja untuk Gereja Gereformeerd di Amsterdam, sedangkan di Afdeling Boyolali ada pekerja guru pendeta (Niephaos, Pischer, Scheinider) untuk komite zending yang khusus melayani orang-orang Tionghoa (Wijk, 55). Bahkan pada tahun 1918, rumah sakit Kristen di Jebres melakukan Kristenisasi pasien. Hal ini sangat melukai hati warga bumiputra yang mayoritas beragama Islam (Wijk, 56).

Kristenisasi yang berlangsung di Surakartra, tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi memiliki akar sejarah yang panjang. Pada era Pemerintahan Inggris di Hindia (1811-1816), Gubernur Jenderal Raffles sudah mendirikan Lembaga Alkitab di Jawa yang kemudian menjadi (Nederlands) Oost-Indisch Bijbelgenootschap atau Batavias Bijbelgenootschap. Lembaga ini awalnya merupakan Lembaga Alkitab Belanda yang bermaksud menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa penduduk pribumi dan mengembangkan ajaran Kristen Protestan (Swellengrebel: 1974,21). Raffles telah memulai tradisi baru yaitu bahwa pemerintah turut campur dalam soal penyebaran agama. Lembaga yang didirikan di Batavia tersebut sering mengirimkan utusan di beberapa kota di Jawa, termasuk di Surakarta.

Walaupun majalah Medan Moeslimin terlahir salah satunya disebabkan oleh semaraknya kristenisasi di Surakarta dan sebagai reaksi atas statemen-statemen di Mardi Rahardjo namun Medan Moeslimin menunjukkan sikap yang arif. Medan Moeslimin selalu menyebarkan pengetahuan dan menjunjung tinggi Islam tanpa mengolok-olok keyakinan umat agama lain. Selain itu, disebut-sebut bahwa kelompok anti Islam juga melakukan propaganda yang memojokkan Islam. Islam Bergerak menuliskan bahwa selain Mardi Rahardjo, ada setidak-tidaknya dua surat kabar di Surakarta yang memuat tulisan-tulisan anti Islam yaitu Darmo Kondo dan Koemandang Djawi.

Pada awal abad ke-20 di Surakarta sudah terdapat beberapa agama dan keyakinan keagamaan yang beragam yaitu Christen Roomsch Katolik, Christen Protestan, Christen Bala Keslametan, Christen Kerasoelan, Budha dan Islam. Aliran theosofi juga sudah berkembang di Surakarta (Fachrodin: 1919, 1). Dalam hal kebebasan beragama, secara teoritik, Pemerintah Kolonial dalam posisi netral.

Kondisi sosial keagamaan di Surakarta sampai tahun 1918 juga diwarnai dengan adanya pertikaian pendapat antara ulama. Mereka lebih mengedepankan perbedaan pemikiran daripada pergerakan menuju kemajuan bumiputra.Himbauan rukun kemudian menjadi tema Islam Bergerak pada masa-masa tersebut. Pertentangan antara ulama Islam tradisional dengan modern cukup menjadi penghalang dunia pergerakan. Misbach hadir dalam suasana kehidupan sosial keagamaan para ulama dan pemimpin umat Islam yang tidak bersatu dan kurang peduli kepada gerakan memajukan kaum pribumi.

PENUTUP

  1. Pergerakan di Vorstenlanden benih-benihnya sudah ada sejak akhir abad ke-19, dan baru benar-benar menjadi sebuah pergerakan pada awal abad ke-20 dengan model perjuangan modern, yakni ditandai dengan penggunaan surat kabar dan organisasi modern dalam memperjuangkan hak-hak sipil dan politik pribumi. Model perjuangan dengan media massa dianggap efektif untuk membangkitkan semangat juang kaum pribumi dalam melawan imperialisme. Hal ini menunjukkan bahwa sejarah tidak ditentukan oleh faktor tunggal dan sederhana, tetapi oleh beberapa mata rantai kejadian. Dinamika dan pergerakan di Surakarta tentu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi di Hindia Belanda pada umumnya.
  2. Dinamika dan pergerakan di Surakarta berbentuk lingkaran sentral, bersifat kompleks dan saling terkait di berbagai bidang, yakni bidang sosial budaya, agraria, ekonomi, politik dan keagamaan. Fakta sejarah tersebut memperkuat teori lingkaran sentral yang menyebutkan bahwa dinamika sejarah merupakan perkembangan logis dari berbagai peristiwa yang saling berpautan. Sebuah kejadian akan memiliki akibat di sekitarnya.

Hadirin yang saya hormati

Sampailah saya pada akhir pidato pengukuhan ini. Dari lubuk hari yang paling dalam, dengan penuh kesadaran saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak yang telah mengantarkan pada puncak capaian akademik saya iniu. Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada:

  1. Kedua orang tua saya, Kyai Abdul Bashir (Alm) dan Ny. Ngatmi Atmasuwirdja (Almh) yang perjuangan dan pengorbanannya untuk saya begitu besar sampai-sampai tidak dapat dihitung dengan angka dan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Semoga Allah menyayangi ayah dan ibu saya.
  2. Istriku tercinta, Hj. Yunita Rahmawati, S.Pd.I dan anak-anakku tersayang, Failasuf Muhamamd Azka, Faisal Ahmad Ahda Arafat, Fatih Amanullah Khan, dan adik-adik kandung saya, yang tidak pernah lelah melantunkan doa, memberikan dukungan moral, dan spirit dalam berbagai aktivitas saya.
  3. Kakek dan nenek saya, serta para guru-guru ngaji serta kyai-kyai saya yang mengajari saya tentang ulumuddin
  4. Mertua saya, Ahmad Syaebani dan Siti Mu‟inah yang telah menerima saya menjadi bagian keluarga, membangun kehidupan, pelajaran yang berharga akan makna cinta dan kebersamaan. Juga untuk adik-adik ipar saya.
  5. Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd, Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta, yang sekaligus kawan karib yang memberikan dorongan dan dukungan kepada saya dalam mencapai tahapan guru besar ini.
  6. Para guru yang telah menempa pikiran dan mental saya dari MI, SMP, MA, S1, S2, S3 yang telah menorehkan ilmu dalam pikiran dan sikap, serta motivasi yang luar biasa, memberikan tugas-tugas yang mampu membentuk mental, karakter dan kemampuan teoritis maupun praktis untuk menangkap peluang kehidupan dengan keilmuan.
  7. Prof. Dr. Muhamamd Abdul Karim, MA. yang telah membimbing disertasi saya saat kuliah S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
  8. Para rekan di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabupaten Klaten, LP Ma‟arif-NU, Lakpesdam-NU, Lesbumi-NU, Komunitas Masyarakat Pesantren Indonesia Jawa Tengah, seluruh santri dan Jama‟ah Pondok Pesantren Darul Afkar Klaten, , semua sanak saudara, sejawat, kerabat, sahabat, para guru, dosen yang tidak bisa disebut satu persatu yang telah menempa kami, hingga berdiri di mimbar ini. Kami ucapkan terima kasih, mohon maaf atas segala kekurangan, wal „afwu minkum.

