Virus, Sains dan Ayat-Ayat Tuhan

Oleh: Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd
(Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam dan Rektor IAIN Surakarta)

Covid-19 atau Virus Corona Disease yang muncul pada awal Desember 2019 di Wuhan China kini menjadi hantu paling menakutkan di dunia. Virus ini hingga 14 Maret 2020, menurut real time Worldometers (Sabtu, 14 Maret 2020) tercatat telah menyebar ke-169 negara dan menginfeksi 145.637 orang dengan kematian 5.416 jiwa. Virus ini sangat cepat penyebarannya dan belum ditemukan vaksinnya. Organisasi Kesehatan Dunia WHO pada awal Februari 2020 telah menyatakan darurat global atas virus ini dan pada 11 Maret Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.

Kini dunia panik dan tergopoh-gopoh menghadang laju penyebaran virus ini. Sejumlah kota di Eropa lockdown. Bahkan Italia negara kedua terbanyak kasus Corona setelah China telah menutup akses bagi dunia luar. Setiap orang ‘saling curiga’ sehingga tidak lagi bersalaman.

Kita tak dapat meremehkannya. Virus ini terus menyebar mendekati lingkungan terdekat kita. Di Indonesia sendiri tercatat ada 69 kasus dengan kematian 5 orang (14/03). John Hopkins University and Medicine bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara nomor dua dalam persentasi kematian (5.20 %) setelah Italia yang 7.16% dari total kasus. Yang sangat mengkhawatirkan adalah terjadi lonjakan sangat cepat dari 34 kasus dalam sehari bertambah 35 sehingga menjadi 69. Tercatat 35.000 cuitan di tweeter yang mengusung tagar lockdownindonesia hingga 10.10 tanggal 14 Maret 2020. Ini menunjukkan betapa khawatirnya penyebaran virus ini jika langkah-langkah yang tepat tidak segera diambil.

Selamjutnya, angka-angka kasus infeksi Covid-19 di atas bukan angka mati. Akan terus bertambah berlipat-lipat jika tak ada penanganan sistematik, terlembaga, dan penuh kedisiplinan tinggi dari semua pihak.

Virus Covid-19 bukanlah virus rasis yang hanya menyerang satu suku bangsa tertentu. Virus ini telah menyerang secara global tanpa memandang suku, agama, ras, golongan, dan bangsa. Semua negara secara global menghadapi ancaman yang sama. Setiap bangsa juga diuji ketangkasannya dalam meredam pandemi Covid-19 ini.

Sejarah Yang Terus Berulang

Kita tidak tahu kapan virus Covid-19 ini akan mereda. Pada 2003-2003, kerabat dekat Covid-19, virus SARS, menelan korban global 774 orang dari 8.100 kasus. Demikian pula virus MERS pada 2012. Artinya, virus Corona atau Covid-19 telah melampaui jumlah korban SARS dan juga MERS hanya dalam dua setengah bulan. Kita berharap virus Covid-19 ini cepat tertangani dan dunia kembali damai.

Tapi, apakah dunia yang damai dan aman dari perang dan virus dapat terwujud di masa depan? Memprediksi masa depan yang aman dari keduanya sangatlah berat karena kehidupan makin sesak dan lingkungan bumi makin rusak. Ledakan penduduk yang cepat, industrialisasi yang serakah, dan konsumsi yang terus meningkat akan menyertakan problem-problem hidup yang tidak ringan.

Teknologi transportasi memudahkan transfer virus dengan cepatnya. Globalisasi membuat segalanya berpindah tanpa batas. Era modern dengan seluruh peradabannya terancam runtuh, jika dunia tak membuat langkah-langkah besar untuk mengatasinya. Ketidakdisiplinan satu negara dalam penanganan Covid-19, dapat mengacaukan keselamatan semua negara. Negara-negara saling tergantung dan diperlukan kerjasama.

Ketakutan dunia atas Covid-2020 didasarkan pada pengalaman sejarah. Saat ilmu pengetahuan belum maju, virus-virus sering dianggap sebagai kutukan dan penanganannya lebih bersifat teologis. Penanangan berbasis teologis hanya menenangkan tapi korban-korban terus berjatuhan. Sampai akhirnya sains menemukan vaksin dan mengidentifikasi penyebaran virusnya.

Dalam sejarah, Asia dan Eropa pada 1346-1351 M, pernah diserang virus yersinia pestis yang dikenal dengan black death atau wabah pes yang awalnya dari 12 kapal yang mendarat di pelabuhan Sisilia Messina Spanyol. Eropa kalang kabut karena hampir sepertiga penduduknya mati. Negara-negara Timur Tengah, Mesir, Suriah, Mekah, dan lain-lain juga tak luput dari ganasnya wabah pes ini.

Ganasnya virus ini diabadikan dalam buku-buku Barat dan Timur. Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah menyatakan wabah pes menyerang peradaban Timur dan Barat dan menewaskan banyak penduduk yang mengurangi populasi. Kota-kota dan banyak bangunan ditinggalkan; jalan-jalan senyap; dan seluruh tempat tinggal di negara-negara tersebut telah berubah (the Muqaddimah edisi 2, terj. F. Rosenthal).

Penulis Muslim lain, Ibnu Batutah dalam memoarnya al Rihla, merekam wabah yang menewaskan penduduk 2000 orang setiap harinya di Suriah dan Mesir dengan sangat pilu. Ia menulis, “Orang-orang Islam keluar bersama-sama berjalan kaki sembari membawa Al-Qur’an di tangan mereka. Seluruh warga kota itu bergabung dalam eksodus, laki-laki dan perempuan, besar dan kecil. Kaum Yahudi keluar dengan kitab Taurat dan kaum Kristen dengan Injilnya, bersama isteri dan anak-anak mereka. Mereka semua dalam air mata dan doa, memohon kemurahan Tuhan melalui kitab-kitab suci dan Nabi-Naninya” (dikutip dari Ross E. Dunn, 1986).

Di Eropa seperti dilaporkan Austin Alchon, Suzanne (2003), seorang ibu menguburkan tiga orang anaknya dan sehari kemudian suaminya saat wabah pes mengganas. Fenomena ini merata hingga menurunkan secara drastis populasi Eropa.

Gambaran ganasnya virus yersinia pestis di atas dapat menjadi pelajaran bahwa kehidupan memerlukan kerjasama dan pencarian tiada henti vaksin-vaksin yang tepat melalui sains. Agama-agama juga penting untuk membuat manusia lebih arif dalam berperan sebagai khalifatullah di muka bumi.

Virus-Virus dan Ayat-Ayat Tuhan

Virus-virus apapun jenis dan namanya, akan terus berevolusi. Dan dunia tak pernah sepi dari ancaman ini. Virus-virus adalah juga makhluk Tuhan yang ingin hidup. Mereka selalu mencari ruang tumbuh untuk melestarikan DNA mereka melalui self-replicate dengan sangat cepatnya. Itulah sebabnya, virus-virus ini, meminjam istilah Richard Dawkins dalam bukunya Selfish-Gen, selalu mengejar buat dirinya untuk terus hidup. Maka hewan-hewan seperti kelelawar, ular, tikus, ayam, dan lain-lain sering menjadi lahan empuk bagi ruang tumbuh virus-virus ini. Penularan, karena itu, melalui hewan ke manusia dan akhirnya dari manusia ke manusia.

Dalam karya Jarred Diamond “Guns, Germs, and Steel” yang terbit tahun 1997, pada dasarnya manusia terus berperang melawan virus namun akhirnya tetap kalah. Setiap kematian di usia tua manusia selalu diserang oleh virus saat sel-selnya mulai tak berdaya. Di sisi lain, manusia juga selalu membunuh virus melalui disinfektan dan vaksin.

