SOLUSI HUMANIS UNTUK JERUSALEM

Oleh: Dr. H. Mudofir, M.Pd
(Rektor IAIN Surakarta)

Pernyataan sepihak Presiden Amerika Serikat Donald Trump atas Jerusalem sebagai ibukota yang disampaikan Rabu (6/12) pekan lalu bagai petir di siang bolong. Trump dengan sangat tegas menyampaikan isu yang sangat sensitif ini, sebuah isu yang tidak pernah berani disampaikan oleh presiden-presiden sebelumnya. Mengapa sensitif? Jerusalem adalah kota tiga agama yang selama ini berada dalam konflik dan damai.

Jerusalem juga menjadi pusat percaturan politik dunia sejak Israel mendirikan negara Yahudi disana pada tahun 1948. Pengakuan Trump atas Jerusalem sebagai ibukota Israel bisa menyulut konflik baru yang berkepanjangan. Dalam pidatonya di Gedung Putih Trum menyatakan sudah saatnya mengakui secara resmi Jerusalem sebagai ibukota Israel. Pernyataan ini dianggap oleh para pengamat Timur Tengah sebagai pernyataan perang terhadap perdamaian dunia.

Setelah pernyataan itu mengemuka demonstrasi umat Islam merebak di mana-mana. Kecaman-kecaman dari pemerintahan berbagai negara termasuk pemerintah Indonesia sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo juga bermunculan. Dunia tampaknya bersatu menentang pernyataan Trump. Trump bergeming. Dia menyatakan bahwa George Bush, Bill Clinton, dan Barack Obama tidak cukup berani mengambil keputusan untuk mendukung Jerusalem sebagai ibukota Israel. Trump hendak menegaskan dirinya sebagai Presiden Amerika Serikat yang berani mengambil keputusan sensitif itu.

Jerusalem adalah kota bersejarah yang menjadi arena perebutan pengaruh tiga agama. Ada tiga tempat suci tiga agama, yakni Tembok Ratapan (Yahudi), Gereja Makam Kudus (Kristen) dan Masjid Al-Aqsha (Islam). Jerusalem sering disebut sebagai red line (garis merah) yang tidak boleh di klaim secara sepihak. Kekhawatiran yang muncul adalah jika menjadi ibukota Israel akan ada pembatasan hak-hak orang Palestina atau umat Islam untuk mengunjungi Jerusalem di samping rentan pada konflik-konflik baru yang tiada henti. Ketakutan lainnya adalah akan memicu barisan radikalisme ekstrem baru dari dunia Islam yang merasa bersimpati pada Palestina.

Sejak pendeklarasian berdirinya negara baru Yahudi di Israel pada 1948, gerakan perlawanan terhadap Zionisme merebak di dunia. Diaspora bangsa Yahudi dari berbagai dunia berduyun-duyun datang ke Israel dan sejak itu masalah Timur Tengah muncul. Sejak itu juga perang antara Arab dan Israel terjadi. Konflik-konflik perbatasan, pembantaian, serangan sporadis dan pembunuhan berkali-kali terjadi. Warga Palestina selalu menjadi korban. Sejak itulah, Muhammed Arkoun, gerakan radikalisme Islam muncul. Politik Islam memperoleh tempat dengan seruan agar umat Islam mendirikan negara untuk melawan Zionisme.

Boleh jadi munculnya Hizbut Tahrir diilhami kenyataan bahwa dunia Islam secara politik dan militer selalu kalah dan inferior sehingga perlu formalisasi Islam dalam bentuk negara. Meskipun ini utopia dan merupakan cita-cita sebagian sangat kecil umat Islam, namun dapat dipandang sebagai produk dari ketidakadilan yang menimpa Timur Tengah oleh barat—baca:Israel, Amerika Serikat, dan sekutunya. Saya khawatir jika Donald Trump tidak menarik pernyataannya akan muncul gelombang kekerasan baru pada masa depan. Kekerasan-kekerasan baru akan muncul di perbatrasan dan ini akan mengilhami kekerasan baru di berbagai tempat di dunia. Kekerasan akan memproduksi kekerasan baru. Apa yang terjadi di Palestina sering kali mengilhami dunia Islam lainnya.