Hanya kepada Allah Swt kami menyandarkan apa yang terbaik dan terindah. Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah sebaik-baik Pelindung. Hasbunallahu wa ni‟ma al-wakil ni‟ma al-maula wa ni‟ma an-nashir. Wa Maa Taufiiqii Illa Billah, „Alaihi tawakkaltu wa ilahi uniibu. Wassalaamu‟aliakum warahmatullahi wa barakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Basit. 1996. Sejarah Masjid Agung dan Gamelan Sekaten di Surakarta. Sala: Mardikintoro.
Bakri, Syamsul. 2015. Gerakan Komunisme Islam Surakarta 1914-1942. Yogyakarta: LKiS.
Baudet, Enrest Henri Philippe dan Izaak Johannes Brugmans. 1987. PolitikEtis dan Revolusi Kemerdekaan. terj. Amin S., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hatta, Mohammad. 1953. Kumpulan Karangan I. Djakarta-Amsterdam-Surabaja: Balai Buku Indonesia.
Hurgronje, Snouck. 1995. “Sarekat Islam”, dalam E Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936. terj. Sukarsi. Jakarta: INIS.
Kartodirdjo, Sartono et. al. 1975. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Korver, Ape. 1985. Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil?. terj. Tim Grafiti. Jakarta: Grafiti Press.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Kuntowijoyo _. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Larson, George D. 1942. Prelude to Revolution: Palaces and Politics in Surakarta 1912-1942. Holland & USA: Foris Publication.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. terj. Tim Gramedia. Jilid 3. Jakarta: Gramedia.
Meidema, J. dan Stokhof. 1991. Memories van Overgave van de Afdeling Noord Nieuw-Guinea. Leiden: DSALCUL.
Mooryati, Soedibyo dan Sumoningrat Gunawan. 2009. Sri SusuhunanPakuBuwono X: Perjuangan, Jasa, dan Pengabdianuntuk Nusa dan Bangsa. Jakarta: Bangun Bangsa.
Marcopolo. 1930. The Travel of Marco Polo. revised from Marsden‟s. Translation and edited with introduction by Manuel Komproff. New York: W. W. Norton & Company Inc..
Nurhajarini, Dwi Ratna et al. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan & Kebudayaan Republik Indonesia.
Pranoto, Suhartono W. 2010. Jawa: Bandit-bandit Pedesaan, StudiHistoris 1850-1942. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pringgodigdo, Abdul Karim. 1996. Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia. Djakarta: Pustaka Rakyat.
Pusponegoro, Ma‟mun et al. 2007. Kauman: Religi, Tradisi, dan Seni. Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman.
Reiner, G.J., Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terj. Muin Umar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987.
Ricklefs, M.C. 2007. Sejarah Indonesai Moderen. terj. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rijkevorsel, L. van dan R.D.S. Hadiwidjana. 1929. Tanah Djawi Lan Tanah-Tanah Ing Sakiwa Tengenipoen. Den Haag: B. Wolters Uitgevers Maatschappi.
Shiraishi, Takashi, 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa, 1912-1926. terj. Hilmar Farid, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Swellengrebel, J.L. 1974. In Leijdecker Voetspoor: Anderhalve Beuw Bijbelvertaling EnTaalkunde in De Indonesische Talen I 1820-1900. S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Tosh, John. 1984. The Persuit of History: Aims, Methode and Directions in the Study of Modern History. London: Longman.
Tim Redaksi Medan Moeslimin. 1996. Hidajatoel Awam. Surakarta: Medan Moeslimin. Winengkoe, Dipo. 1922. “Nasib Kita (Ra‟djat Djadjahan)”, dalam Islam Bergerak. Edisi 1 Januari 1922.
Winter, C.F. 1928. Javaavsche Zamen Spraken II. Jakarta: Balai Pustaka.
Wikana. 1946. “Persatoean” dalam Revolusioner. Edisi 16 Februari 1946.
Yamin, Muhammad. 1951. 6000 Tahun Sang Merah Putih, Genewa: t.p.


Surat Kabar
Api. 1924. Semarang.
Bromartani.1931. Soerakarta.
Darmo Kondo. 1919 & 1930. Soerakarta.
Djawi Hiswara.1918. Soerakarta.
Doenia Bergerak. 1914. Salatiga.
Fikiran Ra‟jat. 1929-1933. Bandoeng.
Islam Bergerak. 1917-1923. Soerakarta.
Koemandang Djawi. 1919. Soerakarta.
Medan Moeslimin. 1915-1926. Soerakarta.
Oetoesan Hindia. 1918-1922. Soerabaja.
Pawarti Soerakarta. 1938. Soerakarta.
Ra‟jat Bergerak. 1923. Soerakarta.
Revolusioner.1946. Djogjakarta.
Sinar Djawa. 1914-1916. Semarang.
Sinat Hindia. 1919-1924. Semarang.
Tjaja Hindia. 1913-1916. Kramat.


Arsip
Arsip Pakualaman Nomor 31/2121. Hal Sejarah Singkat Urutan Pemerintah Raja Raja Djawadari Zaman Mataram Sampai Sekarang (Diambil dari Catatan-catatan Kraton, Sejarah Kerajaan Surakarta).
Laporan Asisten Residen Surakarta. Tanggal 22 Agustus 1912. mr. 2301/12.
Serat Cabolek. Katalog Perpustakaan Pura Pakualaman. Nomor St.20/0143/PP/73.
Wijk, G.F. Van. 1914. “Solo Tahun 1909-1914”, dalam Memori van Overgave. terj. M. Husodo Pringgo Kusumo. Surakarta: t.p.

SAMBUTAN REKTOR PADA WISUDA SARJANA & MAGISTER KE-47 IAIN SURAKARTA

Oleh: Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd
(Rektor IAIN Surakarta)

Yth. Ketua Senat, Sekretaris Senat, beserta Anggota Senat

Yth. Tamu Undangan

Yth. Para Orang Tua/Wali Wisudawan/Wisudawati

Yth. Wisudawan/Wisudawati

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan rendah hati dan penuh tunduk, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Illahi rabbi, karena atas rahmat dan taufik-Nya kita semua dalam keadaan sehat wal-‘afiat di hari ini. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberi bimbingan dan menjadi teladan kita semua.

Perkembangan Covid-19 hingga pekan-pekan ini belum membaik dan wilayah Solo Raya dalam status PPKM level 4 sehingga pelaksanaan Wisuda kali ini sepenuhnya dilakukan secara daring (online). Ada 9 orang wisudawan/wisudawati terbaik dari 5 Fakultas, 1  Program Pascasarjana, dan 3 tahfidz hadir secara luring sehingga tetap memenuhi ketetapan protokol kesehatan.

Perlu dicatat, Wisuda kali ini dilaksanakan dalam status lembaga telah beralih status menjadi Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta berdasarkan Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2021. Ini berarti wisudawan/wisudawati ke-47 kali ini menjadi Angkatan terakhir IAIN Surakarta, tetapi menjadi Angkatan pertama yang diwisuda dengan status lembaga UIN Raden Mas Surakarta. Saudara-saudara sekalian adalah bagian dari Angkatan yang berkontribusi pada proses alih status ini melalui prestasi-prestasi selama belajar dan kiprah sosial nantinya di masyarakat. Meskipun Saudara-Saudara merupakan Angkatan terakhir IAIN Surakarta, namun Saudara-Saudara telah berjasa dalam mengantar lembaga ini pada keadaannya sekarang. Tanpa Saudara-Saudara, maka alih status tidak akan terjadi karena ada kekosongan Angkatan yang menandai lembaga ini tidak sehat.