Influensa, menurut Jarred Diamond, awalnya merupakan virus yang menyerang flu ayam lalu berpindah ke manusia. Selanjutnya, manusia menularkan ke sesamanya. Ayam adalah binatang yang berasal dari China dan dibawa ke sejumlah negara dan Indonesia melalui migrasi. Nah, SARS, MERS, dan Covid-19 adalah kerabat dekat yang berasal dari virus flu biasa. Seperti manusia, virus-virus selalu menurunkan anak cucu-anak cucu yang lebih tangguh agar terus hidup melawan vaksin. Hukum evolusi telah mengajarkan secara adil pada makhluk hidup apapun, termasul makhluk kecil berukuran 20-150 nanimeter ini.

Nah, karena itu, virus-virus ini mengajarkan banyak hal kepada manusia untuk tetap belajar, bersikap arif, rendah hati, dan bekerjasama. Nampaknya, Tuhan menjadikan virus-virus mikroskopik ini sebagai bagian dari ayat-ayat-Nya untuk mengingatkan manusia terus memerankan diri secara adil dan arif sebagai wakil-Nya di muka bumi.

Surakarta, 15 Maret 2020

LHS dan Ide Rekonstruksi Pemahaman Sejarah Perang dalam Islam

Prof. Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd -Rektor IAIN Surakarta

Evaluasi Pelaksanaan SPAN-UMPTKIN 20-22 September di Belitung sangat istimewa. Bukan karena lokasinya yang indah, tetapi juga karena momen kebersamaan dengan Menteri Agama beserta ibu di penghujung jabatan beliau pada periode pertama Pemerintahan Jokowi-JK. Hadir dalam acara ini, selain Bapak Menteri dan ibu juga bapak Dirjen Pendis dan Direktur Diktis.

Dalam pidato tanpa teks selama lebih dari 1 jam, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dengan sangat spiritual dan lepas bicara soal makna evaluasi, input mahasiwa dan dosen dari umum, isi perang dalam buku-buku sejarah, masa depan prodi-prodi agama di lingkungan PTKIN, dan langkah-langkah yang seharusnya diambil serta diantisipasi.

Berbicara setelah Dirjen Pendis, Kamaruddin Amin, yang menyoroti perlunya UIN masuk dalam jajaran 500-1000 World Top Universities dan belum massifnya mahasiswa asing di lingkungan PTKIN sebagai alat promosi Indonesia di dunia, Menteri LHS menghimbau agar evaluasi ini bukan hanya infografis angka-angka tapi juga deskripsi mendalam tentang input, prodi-prodi yang mati, dan peran lulusan bagi pembangunan bangsa. Hal ini dilakukan untuk mencapai gambaran besar tentang masalah dan solusi pendidikan Islam yang efektif dan berkualitas di masa depan. Bukan pengulangan dan rutinitas yang involutif atau jalan di tempat serta terisolasi dari ledakan-ledakan perubahan.

Menteri LHS menegaskan agar pada ujungnya produk dari PTKIN bukan saja menjadi saintis, ilmuwan, tapi juga yang lebih penting menjadi agen moderasi beragama di masyarakat. Kata ‘moderasi beragama’ yang berulang-ulang diucapkan Menteri LHS punya makna magis dalam konteks Indonesia modern dengan jumlah penduduk lebih kurang 280 juta. Betapa bahayanya jika moderasi beragama lemah, maka virus radikalisme akan membubarkan mimpi-mimpi Indonesia menjadi negara maju dan modern karena diporakporandakan oleh pertikaian antar suku, agama, dan kelompok. Jadi, dengan Menag LHS mengulangi kata ‘moderasi beragama’ tanpa bosan mengandung pesan bahwa ini bukan persoalan sepele. 

Menag LHS, misalnya, menyinggung soal fenomena hijrah dan muatan perang dalam buku-buku sejarah di lembaga-lembaga pendidikan. Soal buku-buku sejarah, misalnya, perlu rekonstruksi isi dan pemahamanya, utamanya dalam sejarah perang. Titik tekannya untuk membangun karakter peradaban dan bukan untuk menampilkan nilai-nilai negatif perang dalam bacaan manusia modern yang telah beralih ke semangat perdamaian serta kerjasama.

Saya setuju dengan ide rekonstruksi pemahaman sejarah perang dalam sejarah Islam dari Menteri LHS yang nampaknya kini viral dan kontroversial. Ini justru sebuah keniscayaan dan hal biasa. Menteri Agama Munawir Sadzali pernah mengusulkan gagasan reinterpretasi ajaran Islam terkait hukum waris dengan konteks budaya Indonesia; Cak Nur dengan isu sekularisasinya; Dawam Rahardjo cs dengan pembaruan Islamnya; dll.

Setiap bangsa melalui sejumlah elitnya untuk kepentingan penyelarasan konteks-konteks kebangsaan, boleh melakukan rekonstruksi-rekonstruksi yang perlu. Agar tujuan-tujuan beragama sejalan dengan tujuan-tujuan-tujuan pembangunan tanpa melanggar esensi-esensinya.

Bangsa Turki, Mesir, Iran, Maroko, dan juga Indonesia telah menyesuaikan praksis-praksis Islam yang tidak sama dengan kebudayaan bangsanya. Ada budaya ribuan tahun sebelumnya yang telah mendahului Islam dan ribuan tahun lagi di masa depan. Di dunia yang makin terhubung berkat teknologi internet, perang tidak lagi jadi solusi. Perang telah dilihat sebagai sesuatu yang mengerikan dan tidak pantas ada dalam peradaban modern. Di jaman modern, kata Yuval Noah Harari, manusia telah berevolusi ke arah kerja sama melalui konsensus-konsensus hukum dan moral. Tak heran jika kini gula lebih banyak membunuh umat manusia daripada bubuk mesiu—senjata perang.

Singkatnya, agar DNA-DNA cinta damai dan saling menyayangi di antara umat manusia, khususnya generasi muda Indonesia tumbuh subur, maka narasi-narasi anti-perang, belas kasih (compassion), kerjasama, kepedulian, dan lain-lain terus-menerus disebarkan dalam kurikulum-kurikulum—termasuk sejarah Islam. Saya memahami bahwa moderasi beragama merupakan sebuah proyek besar dan berkelanjutan. Moderasi beragama, karena itu, merupakan gerakan kebudayaan dan gerakan pendidikan.

Saya teringat karya Edward Said ‘Orientalism’. Karya ini menjelaskan Barat mengkonstruksi Timur (bangsa-bangsa Timur non-Barat) melalui karya-karya fiksi, puisi, dan narasi-narasi sejarah sedemikian rupa sehingga Barat merasa legal menjajah Timur. Timur ditafsirkan, didefinisikan, dan dikerangkeng dalam persepsi-persepsi Barat. Timur adalah karir bagi Barat. Ide yang ditangkap dari karya Said adalah narasi-narasi itu dapat mengubah sebuah pandangan dunia dan menggerakannya dalam prilaku-prilaku tertentu—meski dalam kasus Barat menghasilkan penaklukan-penaklukan (kolonialisme) Barat atas Timur. 

Demikian pula bangsa Jepang. Menurut Susy Ong dalam karya Kaikatsu Kaizen: Reformasi Pola Hidup Bangsa Jepang 2019 menyatakan bahwa Jepang maju bukan karena tradisi-tradisinya. Tradisi dan budaya asli Jepang sebelum tahun 1868 sangatlah rendah, kotor, jorok, boros, tidak memakan daging, perempuan dan laki-laki mandi bersama-sama, membuang sampah sembarangan, dan lain-lain. Perkenalannya dengan Barat melalui buku-buku yang diterjemahkan mengubah segalanya. Karya Victor Frankl ‘Men’s Search of Meaning’, ‘Self Help’, dan karya-karya Benyamin Franklin menginspirasi Kaisar dan rakyat Jepang hingga maju seperti sekarang. Kesimpulan buku Susy Ong, kemajuan dan kedisiplinan Jepang adalah hasil dari rekayasa sosial yang panjang dan bukan hasil dari tradisi otentik Jepang.