Dari sejumlah laporan, para pelaku bom bunuh diri di Indonesia dan juga di dunia Islam terilhami oleh kekerasan Israel atas umat Islam Palestina. Penyokong utama Israel, Amerika Serikat, bahkan kepentingan-kepentingannya, terancam di mana-mana. Runtuhnya Twin Tower (WTC) di Amerika Serikat pada 2002 dan ledakan-ledakan bom di berbagai kota di Eropa terilhami oleh ketidakadilan Amerika Serikat dan sekutunya atas Palestina. Bom Bali I dan II bahkan merupakan garis lanjutan dari kekerasan-kekerasan Israel atas Palestina.

Dengan melihat fenomena tersebut, para pemimpin Amerika Serikat dan Eropa selalu sangat hati-hati dalam menerapkan kebijakan atas masalah Timur Tengah. Kearifan para pemimpin Amerika Serikat dan Eropa sebelumnya tidak diteladani oleh Donald Trump. Trump bermain api dengan dunia Islam dan dengan spirit perdamaian dunia. Trump terlalu sembrono dan tidak mengambil pelajaran berharga dari kearifan dunia yang mengajarkan tentang kerja sama global dan kearifan keadaban agam-agama. Sikap anti-Islam Trump, agaknya, telah mendorong keputusan kontroversial ini.

Sejarah yang Terulang

Dunia pun mudah menebak bahwa sikap pemerintahan Trump yang unilateral atas Jerusalem merupakan artikulasi dari kelanjutan sikap Islamofobia. Jerusalem merupakan kota tertua yang masih ramai dikunjungi peziarah tiga agama.

Sejak dikembangkan Nabi Daud, kota ini telah menelan korban jutaan orang. Jerusalem merupakan kota yang hancur berkali-kali dan di bangun berkali-kali sejak kurang lebih 5000 tahun sebelum masehi. Kota ini pernah dijarah Raja Fir’aun dari Mesir, raja-raja Romawi-Yunani dan Islam.

Setiap penjarahan selalu memakan korban yang dibantai. Aldous Huxley, misalnya, menyebut Jerusalem sebagai “rumah jagal agama-agama”. Flaubert menyebut sebagai “rumah kuburan”. Melvile menjuluki Jerusalem “sebuah tengkorak yang dikepung oleh angkatan perang mati”. Penulis muslim menyebut Jerusalem sebagai “sebuah gelas emas penuh kalajengking”.

Pandangan para penulis tentang Jerusalem tersebut menunjukkan kota ini sangat sensitif dan penuh bahaya bila diperlakukan secara tidak hati-hati. Reputasinya yang kelam dan mengerikan, disamping menyajikan keangkeran tapi justru menambah kesakralannya. Makin banyak korban berjatuhan demi syahid (yang diyakini tiga agama tersebut), posisis Jerusalem makin sakral dan makin banyak menarik peziarah dari berbagai penjuru dunia.

Kedengarannya aneh, tapi inilah yang ditunjukkan oleh Jerusalem yang sangat historis dan penuh magis. Posisi sakral dan magis Jerusalem mendorong kaum diaspora Yahudi di berbagai penjuru dunia bersatu mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab atas dukungan Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sikap mereka, menurut saya, didorong kuat oleh kepercayaan atas sakralitas Jerusalem  sebagai tanah perjanjian sebagaimana ditulis oleh kitab suci mereka. Itulah sebabnya, Trump ingin bertindak syahid, ingin berhasil mengembalikan Jerusalem sebagai ibukota Israel.  Tindakan Trump dikecam oleh dunia Islam maupun non-Islam, bahkan sebagian besar rakyat Amerika Serikat tidak mendukung sikap Trump.

Saya setuju dengan Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Trump belum terlambat untuk menarik kembali sikapnya atas Jerusalem. Presiden Joko Widodo juga sangat tepat dengan kecamannya yang menyatakan Trump melanggar banyak pasal yang tertuang dalam kebijakan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tekanan-tekanan dunia atas sikap Trump diharapkan dapat mengubah keputusannya. Trump perlu menatap ke depan dalam kebijakannya atas Israel dan Palestina dengan mempelajari sejarah Jerusalem yang penuh konflik.

Dunia Islam juga perlu mengambil jalan diplomasi dan menggalang solidaritas dunia untuk menghentikan langkah-langkah Trump. Masa depan dunia harus dibangun dengan mengedepankan perdamaian, kerja sama global dan saling menghargai perbedaan.