Selanjutnya, Wisuda kali ini juga dilaksanakan berbarengan dengan suasana  Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke-76. Kita diingatkan akan karunia terbesar yang diberikan Allah swt kepada bangsa kita berupa kemerdekaan, sehingga kita dan bangsa Indonesia pada umumnya dapat membangun dan mengisi kemerdekaan itu dengan penuh damai, aman, dan leluasa. Hanya dengan kemerdekaan seluruh energi, inovasi, dinamika, kecerdasan, bakat-bakat terbaik, dan potensi peradaban memperoleh ruang tumbuh seluas-luasnya memenuhi tujuan-tujuan pembangunan bangsa yang berdaya saing. Rasa syukur ini patut diperbarui terus-menerus agar memupuk rasa tanggung jawab kita sebagai anak-anak bangsa yang berkualitas dari tahun ke tahun melalui program-program Pendidikan yang unggul. Juga agar kita menyadari makna penting stabilitas bangsa serta menghindari perpecahan yang mengakibatkan keterpurukan sendi-sendi kehidupan yang lebih luas. Konflik Afghanistan, Suriah, Yaman, Libia, Kongo, dan lain-lain menjadi pelajaran berharga untuk kita semua.

Salah satu mensyukuri Kemerdekaan adalah dengan berkontribusi pada bidang masing-masing yang dalam konteks UIN Raden Mas Said Surakarta adalah melalui penyediakan program-program Pendidikan yang berkualitas. Alih status ke UIN, karena itu, menjadi momentum emas untuk berkontribusi lebih baik lagi kepada bangsa melalui penyelenggaraan program studi-program studi umum yang berintegrasi dan berinterkoneksi dengan program studi-program studi Islam. Kapasitas lembaga yang lebih besar, tentu saja, menuntut kerja keras dan tanggung jawab besar untuk memenuhi tujuan-tujuan Pendidikan. Ada peluang dan tantangan yang perlu diantisipasi dan ini mendorong respons-respons akurat dari lembaga agar selalu relevan dengan kebutuhan-kebutuhan bangsa yang terus berubah.

Ada empat bidang yang terus-menerus berupaya ditingkatkan. Empat bidang itu meliputi: tata kelola yang bermutu; sumber daya manusia yang bermutu; pengajaran, penelitian, dan publikasi yang bermutu; serta program-program kegiatan kemahasiswaan yang bermutu. Empat bidang tersebut adalah pilar Kampus yang sangat penting dan menentukan kelangsungan trust masyarakat Pendidikan dan relevansi dengan tuntutan-tuntutan masyarakat modern. Ukuran-ukuran bermutu, tentu saja, dikaitkan dengan peta jalan pembangunan nasional di bidang Pendidikan Tinggi sesuai dengan perubahan-perubahan lingkungan nasional, regional, dan internasional.

Untuk memenuhi tujuan tersebut di atas, lembaga kita sudah diberi modal dengan status yang mengizinkan membuka program studi-program studi umum. Diharapkan secara bertahap, program studi-program studi umum, akan terwujud melalui proses pengusulan yang dikawal dengan baik dan profesional. Kerjasama yang baik, kepemimpinan kolektif-kolegial yang bertanggung jawab, dan peningkatan dedikasi yang profetik dari keluarga besar UIN Raden Mas Said Surakarta akan memudahkan pengejawantahan harapan serta upaya tersebut.

Akhirnya, kami mengucapkan selamat kepada para wisudawan/wisudawati yang telah berhasil diwisuda hari ini. Semoga keberhasilan ini menjadi awal dan pintu gerbang bagi keberhasilan besar di masa-masa mendatang. Saudara-Saudara sekarang telah menjadi alumni, namun demikian silaturahim harus terus tersambung. Kampus ini tetap membuka pengabdian dan kiprah Saudara di masa-masa mendatang.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Surakarta, 23 Agustus 2021

Rektor,
Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd.





MEMBANGUN MODERASI BERAGAMA DALAM STRUKTUR KURIKULUM PTKI

Oleh: Dr. Imam Makruf, S.Ag., M.Pd
(Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga)
IAIN Surakarta

Moderasi beragama adalah salah satu misi Kementerian Agama yang harus diwujudkan saat ini. Untuk mewujudkan misi tersebut, Kementerian Agama telah mendorong lembaga pendidikan untuk turut ambil bagian di dalamnya. Salah satunya dengan keluarnya Surat Edaran Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor  B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 tentang Edaran Rumah Moderasi Beragama, Dalam edaran tersebut, setiap Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri wajib mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Bahkan, saat ini moderasi beragama telah didudukkan sebagai modal sosial dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2020-2024 dan menjadi program prioritas Kementerian Agama dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2020 tentang Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Agama Tahun 2020-2024. Hal ini kemudian diturunkan dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2020-2024 yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4475 Tahun 2020.

Berdasarkan data yang dihimpun melalui WA Group Majlis WR & Puket I PTKN pada tanggal 20 Oktober 2020, saat ini terdapat 29 PTKIN baik UIN, IAIN, maupun STAIN yang sudah memiliki atau mendirikan Rumah Moderasi Beragama. Hal ini tentu menjadi bukti adanya gerakan secara secara terstruktur di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam. Meskipun demikian sampai saat ini belum ada kesepakatan atau keseragaman pola pengembangan rumah moderasi yang ada di PTKIN baik terkait dengan struktur kelembagaannya, program kerjanya, maupun dukungan lain termasuk aspek finansial. Mayoritas PTKIN masih menempatkan Rumah Moderasi Beragama sebagai Lembaga Non Struktural setingkat dengan pusat-pusat studi yang ada di kampus. Sementara jika dilihat dari tuntutan kinerjanya yang begitu besar, semestinya dapat ditempatkan sebagai unit yang lebih besar dan posisinya di tingkat universitas/institut di bawah koordinasi langsung dari Wakil Rektor atau Pembantu Ketua.

Banyak fakta terkait dengan masalah moderasi beragama di Indonesia. Salah satunya hasil riset yang telah dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2019. Riset ini mengkaji tentang dinamika moderasi beragama yang dilakukan oleh negara dengan mengambil fokus 8 (delapan) daerah di Indonesia yang dianggap representatif. Temuan dari riset ini diantaranya adalah mendorong adanya sosialisasi program moderasi beragama; perlunya mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam penguatan moderasi beragama; dan pelibatan tokoh-tokoh agama, suku, atau kelompok yang memiliki potensi konflik baik secara fisik, ideologi, maupun pemahaman umat beragama. Dalam berbagai media massa sering ditemukan fakta tentang kekerasan yang mengatasnamakan agama. Misalnya adanya pembubaran kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh komunitas atau pemeluk agama tertentu, pelarangan atau pengusiran seseorang dari masyarakat karena beda agama, dan berbagai kasus lainnya. Meskipun hal-hal itu dapat saja dianggap sebagai perilaku oknum, tetapi tentu saja akan berbahaya apabila dibiarkan dan bukan tidak mungkin akan menjadi permasalahan secara nasional.