Dengan mencontoh paling tidak dua kasus di atas, maka ide rekonstruksi pemahaman sejarah perang oleh Menteri LHS dalam kerangka proyek moderasi beragama sangatlah relevan dan tepat. Tujuannya bukan menghilangkan fakta, tapi menyusun pola-pola pikiran dan tindakan belas kasih dan cinta damai. Perang, pada dasarnya, adalah kelanjutan dari kesepakatan yang gagal. Karena itu, perang bisa dicegah oleh konsensus-konsensus.

Yuval Noah Harari sangat tepat ketika mengatakan we created myths to unite our species—manusia menciptakan mitos-mitos untuk menyatukan sesamanya. Menurut Harari, hukum, undang-undang, mata uang, perjanjian-perjanjian, konstitusi-konstitusi, dan bahkan ‘agama-agama’ adalah mitos-mitos yang dapat mengikat persatuan. 

Jadi, memproduksi narasi-narasi damai, belas kasih, dan sejenisnya melalui kurikulum serta buku-buku sejarah merupakan bentuk rekayasa sosial yang relevan dengan konteks bangsa kita yang paling majemuk di dunia. 

Tulisan pernah diterbitkan di https://kemenag.go.id

BJ Habibie dan Keberadaan

Prof.Dr.H.Mudofir,S.Ag.,M.Pd
(Guru Besar Ilmu Pengkajian Islam dan Rektor IAIN Surakarta)

BJ Habibie telah lepas landas menuju keabadian. Beliau adalah Seorang tokoh jenius dan unik dengan prestasi-prestasi hidup luar biasa bagi bangsanya. Kepergiannya ditangisi seluruh warga dari berbagai agama, suku, ras, dan golongan—menunjukkan posisinya dapat diterima oleh semua kalangan. Pemikiran dan tindakannya melampaui golongan dan menjadi teladan bagi generasi muda yang hidup dalam kemajemukan mereka.

Di mata saya, dan mungkin semua warga bangsa, BJ Habibie sangat unik. Beliau jenius, saintis kelas dunia, saleh, santri, pandai mengaji, tetapi juga terbuka terhadap semua pemikiran dengan tetap kritis. Kesalehannya tak membatasinya untuk bergaul dengan semuanya. Karakteristik BJ Habibie yang demikian ini menepis sebuah teori yang mengatakan bahwa makin saleh dan relijius seseorang, maka ia akan makin radikal dan makin kaku.

BJ Habibie telah mematahkan teori itu. Bukankah kini begitu banyak orang tidak tahan goyangan pendulum pandangan dunia atau agama yang terlalu kanan atau terlalu kiri? Yang terlalu saleh pergi ke kanan dan yang terlalu liberal berlari ke kiri. Kanan dan kiri kini terus berkonflik dalam arena sosial-politik, sementara yang moderat menjadi silent majority pasif yang membosankan.

Keunikan BJ Habibie inilah yang membuat kepergiannya, bagi saya, menyentak eksistensialisme—ihwal keberadaan. Ada bagian yang terasa tercerabut dari eksistensi hidup. Meskipun ini tidak berlaku bagi Habibie. Eksistensi Habibie adalah situasi konkrit dia sebagai subyek dalam dunia. Namun kepergiannya, tak serta-merta hilang. Esensi-esensi Habibie telah mengisi ruang-ruang memori kolektif bangsa.

Esensi-esensi Habibie yang mengejawantah dalam karya-karya, dedikasi, dan keteladan pikiran serta tindakan masih terus bereksistensi dalam tubuh-tubuh anak bangsa. DNA Habibie telah mengalir secara sosiologis ke masyarakat Indonesia modern.

Saya membaca beberapa buku tentang kisah Habibie. Kisah hidupnya sangat inspiratif dan sangat menggugah. Episode demi episode kisahnya merupakan sebuah ‘journey of life’—meminjam istilah Martin Lings. Bacaannya yang kuat dan luas serta pendidikan keluarga yang sangat disiplin adalah upaya-upaya Habibie mengisi eksistensinya hingga menjadi tokoh bangsa.

Perlu dicatat, eksistensi manusia mendahului esensinya. Sementara pada binatang, esensinya mendahului eksistensinya. Saat anak-anak manusia lahir, dia bereksistensi tapi tanpa esensi, sangat lemah dan tidak tahu apa-apa. Esensinya diisi dengan pendidikan, belajar, bekerja keras, dan riset dalam perjalanan hidup. Hanya dengan tahap-tahap seperti inilah, eksistensi manusia terisi esensinya. Jika tidak, manusia seperti seonggok daging berjalan tanpa esensi.

BJ Habibie telah meninggalkan jejak-jejak esensi sepanjang hidupnya selama 83 tahun dan akan terus ada dalam DNA sosiologis di masyarakat, meski pun secara eksistensial telah tiada. Dalam jajaran tokoh Indonesia modern, Habibie telah mencatatkan sejarah emas. Di masa pemerintahannya yang singkat, Habibie telah membuka kran kebebasan pers dan berdirinya partai-partai.

Beliau juga telah berjasa membangun industri-industri strategis dan menyadarkan perlunya teknologi sebagai program pembangunan. Visi kebangsaannya adalah visi tentang Indonesia modern yang dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, termasuk di bidang teknologi. Pesawat karyanya, Gatot Kaca, terbang di angkasa pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-50. Peristiwa ini dicatat sebagai peristiwa bersejarah.

Saya setuju pernyataan bahwa ‘the world history is the history of big man’. Sejarah dunia, pada dasarnya, adalah sejarah tentang ornag-orang besar. BJ Habibie adalah salah satu di antaranya. Namun demikian, penting untuk dicatat, tidak ada tokoh yang sempurna.

Setiap tokoh pasti punya kelebihan dan kekurangan. Kearifan bangsa mengajarkan agar kita pandai ‘mikul dhuwur, mendem jero’—menjunjung tinggi kebaikan, dan menyimpan dalam-dalam ketidaksempurnaan yang ada. Ini adalah ajaran luhur yang harus ditanamkan dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Semoga Allah swt, menempatkan alm BJ Habibie di tempat yang terbaik sesuai dengan dharma baktinya kepada bangsa, negara, agama, dan kemanusiaan.

Artikel ini telah tayang di tribunbatam.id dengan judul BJ Habibie dan Keberadaan, https://batam.tribunnews.com/2019/09/14/bj-habibie-dan-keberadaan?page=all.

Editor: Rio Batubara

KETERLIBATAN ORANG TUA MAHASISWA DAN MUTU PERGURUAN TINGGI

Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd (Wakil Rektor ADUM-PK IAIN Surakarta)

Tema tentang judul di atas memang tidak banyak ditemukan dalam bentuk buku, tulisan populer atau bahkan artikel jurnal. Kebanyakan buku yang mengkaji tentang keterlibatan orang tua berkait dengan Pendidikan di bawah Pendidikan tinggi seperti Pendidikan pra sekolah, Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah. Istilahnyapun jikga dilacak dalam Bahasa Inggris sangat bervariasi. Ada yang menyebut sebagai  participation, involvement, dan engagement.

Partisipasi menurut Muhammad Munadi (2008:275) yang mendasarkan pada pendapat Marsh lebih bersifat aktif dalam mempengaruhi keputusan dari semua pihak dalam segala hal yang berkaitan dengan sekolah – baik kebijakan sekolah, formasi kepegawaian, pengembangan profesional staf, anggaran, tanah dan bangunan, pengelolaan sumber daya serta kurikulum sekolah. Pengertian engagement dibuat  Australian Research Alliance for Children & Youth for the Family-School and Community Partnerships Bureau (Jennifer Larson, 2017) menyebutkan “Parental engagement consists of partnerships between families, schools and communities, raising parental awareness of the benefits of engaging in their children’s education, and providing them with the skills to do so.” Pendapat ini menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dalam rangka meningkatkan kesadaran orang tua tentang manfaat terlibat dalam pendidikan anak-anak mereka, dan memberikan mereka keterampilan untuk melakukannya. Sedangkan istilah ……. parent involvement tends to focus on getting parents to show up for school activities, it is important to note there are many benefits associated with implementing an effective program (Jennifer Larson, 2017). Istilah involvement cenderung fokus pada membuat orang tua muncul dalam kegiatan sekolah, penting untuk dicatat ada banyak manfaat yang terkait dengan pelaksanaan program yang efektif.

Ketiga istilah tersebut saling bertautan dan beririsan dalam kerangka pengembangan mutu Lembaga dan peserta didik pada jenjang apapun. Keterlibatan orang tua mahasiswa menurut pendapat Mehvash Ali (2017) bahwa orang tua mahasiswa saat ini lebih terlibat daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan menurut penelitian Mehak Arshad,  Erum Shahzadi  and Azhar Mahmood. (2016:303) bahwa Most of the students feel uncomfortable with this sudden change, some become independent in their choices and decisions and some choose wrong activities. Ketika seorang siswa tiba-tiba harus berpindah dari sekolah ke perguruan tinggi, ada perubahan besar mengenai gaya belajar, lingkungan, kebebasan, dosen dan mata kuliah.  Sebagian besar mereka merasa tidak nyaman dengan perubahan mendadak ini, beberapa menjadi mandiri dalam pilihan dan keputusan mereka dan beberapa memilih kegiatan yang salah. Disinilah diperlukan interaksi antara orang tua, guru dan siswa untuk menghindari masalah seperti itu. Pratisha Padmasri Deka  (2016:63) berpendapat orang tua harus dilihat sebagai mitra pendamping dan sumber daya untuk memenuhi tujuan pendidikan tinggi; perguruan tinggi dan universitas akan lebih baik mencari cara untuk memanfaatkan keterlibatan orang tua daripada mencoba untuk mencegahnya. Disamping itu menurut penelitian Edelman (2013:3-4)  menunjukkan bahwa para siswa dapat bertransisi ke perguruan tinggi dengan lebih mudah dan lebih nyaman dalam mengambil risiko, bertemu dengan orang baru, dan mengalami lingkungan baru.

Dalam konteks Indonesia keterlibatan orang tua terlihat pada penelitian Alfikalia Alfikalia. (2017) bahwa Lima bentuk keterlibatan orangtua dalam pendidikan mahasiswa yaitu mendukung secara finansial, memberikan dukungan emosional, memonitor studi, memberikan saran/nasehat, memberikan dukunganmaterial, memilih jurusan, membantu dalam pembelajaran, serta menentukan sekolah.

Orang tua bisa menjadi elemen positif dalam pendidikan tinggi saat berperan sebagai berikut:

  1. Understand the student experience and are aware of the resources available on campus
  2. Understand and support the institution’s goals for student development and learning
  3. Know when to step in to help their student and when to empower their student to take responsibility
  4. Develop an affinity for the institution, participate in campus events, help other parents understand the student experience, and support higher education and the institution (Marjorie Savage, 2009:3).

Orang tua mahasiswa harus bisa memahami pengalaman mahasiswa dan menyadari sumber daya yang tersedia di kampus, memahami dan mendukung tujuan lembaga untuk pengembangan dan pembelajaran mahasiswa, mengetahui kapan harus turun tangan untuk membantu anak mereka dan kapan harus memberdayakan mahasiswa mereka untuk bertanggung jawab serta mengembangkan afinitas untuk institusi, berpartisipasi dalam acara-acara kampus, membantu orang tua dalam memahami pengalaman mahasiswa, dan mendukung institusi pendidikan tinggi.

Pendapat ini menunjukkan bahwa orang tua mahasiswa dan perguruan tinggi harus berkolaborasi dalam pengembangan pembelajaran dan karakter mahasiswa secara langsung maupun tidak langsung. Wujud keterlibatan orang tua mahasiswa bisa mengacu pada hasil penelitian disertasi Kelly Matthew Austin (2011:v) yang menemukan hasil sebagai berikut : Orang tua dapat memberi dukungan akademik secara langung pada anak-anak mereka dalam kuliah sesuai latar belakang pendidikan mereka sendiri. Selanjutnya, orang tua bisa memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi dalam kegiatan ekstrakurikuler, hal ini bisa menjadi faktor penting dalam pengembangan aspirasi pendidikan anak mereka.

Indonesia mengatur keterlibatan orang tua di perguruan tinggi tercantum dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pengaturannya terdapat dalam pasal 76 ayat 3 dan pasal 86 ayat 2. Namun sayangnya keterlibatan orang tua mahasiswa baru sebatas pada pendanaan pendidikan. Ini agak berbeda dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 yang mengatur lebih luas keterlibatan orang tua dalam Pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Dewan Pendidikan ataupun Komite Sekolah/Madrasah. Keterlibatannya diantaranya berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan Pendidikan anaknya (pasal 7), pengembangan kurikulum (pasal 38), peningkatan mutu satuan Pendidikan (pasal 56), serta pengawasan Pendidikan (pasal 66).  Begitu urgensinya organisasi orang tua mahasiswa, beberapa perguruan tinggi sudah membentuk ikatan orang tua mahasiswa diantaranya ITB sudah sejak awal orde baru yaitu pada tahun 1968.

Berdasar kebijakan yang ada, hasil penelitian di atas, serta pengalaman perguruan tinggi dalam melibatkan orang tua mahasiswa banyak perguruan tinggi yang membentuk organisasi orang tua mahasiswa. Organisas tersebut diantaranya dinamai ikatan orang tua mahasiswa atau disingkat IOM. Penbentukannya ada yang berkedudukan di  perguruan tinggi saja tetapi ada juga yang memiliki organisasi yang tidak hanya berada di tingkat perguruan tinggi tetapi juga di tempat tinggal orang tua mahasiswa. Organisasinya meliputi Pengurus Pusat, Pengurus Cabang Daerah, serta Pengurus Cabang Fakultas/Sekolah. Disamping itu organisasinya memiliki visi, misi, AD/ART serta program kerja yang lengkap sehingga bisa membantu peningkatan mutu perguruan tinggi dan mahasiswa. Ikatan Orang tua Mahasiswa berfungsi sebagai mitra Pimpinan perguraun tinggi, khususnya dalam pembinaan kelangsungan pendidikan, yang bersifat sosial dan kekeluargaan,  bertujuan ikut serta membina mahasiswa dengan menjalin hubungan antar sesama orangtua mahasiswa, menghimpun, menampung dan menyalurkan daya dan dana.

IAIN Surakarta sudah memulai inisiasi pertemuan orang tua mahasiswa pada tahun 2018 di tingkatan fakultas namun belum semua menyelenggarakannya untuk mengenalkan program-program bagi peningkatan mutu mahasiswa. Sangat menarik jika pertemuan ini bisa ditindaklanjuti dengan pembentukan pengurus orang tua mahasiswa sehingga bisa membantu kesuksesan studi mahasiswa. Semoga.

Rujukan    

Alfikalia Alfikalia. (2017). Keterlibatan Orangtua Dalam Pendidikan Mahasiswa Di Perguruan Tinggi. Inquiry: Jurnal Ilmiah  Psikologi. Vol 8, No 1 (2017). http://journal.paramadina.ac.id/index.php/inquiry/article/view/128

Edelman, Lauren, “The Effects of Parental Involvement on the College Student Transition: A Qualitative Study at a Large Midwestern University” (2013). Educational Administration: Theses, Dissertations, and Student Research. 132. http://digitalcommons.unl.edu/cehsedaddiss/132

Jennifer Larson. (2017). Engagement vs. Involvement: Building an Inclusive School Community. https://hivedm.com/engagement-vs-involvement-building-an-inclusive-school-community/

Kelly Matthew Austin. (2011). Parental Influences On First-Generation College Students: Case Studies Of Enrollment And Persistence. Dissertation of Doctor of Philosophy University of Pittsburgh. https://core.ac.uk/download/pdf/12206567.pdf

Marjorie Savage. (2009). The Case for Parental Involvement during the College Years.  https://www.stetson.edu/law/conferences/highered/archive/media/higher-ed-archives-2009/i-savage-case-for-parental-involvement.pdf

Mehak Arshad,  Erum Shahzadi  and Azhar Mahmood. (2016). Parents Involvement at University Level Education: Students Perception in Under Developing Country. European Scientific Journal August 2016 edition vol.12, No.22. URL:http://dx.doi.org/10.19044/esj.2016.v12n22p294.