Pengembangan moderasi beragama di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan beberapa skema. Pertama, moderasi beragama menjadi mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi. Pola ini menempatkan moderasi beragama sebagai sebuah ilmu dan materi yang perlu diajarkan secara formal sebagai mata kuliah wajib baik institusional maupun fakultas. Pola ini bagus diterapkan untuk memberikan kepastian bahwa muatan moderasi beragama benar-benar sampai kepada mahasiswa dan terukur tingkat pemahaman dan capaian pembelajarannya. Namun demikian dengan pola ini, bisa berakibat pada minimnya tanggung jawab dari semua pihak di lingkungan kampus, karena menganggap bahwa moderasi beragama adalah mata kuliah sehingga pengampunya yang memegang tanggung jawab utamanya.

Kedua, moderasi beragama menjadi muatan baik pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang diintegrasikan atau diinternalisasikan pada banyak mata kuliah yang relevan. Dengan demikian moderasi beragama dapat menjadi salah satu chapter atau pokok pembahasan, atau menjadi issu yang dijadikan fokus kajian yang dikaitkan dengan pokok-pokok bahasan pada mata kuliah lain. Misalnya, pada mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, salah satu pendekatan yang diterapkan adalah mengkaji berbagai contoh penerapan moderasi beragama dalam perjalanan sejarah Islam. Pada mata kuliah ilmu kalam, moderasi beragama dapat dijadikan salah satu muatan sikap dan perilaku yang ditanamkan dengan dikaitkan pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam, pemahaman yang benar terhadap tauhid, dan sebagainya. Pada mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan dapat dikaitkan dengan pemahaman sikap toleransi beragama dan penguatan wawasan kebangsaan yang tidak ekslusif. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata kuliah lain baik mata kuliah ke-Islaman maupun mata kuliah lainnya.

Ketiga, moderasi beragama menjadi lembaga atau unit khusus yang dikembangkan dengan berbagai program yang diberikan kepada semua civitas akademika PT, baik kepada dosen, mahasiswa, maupun para tenaga kependidikan. Dengan demikian moderasi beragama bukan hanya menjadi tanggungjawab sebagian orang di kampus, tetapi menjadi tanggungjawab semua orang sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pola ini menjadikan Rumah Moderasi Beragama menjadi sentral pengembangan moderasi beragama, memberikan pendampingan, layanan aduan, dan juga pengembangan berbagai referensi dan bahan yang dibutuhkan. Pola ini lebih bersifat massif dan sistematis ketika rumah moderasi sudah masuk ke dalam struktur organisasi dan tata kerja (Ortaker) perguruan tinggi. Lingkup kerja dari Rumah Moderasi Beragama tidak hanya untuk kalangan internal perguruan tinggi, tetapi juga memberikan layanan kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan riset, pembinaan, pelatihan, pendampingan, dan sebagainya.

Terlepas dari pola mana yang akan dikembangkan, perguruan tinggi dapat melakukan penguatan moderasi beragama melalui kebijakan pengembangan kurikulum. Struktur kurikulum PTKI berbasis moderasi beragama dapat dibangun dengan pendekatan integrasi dan internalisasi. Dalam kontek pengembangan kurikulum berbasis KKNI dan SNPT, muatan moderasi beragama perlu dimasukkan dalam rumusan sikap, pengetahuan, dan keterampilan khusus sebagai penciri institusi. Dari rumusan tersebut kemudian diturunkan menjadi bahan kajian yang akan dimasukkan menjadi sub pokok bahasan ke dalam beberapa mata kuliah yang relevan sebagai pilar-pilar utamanya. Sedangkan pada mata kuliah lain, tidak harus masuk dalam pokok bahasan, tetapi dimasukkan pada internalisasi nilai-nilai moderasi beragama yang dituangkan dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Nilai-nilai ini perlu dituliskan secara eksplisit dalam RPS agar menjadi pengingat dan tidak terabaikan dalam proses perkuliahan. Dengan demikian secara sadar dan terencana, semua dosen pengampu mata kuliah perlu memberikan penguatan nilai-nilai moderasi beragama ini sesuai dengan konteks mata kuliah masing-masing. Pola inilah yang dikembangkan di IAIN Surakarta dengan ditetapkannya Panduan Pengembangan Kurikulum IAIN Surakarta sesuai Keputusan Rektor Nomor 391 Tahun 2020. Pada halaman 37 diberikan format RPS yang memuat penguatan moderasi beragama.

Sebagai konsekuensi dari kebijakan pengembangan moderasi beragama di PT, maka diperlukan adanya penguatan SDM yang memiliki wawasan moderasi beragama secara baik. Strategi penguatan SDM ini harus dilakukan untuk mendukung implementasi kurikulum. Di antara program yang dapat dikembangkan adalah pelatihan, TOT, workshop, riset, diskusi-diskusi, penerbitan/publikasi, dan sebagainya. Untuk itu dibutuhkan pula dukungan kebijakan terkait dengan afirmasi tema-tema riset, publikasi, penerbitan, dan kegiatan-kegiatan lain dalam bidang moderasi beragama. Dalam hal ini, dibutuhkan sinergitas yang baik antar unit kerja di lingkungan perguruan tinggi untuk saling mendukung dalam implementasi kebijakan.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah monitoring dan evaluasi implementasi kurikulum. Monitoring dan evaluasi ini tidak hanya dilakukan secara formal, tetapi juga dapat dilakukan secara informal. Evaluasi formal dapat dilakukan melalui program ujian tengah semester dan akhir semester, atau melalui monitoring terstruktur yang dilakukan program studi maupun fakultas. Sedangkan evaluasi informal dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk mengawal implementasi moderasi beragama di kampus. Misalnya dilakukan oleh pengelola Rumah Moderasi Beragama maupun pimpinan perguruan tinggi. Untuk melakukan monitoring dan evaluasi implementasi moderasi beragama dibutuhkan indikator-indikator keberhasilan yang jelas. Dalam hal ini, rumusan indikator capaian moderasi beragama di perguruan tinggi perlu dirumuskan secara bersama-sama dan menjadi salah satu item pengukuran yang minimal setiap tahun dievaluasi. Misalnya keberhasilan program dilihat dari jumlah atau frekuensi kegiatan bertemakan moderasi beragama, banyaknya mata kuliah yang memasukkan muatan moderasi beragama, banyaknya riset bertemakan moderasi beragama, dan sebagainya. Rumusan ini secara akumulatif kemudian menjadi salah satu item dalam perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh pimpinan program studi, fakultas, sampai dengan pimpinan PT.

Dari paparan di atas, maka sesungguhnya program moderasi beragama perlu dirumuskan secara terstruktur dan sistematis sampai masuk pada struktur kurikulum PT agar dapat terwujud secara optimal. Kesadaran dari semua civitas akademik akan urgensi dari moderasi beragama ini perlu ditingkatkan dan didorong dengan adanya kebijakan dan regulasi mulai tangkat nasional sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dapat dipahami kenapa visi Kementerian Agama harus diturunkan sampai dengan visi perguruan tinggi untuk menjamin adanya kesinambungan dan keselarasan pencapaian visi secara nasional.