 Mehyash Ali (2017). Parental Involvement in Hihger Education: A Perspective from United Arab Emirates. August 23, 2017. https://nacada.ksu.edu/Resources/Academic-Advising-Today/View-Articles/Parental-Involvement-in-Higher-Education-A-Perspective-from-United-Arab-Emirates.aspx

Muhammad Munadi (2008). Community Participation In The Public Policy Making In Education Sector In Surakarta Municipality.  Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Nomor 2, Tahun XII, 2008. https://journal.uny.ac.id/index.php/jpep/article/view/1431/1219

Pratisha Padmasri Deka. (2016). A study on parental involvement in higher level of education: voices of parents and students in Pub-Kamrup College and Patidarrang College, Kamrup district. The Clarion Volume 5 Number 1 (2016) PP 57-64.  https://www.researchgate.net/publication/292336897

http://iom.itb.ac.id/

https://go.stp-bandung.ac.id/ https://universitaspertamina.ac.id/en/students-parents-association-ikatan-orang-tua-mahasiswa-iom-management-structure/

Islam Progresif, Islam Yang Bergerak (Sebuah Tantangan Kesarjanaan Muslim)

Dr. H. Syamsul Bakri, M.Ag
(Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama)

Islam diturunkan untuk perubahan masyarakat. Kajian islamic studies, tentu perlu mengacu pada prinsip ini. Setiap intelektual muslim dituntut untuk memahami pentingnya membumikan agama untuk transformasi masyarakat. Untuk itu maka kaum terdidik perlu memiliki bacaan yang kuat tentang tiga kitab, yakni kitab kuning, kitab putih dan kitab merah. Kitab kuning artinya buku-buku ilmu pengetahuan agama Islam yang disebut ‘ulumuddin. Ini yang harus dikuasai oleh cendekiawan muslim. Penguasaan atas kitab kuning (‘ulumuddin) menjadikan seseorang sebagai orang alim (jamak: ulama’). Doktrin-doktrin Islam dalam ‘ulumuddin saja belum cukup untuk mengatasi problematika keummatan, apalagi menggerakkan masyarakat.

Agama tidak turun pada ruang kosong. Dinamika kesejarahan yang terus bergerak memaksa kaum terdidik untuk dapat melakukan telaah ilmiah, saintifik dan historis. Ini yang dimaksud dengan kitab putih, yakni buku-buku islamic studies yang dinarasikan dalam perspektif ilmiah dan historis. Kecakapan akademik ini menghantarkan orangnya menjadi akademisi atau cendekiawan muslim. Itu juga belum cukup karena jika mandeg di sini, maka studi Islam hanya akan berada di menara gading. Agar Islam tidak menjadi status quo, maka telaah doktriner dan ilmiah harus bermuara pada perubahan masyarakat, sehingga dibutuhkan bacaan-bacaan dan cara pembacaan agama yang dapat menggerakkan.

Pemahaman terhadap doktrin dan kecakapan menarasikan Islam secara ilmiah mesti harus dikaitkan dengan dinamika di ranah publik untuk melakukan perubahan masyarakat, baik menjadi problem solver maupun keberpihakan terhadap kaum yang terpinggirkan. Dengan demikian maka jadilah Islam bergerak. Tulisan-tulisan dalam model pembacaan inilah yang dimaksud dengan kitab merah, yakni bacaan-bacaan keagamaan yang menggerakkan masyarakat. Mereka yang sudah menekuni tiga bacaan ini maka dapat disebut sebagai intelektual aktivis berbasis Islam. Intelektual adalah akademisi yang sudah bergerak untuk transformasi masyarakat. Mereka sudah mampu menjadikan doktrin agama dan telaah ilmiah keagamaan menjadi sikap mental yang bergerak.

Dengan kitab kuning, Islam menjadi dimengerti. Dengan kitab putih, Islam menjadi ilmu yang dinamis. Dengan kitab merah, islam menjadi bergerak, yakni bergerak untuk transformasi masyarakat. Islam Bergerak menjadi penting dan keharusan dalam lintasan sejarah Islam itu sendiri. Islam Bergerak merupakan gerakan moral yang menggunakan agama sebagai perspektif dan alat perjuangan; sebuah gerakan untuk merealisasikan Islam dengan jalan pembebasan, yaitu membebaskan rakyat dari belenggu kebodohan, ketertindasan dan kesengsaraan akibat himpitan struktur sosial politik dan ekonomi yang tidak menguntungkan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Ali Syari’ati, Islam perlu ditempatkan sebagai suprastruktur ideologi dan politik guna membentuk tabiat manusia dan mewujudkan masyarakat yang berkeadilan. Islam adalah ideologi revolusioner yang dapat mengubah status quo menjadi tatanan sosial yang humanistik. Dalam bentuk yang lebih kongkret, Islam perlu diperankan sebagai agama protes, yakni ideologi perlawanan terhadap penindasan dan kesewang-wenangan. Islam harus berpihak kepada kaum pinggiran, kaum kromo, kaum tertindas dan kaum yang terdzalimi.

Islam Bergerak dipahami sebagai social movement (gerakan sosial). Gerakan diartikan sebagai determinisme sejarah yang merupakan dialektika hidup dan siklus perubahan yang berkesinambungan. Adapun gerakan sosial adalah kolektivitas orang yang bertindak bersama untuk perubahan tertentu dalam masyarakat. Ciri gerakan sosial adalah adanya kolektivitas yang relatif tersebar, tetapi lebih rendah derajatnya dibanding dengan lembaga formal. Tindakannya pun memiliki derajat spontanitas yang lebih tinggi, dan tidak terlembaga dengan baik. Ciri lain gerakan sosial adalah menyatakan diri berbicara atas nama perwakilan yang kurang formal.

Berkecimpung dalam gerakan sosial adalah tuntutan kesarjaan bagi setiap muslim, yakni ikut berperan aktif dalam upaya-upaya transformasi masyarakat. Kepekaan psikomotorik ini perlu sebagai keberlanjutan dari pengetahuan dan olahan perasaan. Tahapan gerakan social Islam adalah diawali dari ngaji (kitab kuning), dilanjutkan dengan kajian (kitab putih) dan disempurnakan dengan pengkajian kitab merah agar Islam dapat dibumikan dalam pergerakan untuk perubahan masyarakat.

PENDIDIKAN AGAMA DAN KONTROVERSINYA

Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd – Wakil Rektor Bidang ADUM-PK

Pengantar

Pendidikan Agama dipersoalkan lagi keberadaannya oleh salah satu tokoh di Indonesia. Titik persoalan yang dipermasalahkan menurut tokoh tersebut ……………….”Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” Dengan demikian, Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah”. Perdebatan ini sebenarnya sudah lama mengemuka sejak pembahasan draft UU No. 2 tahun 1989 dan RUU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Persoalan sebenarnya adalah bagaimana idealnya hubungan agama dengan negara. Perdebatan ini kalau ditarik ke belakang sudah terjadi sejak awal sejarah berdirinya negara ini. Perdebatan memasukkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Jakarta kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa “. Perubahan ini merupakan bentuk kompromi yang luar biasa para Pendiri Bangsa. Ketuhanan Yang Maha Esasebagai salah satu sila dalam dasar negara Indonesia bisa dimaknai bahwa semua hal yang ada dalam negara ini harus ada ”sentuhan” Agama. Disinilah juga diperlukan Pendidikan Agama bagi warga negara yang belajar di tingkat Pendidikan formal dari pra sekolah sampai Pendidikan tinggi. Hal tersebut dinyatakan pada UU No. 2 tahun 1989 pasal Pasal 39, ayat 2 menyatakan bahwa Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikah wajib memuat : pendidikan Pancasila; pendidikan agama; dan pendidikan kewarganegaraan. Pada penjelasan Pasal 28 ayat 2 dinyatakan bahwa Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan. UU ini berubah pada tahun 2003 dengan UU No. 20 Tahun 2003. Pengaturannya sama berkaitan denganPendidikan Agama terutama pasal 37 bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat : a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; ………………….. Kalau di UU sebelumnya pengaturan tentang mekanisme pembelajaran Agama ada di penjelasan, maka di UU penggantinya disebutkan ke dalam pasal dalam batang tubuhnya, yaitu pasal 12 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak : a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;…” Kebijakan ini juga mengatur bagi Lembaga Asing yang mendirikan Lembaga Pendidikan di Indonesia tercantum dalam PAsal 65 ayat 2 yang menyatakan bahwa, “Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia. ”Kebijakan tersebut menunjukkan bahwa tidak dimungkinkan bahwa Pendidikan di Indonesia apapun jalur, jenis, jenjang dan siapapaun pemiliknya harus mengajarkan Agama dan peserta didik mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.

Pendidikan Guru Agama di Negara Sekuler

Berbeda dengan negara yang menyatakan dirinya sebagai negara sekuler memang tidak harus ada ”sentuhan” Agama dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian walaupun sudah menganggap sebagai negara sekuler, seperti Australia masih peduli terhadap kehidupan Agama di sekolah terutama Pendidikan agama harus diajarkan pada siswa. Dilihat dari situs Department of Education Australia Barat bahwa kurikulum Pendidikan Agama (Religious Education) terdiri atas dua hal: General religious education (GRE) dan Special religious education (SRE).

Situs Department of Education menyatakan General religious education (GRE) dapat dimasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar. Fokusnya adalah pada studi bentuk-bentuk utama pemikiran dan ekspresi keagamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Australia dan masyarakat lainnya di dunia. Namun demikian menurut aturannya, kepala sekolah dapat membebaskan seorang anak dari menghadiri kelas di bagian mana pun dari kurikulum atas permintaan tertulis orang tua, selama kepala sekolah puas bahwa permintaan tersebut dibuat atas dasar penolakan hati nurani. Kepala sekolah selanjutnya akan memberi tahu orang tua tentang keputusan untuk mengabulkan, mengabulkan pada kondisi, atau menolak permintaan.

Special religious education (SRE) juga dijamin oleh Undang-undang. Kebijakan ini mengatur Special Religious Education (SRE) untuk diajarkan di sekolah umum; walaupun bukan sebagai bagian dari kurikulum umum. Fokus SRE adalah pada prinsip agama yang berbeda atau kepercayaan dari agama tertentu dan disediakan oleh sukarelawan yang telah diberi wewenang untuk memberikan program SRE tertentu. Saat ini, program SRE yang disediakan di sekolah negeri pada Australia Barat adalah: Pendidikan agama Kristen (Christian Religious Education); Baha’i; dan Program SRE khusus Katolik.

Orang tua berhak untuk meminta penarikan anak mereka dari program SRE. Dalam semua kasus, asumsinya adalah bahwa siswa akan berpartisipasi dalam program SRE sekolah kecuali jika orang tua memberikan pemberitahuan tertulis tentang keinginan mereka untuk menarik anak-anak mereka.

Sekolah membuat pengaturan pendidikan alternatif untuk siswa yang tidak berpartisipasi dalam program SRE.

Pendidikan Agama diajarkan di sekolah Australia menjadikan diperlukannya Lembaga penyiapan gurunya. Perguruan tinggi yang mempersiapkan guru agama, diantaranya adalah The University of Notre Dame Australia, Catholic Theological College, dan Australian Catholic University.

Tabel 1. Perguruan Tinggi Yang Mempersiapkan Guru Agama di Australia

No Nama Perguruan Tinggi Nama Program
1. The University of Notre Dame Australia Graduate Certificate in Religious Education
2. Catholic Theological College Graduate Certificate in Teaching Religious Education
3. Australian Catholic University Graduate Certificate in Religious Education

Minimal ada 3 perguruan tinggi yang mempersiapkan calon guru Agama. Dilihat dari mata kuliahnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2. Mata Kuliah Pendidikan Guru Agama di The University of Notre Dame Australia

No Course
1.Foundation of Moral Theology or Christology or Mystery of Christ 4: Church and Sacraments
2.Religious Education or Theology Course
3. Critical Issues in Religious Education 1 or Critical Issues in Religious Education 2
4. Religious Education or Theology Course

Mata kuliah pada University of Notre Dame cenderung pada dua penguatan sekaligus dalam Pendidikan guru yaitu Content Knowledge (CK) dan Pedagogical Content Knowledge (PCK). Akan tetapi masih belum dipahami ketika mata kuliahnya ada istilah yang dipakai or dalam mata kuliah apakah kedua-duanya harus diambil oleh mahasiswa atau bagaimana belum dapat informasi lebih lanjut. CK menurut Shulman yang dikutip Mareike Kleickmann, etall, (2012:2) represents teachers’ understanding of the subject matter taught. CK menurut pengertian tersebut bermakna bahwa pengetahuan konten (CK) berkaitan dengan pemahaman guru tentang materi pelajaran yang diajarkan. Sedangkan PCK menurut Shulman yang dikutip Mareike Kleickmann, etall, (2012:2) bahwa PCK is the knowledge needed to make subject matter accessible to students. PCK adalah pengetahuan yang dibutuhkan untuk membuat materi pelajaran dapat diakses oleh siswa. PCK menunjukkan pada pengetahuan dan ketrampilan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa.

Berbeda dengan Catholic Theological College, gambarannya seperti tabel berikut:

Tabel 3. Mata Kuliah Pendidikan Guru Agama di Catholic Theological College

No Course
1.Sacred Scripture: A Foundation for Teaching Religious Education
2. In Dialogue with the Catholic Tradition: Foundational Theology for Teachers 
3. Being Followers of Christ: Sacramental and Moral Life 
4. Introduction to the Principles and Practice of Religious Education

Tabel tersebut menunjukkan bahwa mata kuliah CK dan PCK berupaya disatukan walaupun sebenarnya mata kuliah bermuatan PCK tidak begitu teknis. Yang sangat bervariasi konten terjadi pada Australian Catholic University dalam mempersiapkan guru Agama. Berikut gambarannya:

Tabel 4. Mata Kuliah Pendidikan Guru Agama di Australian Catholic University

No Course
Part A
1. Religious Education: Historical and Contemporary Perspectives
2. Learning and Teaching for Religious Education
3. Liturgy and Prayer in Schools and Other Settings
4. Special Studies in Religious Education
5. Educating Young Children Religiously
6. Teaching the Catholic Tradition
Theology Unit
1. Biblical Studies
2. Foundations of Christian Faith
3. Jesus the Christ
4. Sacraments of Initiation
5. Introducing Religions of the World
Part B
1. Religious Education Curriculum and Teaching Studies 1
2. Religious Education Curriculum, Pedagogy and Assessment 2
3. Biblical Studies
4. Foundations of Christian Faith

Tabel di atas menunjukkan bahwa dalam mempersipakan guru agama diperlukan dasar teologinya baru kemudian pembelajarannya. Dalam Bahasa penyiapan guru penguatan PCK lebih dominan daripada CK.