MUSIM IBADAH DI MUSIM PANDEMI

Oleh: Dr. H. Syamsul Bakri, M.Ag
(Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama)

Umat Islam sedang memasuki bulan suci Ramadhan 1441. Bagi umat Islam, Ramadhan adalah bulan yang suci dan dimuliakan karenma di bulan tersebut, kitab The Holy Qur’an diturunkan, baik dalam pengertian diturunkan dari Lauh Mahfudz ke langit dunia pada malam lailat al-qadr, maupun diturunkan secara bertahap kepada Nabi pada 17 Ramadhan, yang dikenal dengan malam nuzul al-Qur’an. Di bulan suci inilah, puasa diwajibkan, serta pintu-pintu surge dibuka bagi umat yang memperbanyak amal salih.

Tentu umat Islam menjadikan momentum Ramadhan sebagai moment mengamalkan ajaran al-Qur’an yang menjadi way of li e bagi setiap orang yang mengaku pengikut Muhammad. Semanngat ibadah juga muncul karena di dalam bulan Ramadhan terkandung banyak  fadhilah dan keutamaan, sepuluh hari pertama penuh dengan rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan sepuluh hari terakhir adalah pembebasan dari api neraka. Pesta keagamaan dan spiritualitas pun digelar dalam berbagai bentuk dan model ritual, seperti tarawih berjama’ah, buka dan sahur bersama, tadarus bersama, dan berbagai macam bentuk kajian dan pengajian. Setiap muslim ingin menjadi se-salih mungkin di bulan Ramadhan.

Namun demikian, tanpa mengurangi kesucian Ramadhan, umat Islam perlu disadarkan bahwa Ramadhan 1441 H ini berada di musim pandemi covid-19, di mana  menurut protocol kesehatan WHO, segala macam bentuk kumpul-kumpul (Jawa: kemruyuk) seharusnya dihindarkan, baik kumpul=kumpul dalam rangka ibadah maupun acara sosial, lebih-lebih acara yang sifatnya hiburan.

Pandemi covid-19 ini sepertinya masih panjang, sedangkan banyak masyarakat sudah mulai bosan, dan tidak tahan lagi untuk stay at home, work from home, dan pray for home. Dengan berbagai alas an, baik alas an ekonomi, ataupun alasan keagamaan. Setiap hari grafik kasus selalu bertambah, tetapi masyarakat semakin ceroboh dan gegabah. Sang waktu, makhluk Tuhan yang paling perkasa pun kewalahan dln menghentikan gerak vovid-19 yang lajunya begitu kencang. Ini karena pemerintah kurang cekatan, masyarakatnya pun ngeyelan, walaupun sudah tahu banyak yang menjadi korban.

Otoritas Keagamaan di Indonesia, baik Kementerian Agama, MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan ormas lainnya, sudah mengeluarkan Surat Edaran dan atau himbauan supaya umat Islam tarawih, tadarus, buka dan sahur bersama di rumah, serta meniadakan pengajian umum di musoim ibadah tahun ini karena badai covid-19 belum berlalu. Himbauan adalah benar dan baik serta sudah mendedepanksn kemaslahatan bangsa manusia.

Himbauan tersebut jangan sampai dimaknai larangan beribadah. Ini persepsi yang tidak ilmiah. Himbauan tersebut didasarkan pada kaidah fikih “Dar’u al-mafâsid muqaddam[un] ‘alâ jalbi al-mashâlih”, atau dengan redaksi lain, ” dar’ul mafâsid aulâ min jalbi al-mashôlih”, yang artinya mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengupayakan kemaslahatan.

Al-Mafâsid artinya berbagai hal yang merusak atau dapat merusak, berbagai bahaya atau yang dapat menimbulkan bahaya, berbagai hal yang menciptakan petaka, lesulitan, penularan penyakit atau dampak buruk lainnya baik pada diri seseorang, dan atau berdampak pada masyarakat luas.

Berbagai bentuk kumpul-kumpul, terutama yang tidak mengindahkan social distancing maupun physical distancing, adalah nyata-nyata merupakan al-mafsadat yang harus dihindari. Ini lebih penting daripada tetap menjalankan ritual ramadhan dengan kumpul-kumpul, walaupun dengan tujuan yang mulia. Jadi dalam konteks ini, menghindari penyebarluasan dan penularan virus corona dengan tidak melakukan pesta keagamaan ramadhan di masjid atau temnpat umum, harus lebih diutamakan ketimbang mencari keutamaan dan manfaat ibadah berjama’ah (dengan kumpul-kumpul)

Beragama memang harus rasional dan tidak perlu termehek-mehek, apalagi penuh dengan nafsu. Beragama itu dengan hati dan pikiran yang rasional. Jangan sampai kecintaan kepada ramadhan menjadi sebuah api nafsu yangg membara, yang dapat membakar kesejukan iman dan tauhid. Mengendalikan “nafsu” dalam ibadah dengan tidak mengadakan acara kumpul-kumpul, dan menggantinya dengan pray for home adalah perilaku beragama yang rasional. Rasionalitasnya terletak bahwa pray from home adalah tindakan yang bermanfaat dalam memutus mata rantai penyebaran covid-19. Pray from home pun menjadi ibadah yang sangat mulia, yang keutamaannya tidak dapat diukur dengan angka-angka.

Beragama harus mengindahkan sains dan teknologi. Pemikiran keagamaan tidak cukup hanya berbasis pada teologi dan metafisika, tetapi juga harus berpijak pada teori empiric-positivistik yang dilahirkan dari riset terhadap hukum alam (sunnatullah). Dengan mengindahkan protocol kesehatan, berarti sudah mempercayai kebenaran ilmu pengetahuan. Begitu banyak dalil menunjukkan bahwa beribadah tanpa ilmu adalah kejahilan. Jangan sampai ibadah dilakukan dengan pikiran sempit dan bodoh dengan menolak ilmu pengetahuan.

Masih banyak ibadah yang bisa dilakukan dan dapat menambah kualitas ibadah Ramadhan, yakni berderma (shodaqah), apalagi di musim pandemi di mana roda ekonomi berjalan lambat sehingga banyak masyarakat kecil membutuhkan uluran tangan. Bahkan, di dalam kondisi sulit seperti ini, berbuat baik bagi masyarakat terdampak pandemi, walaupun niatnya untuk pamer atau ada motif duniawi lainnya, itu tetap saja bermanfaat. Jika toh perbuatannya tidak ada nilai ibadah, tetapi doa org-orang yang ditolong itu akan  didengar langit. Hal ini lebih baik daripada hanya banyak bicara (baca: kemrutuk) tanpa melakukan apa-apa.