Kesemua tabel mata kuliah di atas menunjukkan bahwa yang dipersiapkan pada perguruan tinggi tersebut hanya calon guru Agama yang berafiliasi pada Agama Kristen. Agama lain tidak dipersiapkan. Hal ini bentuk kewajaran karena agama mayoritas di Australia adalah Agama Kristen. Dalam pengembangan Pendidikan guru memang yang sangat diperlukan adalah penguatan Content Knowledge dibandingkan dengan Pedagogical Content Knowledge (PCK). Muatan CK dan PCK bisa dilihat pada gambar yang dikonsep oleh Riegel, U. & Leven, E. M. (2018:106) sebagai berikut:

Gambar 1. Pengetahuan Yang Harus Dimiliki Guru

Gambar tersebut menunjukkan bahwa CK dalam penyiapan guru sangat banyak. Apalagi dalam pengajaran agama sangat beragam, apalagi agama Islam dari sisi ritual sangat banyak dan kajiannya juga banyak. Mata Pelajaran Fiqh umpamanya berkaitan dengan ritual saja sudah banyak kalau dilihat dari dimensi Rukun Islam (Shalat, Puasa, Zakat, Haji) bisa berangkat dari pengertian, syarat syah, rukun, hikmah, dan lainnya. Belum lagi bacaan masing-masing ritualnya. Apalagi kalau dilihat dari keilmuannya bisa sangat banyak ragamnya – dalam pokoknya ada Ilmu Fiqh, Al Qur’an, Al Hadits, Aqidah, Akhlak, serta Sejarah Peradaban Islam.

PENDIDIKAN GURU AGAMA DI INDONESIA

Pendidikan guru agama di Indonesia dikelola oleh beragam Perguruan Tinggi baik negeri (Kemenristekdikti maupun Kemenag) maupun swasta. Hanya guru Agama Islam saja yang dipersiapkan tidak hanya program studi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri maupun swasta (Di bawah Kementerian Agama) tetapi juga diselenggarakan oleh Prodi di Perguruan Tinggi di bawah binaan Kementerian Ristekdikti. Namanya beragam ada yang menamai diri sebagai program studi Ilmu Pendidikan Agama Islam seperti di UPI Bandung, program studi Pendidikan Keagamaan Islam pada UNP (Universitas Negeri Padang) kemudian berubah menjadi prodi Pendidikan Agama Islam. Satu lagi universitas yang memiliki program studi Ilmu Agama Islam dengan konsentrasi Pendidikan Agama Islam berkedudukan di UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Prodi ini terutama di bawah binaan Kementerian Agama tidak hanya menyelenggarakan strata 1 tetapi juga strata 2 dan strata 3.

Pendidikan Agama selain Islam hampir semuanya diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi di bawah Kementerian Agama minimal dibina oleh Dirjen Bimbingan Masyarakat Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Perlu pendalaman khusus penyiapan guru Agama Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu baik dari sisi kurikulum dan seluk beluknya. Apakah sekomplek penyiapan guru Agama Islam atau sesederhana Pendidikan guru agama di negara-negera sekuler.

Referensi

Riegel, U. & Leven, E. M. (2018). The structure of teacher knowledge in religious education. A qualitative reconstruction of the knowledge teachers refer to in planning religious education. https://www.ristal.org/fileadmin/user_upload/RISTAL/PDFs_2018/Riegel_Leven_end.pdf.
https://www.notredame.edu.au/programs/sydney/school-of-philosophy-and-theology/postgraduate/graduate-certificate-in-religious-education
http://www.ctc.edu.au/Postgraduate-Studies/GCTRE
https://handbook.acu.edu.au/handbooks/handbook_2020/faculty_of_theology_and_philosophy_courses/approved_coursecampus_offerings/postgraduate_courses/master_of_religious_education#suo

Ulasan Rektor IAIN Surakarta, Rakor Kementerian Agama “Sinergi Reformasi Birokrasi”

Oleh: Prof. Dr. H. Mudofir, M.Pd – Rektor IAIN Surakarta

Rakor Kementerian Agama dengan tema “Sinergi Reformasi Birokrasi”
29-31 Juli 2019 di Bogor dibuka oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS). Dihadiri pejabat eselon I, II, para Rektor, dan Kakanwil seluruh Indonesia.

Pidato pembukaan Menag sangat menarik dan efektif. Beliau mengurai makna sinergi dalam konteks Reformasi Birokrasi. Menurutnya, Reformasi Birokrasi (RB) bukanlah kerja individual yang terlepas dari konteks manajemen kelembagaan. Sehebat apapun prestasi individual, ia kurang bermakna jika terlepas dari konteks proses keseluruhan. Beliau dengan sangat tepat menghubungkan makna sinergi dengan mantra integrasi data dan kebersamaan—tema Rakornas bulan Februari kemarin. Dalam sinergi harus ada kebersamaan atau kerjasama.

Saya menemukan tiga kata kunci dalam pesan pidato Menag kemarin, yakni: sinergi, kerjasama, dan integrasi data. Tiga kata tersebut punya makna yang sama dan dapat dipadatkan dengan istilah simfoni. Kata simfoni menggambarkan harmoni dalam keseluruhan yang berasal dari bunyi nada berlainan. Simfoni adalah keseluruhan dari kepingan-kepingan. Sinergi dan kerjasama tidak akan terjadi jika tak ada kemampuan untuk mengendalikan kepentingan-kepentingan pribadi dalam sebuah simfoni.

Selanjutnya, Menag LHS menyebut kata cinta dalam Reformasi Birokrasi. “Jika kita melakukan pekerjaan dengan cinta”, kata Menag LHS, “maka hasilnya akan luar biasa karena ada kekuatan ekstra”. Menag hendak menekankan bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang terdiri dari 8 area perubahan mulai dari penataan organisasi, penataan tata laksana, peraturan perundangan, pengawasan zona integritas, pengawasan akuntabilitas, SDM, dan lain-lain bukanlah pekerjaan individual dan business as casual. RB adalah pekerjaan besar yang menuntut sinergi, kerjasama, integrasi, cinta, dan komitmen.

Secara teoritik, pesan Menag di atas dapat topangan ilmiah. Daniel H. Pink dalam A Whole New Mind, menyebut nilai-nilai seperti kerjasama, sinergi, empati, cinta, makna, dan simfoni sebagai sebuah kecerdasan konsep tinggi dan sentuhan tinggi (the intellegent of high concept and high touch). ‘Konsep tinggi’ ditandai oleh kecakapan mendeteksi pola dan peluang dalam kepingan-kepingan rumit dan menempatkannya dalam simfoni. Sementara ‘sentuhan tinggi’ (high touch) ditandai oleh kemampuan bersikap empati, kehangatan dalam cinta pribadi dan orang lain, serta kemampuan dipercaya dan memercayai. Robert Putnam menyebut nilai-nilai tersebut sebaga social capital.

Berikutnya, Menag LHS juga menyebut kata ‘makna’ dalam Reformasi Birokrasi. Makna seorang pemimpin diukur dari peran sosialnya dalam pengertian bersinergi dan kerjasama untuk sehabis-habisnya pemenuhan tujuan organisasi. Itulah sebabnya Menag tidak setuju prestasi individu yang tidak punya dampak bagi kemajuan lembaga. Secara tersirat, Menag menganjurkan agar para pemimpin di lingkungan Kemenag didorong untuk mencari ‘makna’ dalam hidup mereka untuk lembaga. Anjuran ini sebenarnya sudah ada secara purba dalam DNA manusia sebagaimana disebut oleh Victor Frankl dalam Men’s Search of Meaning. Menurut teori ini, gerakan hidup manusia sebenarnya didorong oleh pencarian makna hidup secara terus-menerus. Nah, sebagai ‘core of the core’ (intinya inti), Menag berharap para pemimpin yang hadir dalam Rakor ini menjadi para aktor Reformasi Birokrasi di lingkungan Kemenag sebagai manifestasi dari makna seorang pemimpin.