Setiap oramg tentu berharap, badai pandemi covid-19 ini segera berlalu. Seluruh penduduk planet bumi berharap gerak roda kehidupan dunia segera normal kembali. Bagi setiap muslim tentu berharap covid-19 berakhir sebelum Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini. Tetapi jika sampai Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri badai covid-19 belum belum berakhir, maka harus ridha atas ketetapan Tuhan. Ridha adalah sikap batin paling terpuji dan  maqam tertinggi dalam tasawuf sunni pada umumnya. Berdoa tentu diaanjrkan, bahkan diwajibkan. Namun demikian berdoa itu beda dengan afirmasi (perintah), berbbeda dengan ngatur-ngatur Tuhan. Jangan sampai seorang muslim berdoa tetapi diksi dan intonasinya malah mendikte Tuhan. Jangan sampai bersikap termehek-mehek dalam beragama, apalagi kemudian “membentak” Tuhan dalam untaian ucapan dan do’anya, akibat nafsu beribadah yang tidak disertai dengan ilmu.

Musim ibadah di musim pandemi, memerlukan kecakapan psiko-spiritual dan nalar yang lurus. Ini penting agar ibadah yang dilakukan tidak malah ikut berpartisipasi dalam menyumpang angka penularan covid-19. Agama mestinya menjadi rahmat bagi seru sekalian alam. Keinginan kuat dalam menjalankan doktrin agama yang tidak mengindahkan protokol kesehatan adalah perilaku yang melewati batas, dan hal ini justru akan menciptakan malapetaka bagi orang lain. Pray from home menjadi keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar, kualitas ibadah tetap dijaga, dan pada saat yang sama sudah melakukan jihad  melawan mafsadat.

Penulis adalah Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Surakarta dan Pengasuh Ponpes Darul Afkar Ceper Klaten

E-LEARNING, SEBUAH KENISCAYAAN DALAM PENDIDIKAN MODERN

Oleh: Dr. Imam Makruf, S.Ag., M.Pd
(Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga IAIN Surakarta)

Istilah e-learning sebenarnya bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan terutama pada pendidikan tinggi yang menjadi fokus pada tulisan ini. Istilah ini sudah lama ada dan diterapkan sebagai salah satu daya dukung dalam pendidikan. Pada tahun 1960-an sudah dikenal adanya Programmed Logic for Automatic Teaching Operations, yaitu pembelajaran yang memanfaatkan sistem instruksi berbasis computer (Computer Assisted Instruction) di Universitas Ilionis. Dalam perkembangannya kemudian muncul berbagai aplikasi berbasis komputer seperti Computer Based Instruction (CBI), Learning Management System (LMS), dan terbaru ini digabungkan lagi dengan Social Network Learning (SNL) yang mengaitkan berbagai media sosial dalam pembelajaran.

Lebih dari satu dasawarsa terakhir ini penerapan e-learning di Indonesia sebenarnya sudah semakin menguat sebagai salah satu bentuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal ini tertuang dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistiknas Pasal 31. Kemudian untuk implementasinya dikeluarkan Permendikbud Nomor 103 tahun 2013 tentang Pendidikan Jarak Jauh. Meskipun demikian, tujuan utama dari kebijakan tersebut sesungguhnya adalah untuk memberikan layanan pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka, dan memperluas akses serta mempermudah layanan pendidikan tinggi dalam pendidikan dan pembelajaran. Dalam implementasinya, PJJ dapat diterapkan pada program studi maupun mata kuliah dengan berbagai modus, yaitu modus tunggal, modus ganda, atau modus konsorsium.

Dalam pelaksanaannya, PJJ atau e-learning ini memiliki berbagai persyaratan dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh berbagai pihak, mulai dari SDM (tenaga pendidikan dan kependidikan), sarana prasarana, bahan dan sumber belajar, serta pembiayaannya. Namun demikian hal ini dapat ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi penyelenggaranya. Dengan kecepatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, inovasi dalam bidang program/software teknologi begitu cepat, bahkan semakin hari ada kecenderungan semakin mudah, semakin murah, dan memiliki fleksibilitas yang semakin tinggi pula. Apalagi perkembangan social media yang nampaknya sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pola hidup masyarakat saat ini.

Benarkah pendidikan e-learning sudah siap diimplementasikan saat ini?

Kemenristekdikti tahun 2019 sudah mengeluarkan Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi di Era Industri 4.0. Dalam panduan tersebut sudah dijelaskan bagaimana alternatif pembelajaran yang dikembangkan menggunakan pembelajaran bauran (blended learning). Pembelajaran bauran (blended learning) adalah salah satu metoda pembelajaran yang memadukan secara harmonis antara keunggulan-keunggulan pembelajaran tatap muka (offline) dengan keunggulan-keunggulan pembelajaran daring (online) dalam rangka mencapai capaian pembelajaran lulusan (tim KPT KemenristekDikti, 2018). Di beberapa perguruan tinggi, sudah dilakukan revisi kurikulum dengan merujuk pada pedoman tersebut. Akan tetapi di PTKI secara umum proses ini masih belum banyak yang melakukan, terutama dalam mengadopsi pembelajaran blended learning.

Munculnya pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini, sekaligus menjadi moment yang tepat untuk menjadi test case terhadap kesiapan perguruan tinggi dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk menerapkan e-learning. Dalam berbagai forum telah disampaikan oleh para pejabat negara mulai Presiden, Mendikbud dan Menteri Agama yang kemudian diikuti dengan surat edaran dari masing-masing perguruan tinggi, seluruhnya mengambil kebijakan dengan pemberlakuan perkuliahan daring (e-learning) atau PJJ. Kebijakan ini memang tidaklah mudah untuk diambil, karena konsekuensi sesungguhnya dari pemberlakuan perkuliahan daring tersebut tidaklah sederhana. Namun demikian dalam konteks saat ini, perkuliahan daring dilaksanakan sebagai sebuah solusi yang paling rasional dan aman, termasuk dapat dibenarkan secara akademis.

Kajian sederhana ini dilakukan dengan melihat pola dan alternatif pembelajaran daring yang diterapkan pada berbagai PTKIN yang diambil secara acak dari hasil browsing di internet dan broadcast di beberapa group WA. Materi yang dianalisis adalah kebijakan yang dikeluarkan perguruan tinggi dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 yang pada umumnya berupa Surat Edaran Rektor. Berdasarkan penelusuran tersebut ditemukan beberapa contoh kebijakan yang disajikan dalam tabel berikut:

KampusDokumen KebijakanIsi KebijakanPilihan Perkuliahan
UIN Walisongo SemarangSurat Edaran No: B-1630/Un.10.0/R/ HM.00/03/2020Perkuliahan teori untuk jenjang Diploma, Sarjana dan Pascasarjana mulai tanggal 16 Maret 2020 sampai dengan 27 Maret 2020 dilaksanakan secara daring/online melalui program aplikasi yang disediakan UIN Walisongo atau menggunakan metode perkuliahan lainnya yang tidak menggunakan tatap muka secara langsung– E-learning dengan aplikasi dari kampus- Metode non tatap muka lainnya
UIN Sultan Syarif Kasim RiauSurat Edaran Nomor: B-1179/Un.04/ KP.07.06/ 03/2020Kegiatan belajar mengajar di lingkungan UIN Syarif Kasim Riau dilaksanakan dengan system penugasan/sistem lainnya di luar kelas.– Penugasan- Perkuliahan di luar kelas
UIN Sunan Kalijaga YogyakartaSurat Edaran Nomor: 53 Tahun 2020Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di lingkungan UIN Sunan Kalijaga tetap dilaksanakan dengan sistem pembelajaran online atau penugasan.– Pembelajaran online- Penugasan
UIN Sunan Ampel SurabayaSurat Edaran Nomor: Pt-817.A/Un.07/01/R/ PP.00.1/ 03/2020…diinstruksikan kepada para Dekan dan Direktur Pascasarjana untuk meniadakan perkuliahan dalam kelas pada tanggal 16-20 Maret 2020. Perkuliahan dapat digantikan dengan metode pembelajaran lainnya.– Metode pembelajaran lain (di luar kelas)
IAIN SurakartaSurat Edaran No. 1 Tahun 2020Terhitung sejak tanggal 16–28 Maret 2020 perkuliahan dilaksanakan secara daring (online) menggunakan aplikasi yang sudah disediakan melalui link https://elearning.iain-surakarta.ac.id atau aplikasi lainnya– E-Learning dengan aplikasi dari kampus- Aplikasi lainnya
IAIN PontianakSurat Edaran Nomor: 03 Tahun 2020Terhitung sejak tanggal 16 s.d. 27 Maret 2020 perkuliahan dilaksanakan secara daring (online)/e-learning/WA Group/MailingList/penugasan bentuk lainnya di luar tatap muka.– E-learning- WA Group- MailingList- Penugasan
IAIN SalatigaSurat Edaran Nomor: B-1429/In.21/HO.00.7/ 03/2020Kegiatan perkuliahan di lingkungan IAIN Salatiga pada tanggal 16 s.d 28 Maret 2020 dilakukan dengan sistem pembelajaran daring atau penugasan terstruktur.– Pembelajaran daring (tidak dijelaskan)- Penugasan terstruktur
IAIN PonorogoSurat Edaran Nomor: B-1710/In.32.1/KP/01/03/ 2020Kegiatan perkuliahan di lingkungan IAIN Ponorogo mulai tanggal 17 s.d 30 Maret dilakukan dengan sistem pembelajaran online (daring), penugasan atau model pembelajaran lainnya.– Pembelajaran online (daring)- Penugasan- Model lainnya

Dari delapan PTKIN tersebut, dilihat dari redaksi yang digunakan, hampir semua menunjukkan pilihan belajar via online (daring) dan model-model non tatap muka lainnya. Hal ini secara tersirat menunjukkan bahwa rata-rata PTKIN belum menerapkan model e-learning yang resmi dengan aplikasi yang sudah dimiliki kampus. Bahkan dari delapan PTKIN tersebut yang menuliskan alamat website e-learning-nya hanya IAIN Surakarta, yang inipun sesungguhnya baru saja dikembangkan. Memang hal ini tidak dapat secara simple disimpulkan bahwa PTKIN tersebut umumnya belum memiliki layanan e-learning. Akan tetapi bagi kampus yang sudah memiliki program atau layanan e-learning tentunya akan lebih mengarahkan pelaksanaannya menggunakan program yang sudah ada. Hal ini misalhnya yang dilakukan oleh UGM yang menuliskan alamat laman e-learning resmi (elok.ugm.ac.id) yang sudah dimiliki, meskipun tetap memberikan peluang kepada dosen untuk menggunakan aplikasi lain. Di sisi lain, pemberian alternatif model lainnya tersebut kemudian memberikan kebebasan pada para dosen untuk menggunakan berbagai aplikasi termasuk media sosial seperti WA Group, fb, dan lainnya.

Pemberlakuan perkuliahan daring pada perguruan tinggi saat ini memang “dipaksakan” karena adanya kondisi yang tidak memungkinkan perkuliahan tatap muka. Tentu saja respon dari para dosen dan mahasiswa akan sangat beragam. Ada yang menyambut dengan senang, ada yang dengan berat hati. Begitu pula bagi para pimpinan perguruan tinggi, terlebih lagi bagi Lembaga Penjaminan Mutu. Sebuah proses perkuliahan harus dapat memenuhi dan bahkan melampaui standar-standar yang ditetapkan. Dengan pelaksanaan perkuliahan daring yang belum didukung infrastruktur, skill, bahan dan sumber belajar, dan berbagai aspek lainnya yang terkait, maka akan sulit untuk menjamin mutunya. Sementara itu dalam kerangka Standar Nasional Pendidikan Tinggi, setiap pembelajaran harus memenuhi 8 (delapan) standar. Dalam kondisi darurat yang saat ini terjadi, setidaknya yang paling penting diperhatikan adalah standar proses pembelajaran. Untuk itu para dosen perlu memperhatikan karakteristik proses pembelajaran, perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan beban belajar mahasiswa. Implementasi e-learning di era modern ini adalah sebuah keniscayaan. Salah satu model yang paling mungkin dikembangkan adalah blended learning yang menggabungkan perkuliahan tatap muka dengan perkuliahan daring. Oleh karena itu hal yang penting untuk dilakukan setelah berakhirnya proses pembelajaran daring di masa darurat ini adalah mengevaluasi pelaksanaannya untuk memetakan kesiapan PT dari aspek regulasi, SDM, sarana prasarana, bahan dan sumber belajar, serta berbagai kendala dan strategi mengatasinya. Peta hasil evaluasi tersebut nantinya akan sangat bermanfaat untuk merumuskan kebijakan baru tentang pengembangan e-learning yang efektif. Dalam teori perumusan kebijakan, proses ini dapat dimasukkan dalam Model Rasional Komprehensif. Dalam model ini, pemnbuatan keputusan dihadapkan pada masalah tertentu yang dianggap bermakna dibandingkan masalah-masalah lainnya. Berbagai alternatif untuk menyelesaikan masalah perlu diselidiki dengan konsekuensi-konsekuensinya yang kemudian ditetapkan alternatif terbaiknya untuk menjadi sebuah keputusan atau kebijakan.

Jihad Melawan Covid-19 Dengan Laku Sufi

Oleh: Dr.H.Syamul Bakri, S.Ag., M.Ag
(Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Surakarta)

Virus Corona atau yang dikenal dengan Covid-19 yang awalnya hanya bersifat endemic di Wuhan, Tiongkok, kini sudah mewabah menjadi pandemic yang mengancam bangsa manusia di planet bumi.  Tentu ini bukan masalah sederhana walaupun banyak orang dungu menyederhanakannya. Kekuatan Covid-19 bisa jadi bukan dari daya bunuhnya, tetapi dari daya tularnya yang sangat cepat dan sulit dikontrol. Pandemi Corona telah meruntuhkan mitologi “kesaktian” orang-orang sakti dan “juru bicara” langit pun mesti harus mematuhi doktrin medis dan ilmu pengetahuan.

Penanganan dan antisipasi tentu harus mengikuti prosedur penanganan dan antisipasi sesuai dengan kaidah hukum alam (sunnatullah). Hukum alam berjalan tanpa pandang bulu agama dan keyakinan. Jika ada pertanyaan soal Covid-19 maka perlu ditanyakan kepada ahli medis, pakar farmasi ataupun formulator herbal. Jangan bertanya kepada agamawan ataupun ahli di luar bidang kedokteran dan farmasi, sebagaimana firman Allah:

فاسألوا اهل الذكر ان كنتم لا تعلمون

Artinya: “bertanyalah kepada ahli ilmu, ketika kamun tidak tahu”. Ahl al-dzikr diartikan sebagai orang yang hidupmya senantiasa berkomitmen dalam bidang keilmuan tertentu. Mereka kemudian disebut pakar.