E-GOVERNMENT PADA PERGURUAN TINGGI

Oleh: Dr.H. Muhammad Munadi, M.Pd – Wakil Rektor II Bidang ADUM-PK

Tata kelola pemerintahan termasuk perguruan tinggi yang modern, transparan dan akuntabel memang harus mengurangi persinggungan orang per orang (person to person), sehingga mengurangi dampak finansial yang kurang jelas. Dampak finansial yang dimaksud bisa bersifat resmi maupun tidak resmi. Yang membahayakan jika dampak finansial yang tidak diatur ini akan berakibat pada ekonomi biaya tinggi. Tata kelola yang mengarah hal tersebut berbentuk tata kelola dan tata pemerintahan elektronik.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah lama memberlakukan model ini dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Kebijakan ini diniatkan seperti yang dinyatakan pada poin 4.a : “…..pemerintah harus mengembangkan sistem dan proses kerja yang lebih lentur untuk memfasilitasi berbagai bentuk interaksi yang kompleks dengan lembaga-lembaga negara lain, masyarakat, dunia usaha, dan masyarakat internasional”.

Hal ini diperkuat pada poin 5 yang menyatakan: “…….pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi birokrasi, serta membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia usaha, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi dan layanan pemerintah secara optimal.”

Semangat dari 2 poin di atas, dalam tata kelola pemerintahan harus bisa memanfaatkan perkembangan teknologi sehingga terbangun interaksi antar lembaga negara, masyarakat, dunia usaha dan masyarakat internasional  tanpa ada sekat birokrasi, sistem kerja terpadu, kesederhanaan akses, serta optimal layanannya. Hal ini selaras dengan yang dinyatakan dalam dokumen World Development Report 2016: Internet for Development berikut:

The rapid diffusion of ICTs has transformed governance for good. Government’s ability to execute and deliver on its roles and functions has certainly been enhanced significantly by the digital revolution; and, people are now more able to participate in public decision-making processes, to connect and mobilize, to influence government, and to hold government to account

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk menjalankan peran dan fungsinya jelas telah ditingkatkan secara signifikan oleh revolusi digital. Disamping itu, orang sekarang lebih mampu untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik, menghubungkan dan memobilisasi, mempengaruhi pemerintah, dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Teknologi informasi dan komunikasi maupun revolusi digital menjadikan masyarakat semakin sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga pemerintah harus melayaninya.

TAHAPAN IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT

Tahapan implementasi e-government menurut Bank Dunia (Center for Democracy and Technology, 2002:3-4) terdiri atas Tiga Tahap, yaitu: Publish, Interact, dan Transact. Pada tahapan publish, umumnya sebuah lembaga dapat memulai proses e-government dengan menerbitkan informasi pemerintah secara online atau melalui situs atau website yang dibuat atau dimiliki, bisa berisi regulasi, dokumen, atau formulir berkaitan dengan layanan. Website harus semakin kaya kontennya dalam keseharian dan selalu harus up to date. Dengan demikian memungkinkan warga dan stakeholder secara mudah mengakses informasi pemerintah tanpa harus datang ke kantor, berdiri dalam antrean panjang atau membayar sekedar uang kopi atau yang sejenis. Tahapan ini bisa mengurangi korupsi, kolusi dan nepotisme. Tataran perguruan tinggi memiliki website yang berkait dengan lembaga maupun subdomain unit kerja di bawahnya. Kalau mengacu pada UU UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka website perguruan tinggi harus berisi tentang : informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jenis informasi ini harus selalu diperbarui paling singkat 6 bulan sekali (Pasal 9). Pasal ini mengatur informasi yang diberikan secara berkala. Sedangkan informasi yang harus ada setiap saat pada Lembaga termasuk perguruan tinggi diatur pada pasal 11 meliputi: daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya; seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik; perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga; informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum; prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Tahapan selanjutnya yaitu interact, e-government memiliki potensi untuk melibatkan warga dalam proses pemerintahan dengan melibatkan mereka dalam interaksi dengan pembuat kebijakan di seluruh siklus kebijakan dan di semua tingkat pemerintahan. Interaksi bisa dimulai dengan mencantumkan no kontak telepon Lembaga, alamat email, maupun alamat media social yang dimiliki baik yang berjenis : Relationship Networks ( Facebook, LinkedIn, atau yang sejenis), Media Sharing Networks (Flickr, Instagram, YouTube, atau yang sejenis), maupun Social Publishing Platforms (blog dan microblog:Twitter, dan lainnya). Interaksi ini bisa memperkuat keterlibatan masyarakat berkontribusi untuk membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah. E-government interaktif melibatkan komunikasi dua arah, dimulai dengan fungsi dasar seperti informasi kontak email untuk pejabat pemerintah atau formulir umpan balik yang memungkinkan pengguna untuk mengirimkan komentar tentang usulan kepada eksekutif, legislatif ataupun pembuat kebijakan lainnya. Interaksi antara mahasiswa dengan layanan perguruan tinggi terlaksana melalui media social yang dimilikinya dan segera ada respon ketika ada keluhan.

Tahapan terakhir adalah transact. Tahapan ini, Lembaga membuat situs web yang memungkinkan pengguna melakukan transaksi online yang menawarkan tautan langsung ke layanan lembaga, dan tersedia kapanpun. Tahapan terakhir ini, sebuah lembaga akan mendapatkan penghematan biaya potensial, akuntabilitas melalui log informasi dan peningkatan produktivitas. Dalam konteks perguruan tinggi, semua jenis pengadaan barang dan jasa yang diperlukan perguruan tinggi ditawarkan pada portal e-procurement melalui LPSE mandiri maupun yang menginduk pada Lembaga tertentu. Disamping itu transaksi keuangan dan akademik juga memakai transaksi melalui elektronik antara mahasiswa dengan Lembaga perguruan tinggi. Pada tingkatan transaksi mikro pembelajaran, perguruan tinggi  bisa memberlakukan Pembelajaran secara elektronik. Pembelajaran ini bermakna sebagai konten instruksional atau pengalaman pembelajaran yang disampaikan atau diaktifkan oleh teknologi elektronik. Pembelajaran ini meliputi pembelajaran berbasis web, pembelajaran berbasis komputer, ruang kelas virtual dan kolaborasi digital (Robert Schware, 2005:104). Pengiriman konten pembelajaran bisa melalui internet, intranet atau ekstranet (mis., LAN atau WAN), audio dan rekaman video, siaran satelit, TV interaktif, CD-ROM dan cara elektronik lainnya.

Penerapan tata kelola secara elektronik ini bisa meningkatkan mutu Lembaga karena sesuai dengan tuntutan dan dinamika global. Disamping itu penerapannya menurut Baharudin Noveriyato dkk (2018) dapat menjadi media komunikasi untuk mempercepat pertukaran informasi, menyediakan sarana layanan dan kegiatan transaksi dengan warga masyarakat (G2C), kepada pelaku bisnis (G2B), dan tentunya dengan pihak pemerintah sendiri (G2G). Wallahu a’lam

Referensi

Baharudin Noveriyanto, Laila Chairun Nisa, Achmad Sofian Bahtiar, Sahri Sahri, Irwansyah Irwansyah (2018). E-Government Sebagai Layanan Komunikasi Pemerintah Kota Surabaya (Studi Kematangan e-government Sebagai Layanan Komunikasi Government to Government, Government to Citizen, Government to Business). Jurnal Komunikasi Profetik.  Vol 11, No 1 (2018). http://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/profetik/article/view/1371
World Development Report 2016: Internet for Development. Framework for e-governance in UNDP https://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/Publications/WDR/WDR%202016/WDR16_Berlin_Kapto.pdf
https://www.progresstech.co.id/blog/jenis-sosial-media/
Robert Schware (Editor). (2005).  E-Development: From Excitement to Effectiveness Global Information and Communication Technologies Department. http://documents.worldbank.org/curated/en/261151468325237852/pdf/341470EDevelopment.pdf Center for Democracy and Technology. (2002). The E-Government Handbook For Developing Countries A Project of InfoDev and The Center for Democracy & Technology.http://documents.worldbank.org/curated/en/317081468164642250/pdf/320450egovhandbook01public12002111114.pdf