Dalam menghadapi pandemic Covid-19, ahl al-dzikr itu adalah pakar kedokteran dan biologi. Mereka adalah orang alim di bidangnya. Dengan demikian maka di tengah terjangan badai Corona, nasehat dan doktrin-doktrin medis harus diterima tanpa syarat.

Tulisan ini akan mendeskripsikan nilai-nilai tasawuf dalam memberikan kontribusi positif dalam menghadapi kasus Corona. Tentu tulisan ini bukan bicara amalan atau wirid anti Covid-19. Orang yang menawarkan metode keagamaan sebagai langkah alternatif dalam menghadapi terjangan badai Covid-19, sungguh ia merupakan orang yang  lemah akal, dan pikirannya rusak oleh imajinasi keagamaannya sendiri. Nabi saja ketika menghadapi wabah memberikan anjuran medis, dan bukan memberikan amalan bukan meruqyah. Nabi memerintahkan umat untuk tidak memasuki daerah wabah, dan yang berada daerah wabah endemi supaya tidak keluar.

Jadi, jika kita dengan cerdas mengikuti Nabi, maka tidak membuat “teori” teknis melawan corona dengan amalan-amalan keagamaan yang tidak sejalan dengan doktrin medis. Ditakutkan masyarakat awam akan mengikuti petunjuk “spiritual” lalu percaya diri dan hidup sembrono. Tentu itu menyesatkan. Maka, kembalikan pada petunjuk medis. Para agamawan boleh membuat fatwa moral untuk menguatkan jiwa umat, tapi jangan sampai membuat fatwa teknis “alternatif” terkait penanggulangan Covid-19.

Uzlah dan Khalwat

Dalam tradisi sufi dikenal istilah uzlah (mengasingkan diri) dan khalwat (menyendiri). Uzlah dan khalwat dapat dimaknai menjauhkan diri tempat-tempat keramaian. Khalwat yang dilakukan dalam dalam waktu yang panjang maka disebut uzlah. Khalwat maupun uzlah dilakukan dengan cara mengasingkan diri dari hiruk pikuk dinamika kehidupan duniawi. Inti dari khalwat adalah meninggalkan kesibukan duniawi, dan melakukan dzikir dan tafakkur agar memiliki kesadaran yang dalam akan kehadiran Tuhan. Secara fisik, kondisi khalwat adalah sepi, akan tetapi secara batin akan ramai. Khalwat itu seperti berdansa dalam batin, merayakan kejayaan cinta illahi.

Khalwat artinya menyendiri atau menyepi untuk sementara waktu, yakni memisahkan dari keramaian untuk pendekatan diri kepada Allah. Lawan katanya shuhbah atau berkumpul. Khalwat dimaksudkan untuk melindungi diri dari pengaruh negatif baik yang datang dari diri sendiri maupun dari luar diri.

Perilaku inilah yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat dunia. Tidak ada langkah yang lebih baik dan lebih tepat dalam berjihad melawan terjangan pandemic Covid-19 kecuali uzlah dan khalwat. Dalam konteks ini, bisa ditegaskan bahwa  uzlah dan khalwat adalah cara paling efektif dalam memutus mata rantai penularan Covid-19. Hal ini sudah sering ditegaskan oleh para pakar medis di dunia. Uzlah dan khalwat dalam konteksi ini dimaknai isolasi, social distance maupun jika diperlukan lockdown. Ketiganya adalah bentuk khalwat dan uzlah dalam konteks tafsir pandemik Covid-19.

Menghidarkan diri dari keramaian sosial adalah khalwat dan sekaligus uzlah. Begitu juga instruksi untuk dunia pendidikan agar menyelenggarakan proses belajar mengajar jarak jauh dan online, atau ketentuan pegawai bekerja di rumah. Penutupan sementara tempat-tempat ibadah, semua adalah khalwat dan uzlah. Larangan berkumpul dalam jumlah yang banyak adalah bentuk persepian khalwat yang nyata. Dan hal ini akan memangkas jalur-jalur saraf dan nadi penyebaran Covid-19.

Siapapun yang tidak mengindahkan khalwat dan uzlah, walaupun atas nama kegiatan agama dan keagamaan, maka mereka adalah orang dungu. Disebut dungu karena melawan ilmu pengetahuan. Tentu, sebagai umat beragama, harus terus berdoa dan bermunajat kepada Tuhan SWT agar dijauhkan dari Covid-19, tapi doa tidak dapat menggantikan keharusan untuk mengikuti petunjuk medis. Jangan sampai hanya mengandalkan doa dan amalan keagamaan saja. Ibarat lapar, maka yang paling penting adalah makan, bukan doa supaya kenyang. Berdoa memberi bobot pada nilai makan, dan bukan menggantikan aktivitas makan. Jika motormu mogok, ikuti petunjuk teknis menyervise. Jika hanya berdoa saja, maka motor tetap akan mogok, karena doa dan amalan wirid tidak dapat menmperbaiki motor yang mogok. Tuhan melakukan intervensi atas problem-problem manusia melalui tangan manusia dalam kerangka hukum alam (sunnatullah). Kitab suci tidak bicara teknis soal ilmu pengetahuan. Kitab suci hanya bicara ide-ide moral dan spirit ilmu pengetahuan.  Begitu juga soal Covid-19, antisipasinya juga harus dengan metode saintifik, bukan keyakinan keagamaan. Ini soal sains, bukan soal dogma. Mari berfikir positivistik.

Tabligh akbar, doa bersama, pengajian, dan acara keagamaan lainnya, bahkan jika dimaksudkan untuk memohon pertolongan Tuhan agar dijauhkan dari Covid-19, tetapi jika mengumpulkan banyak manusia, maka sesungguhnya mereka telah melawan sunnatullah. Mereka sembrono melawan ilmu pengetahuan. Mereka menghina sains. Kita berlindung kepada Allah dari godaan imajinasi keagamaan yang berlawanan dengan ilmu pengetahuan. Fatwa Jumhur Ulama tentang “penutupan” masjid di zona merah dan kuning adalah tindakan yang rasional walaupun masih ada yang lebih percaya pada keyakinan imajinatifnya sendiri dengan mengabaikan perintah akal sehat. Tuhan memberi akal kepada manusia bukan sekedar benda simpanan.

Inilah khalwat dan uzlah, doktrin tasawuf yang mesti harus dipraktikkan dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Dengan berkhalwat dan beruzlah sesungguhnya kita sedang melakukan hal-hal yang ilmiah yang diterima akal sehat. Kita bisa beribadah dan taqarrub kepada Allah di bilik rumah dan kantor, tanpa harus “kemruyuk”. Percayalah kepada efektifitas khalwat dan uzlah ketimbang amalan-amalan alternatif. Para agamawan sebaiknya menahan diri untuk tidak banyak bicara alias “kemrutuk” tentang sesuatu yang tidak diketahui terkait covid-19. Semoga Allah memberi jalan terang, dan badai Corona segera berlalu.