Hari Ibu di Zaman Now

Oleh: Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik FITK IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

Sumber gambar: https://www.dream.co.id/

Berbicara tentang ibu merupakan satu figur yang sangat lekat dengan kehidupan seorang anak manusia. Ibu adalah sosok luar biasa yang melahirkan setiap insan manusia ke dunia. Atas jasa dan perjuangan seorang ibu, tentu didampingi ayah, ibu bertaruh nyawa mengejan untuk melahirkan generasi penerus peradaban manusia. Manusia sehebat apapun tidak akan lepas dari jasa ibu yang tak terkirakan.

Setelah pertaruhan nyawa yang cukup berat dan melelahkan, hal tersebut barulah awal, karena selanjutnya adalah membesarkan dan mendidik anak tersebut agar mampu berbakti, berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Ibu memberikan segenap curahan kasih sayangnya, bahkan terkadang abai terhadap dirinya sendiri yang terpenting adalah kesehatan dan kenyamanan sang buah hati.

Maka tak mengherankan terdapat legenda Malin Kundang dari Sumatera Barat yang berkisah tentang seorang anak yang durhaka kepada ibunya sehingga dikutuk menjadi batu. Dalam khasanah Islam terdapat kisah Alqomah, seorang ahli ibadah yang harus mengalami kesulitan sakaratul maut dikarenakan durhaka kepada ibu. Hal ini sebagai penekanan dan tamsil bahwa jasa seorang ibu adalah luar biasa, sehingga kedurhakaan kepadanya akan berakibat fatal.

 

Menelisik Sejarah Hari Ibu

Tidak hanya dalam ranah domestik saja, bahkan para perempuan yang notabenenya adalah seorang ibu, andil berjibaku dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Turut berpartisipasi angkat senjata mengusir dan mengenyahkan penjajah dari tanah air. Para pahlawan perempuan ini memiliki peran dan pergerakan yang berdampak besar tak hanya bagi kaumnya, tetapi juga bagi bangsa Indonesia.

Sosok seperti Kartini, perempuan asal Jepara adalah salah satu profil perempuan yang mempunyai pemikiran melampui zamannya, berani melawan arus terhadap kebijakan kolonial yang tidak memihak dan memarginalkan kaum perempuan. Kemudian sosok Cut Nyak Dien, memperjuangkan Tanah Rencong dari rongrongan Belanda, Cut Meutia, Dewi Sartika, Martha Khristina Tiahahu, dan sederet sosok perempuan lain yang berjuang gigih di daerahnya masing-masing.

Melihat betapa besar jasa seorang perempuan, seorang ibu, maka menjadi hal yang tepat apabila negara Indonesia mengapresiasi dan mendeklarasikan tanggal 22 Desember untuk diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Penetapan ini dilakukan pada masa Presiden Soekarno diikuti dengan penerbitan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1953. Berbagai negara di dunia juga memperingatinya dengan hari yang berbeda-beda sesuai tonggak sejarah perjuangan perempuan masing-masing negara. Misalnya di Thailand pada 12 Agustus yang merupakan kelahiran Ratu Sirikit, Norwegia pada 14 Februari, Britania Raya pada 14 Maret, dan lainnya.

Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama yang digelar dari 22-25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatera (wikipedia.org). Tanggal 22 Desember dipilih sebagai wahana merayakan semangat juang wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Momen tersebut merupakan tonggak sejarah bagi Indonesia untuk memproklamirkan ke negara di dunia akan pentingnya peran perempuan dalam andil membangun bangsa dan negara.

Kini, makna dan esensi perayaan Hari Ibu telah banyak berubah dan bergeser. Di mana peringatan Hari Ibu sekarang hanya bekisar pada hal-hal yang seremonial dan temporal, hanya sekadar ucapan selamat via media sosial, sehari menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu, bertukar hadiah, lomba-lomba bernuansa ibu, seperti memasak, berdandan, memakai kebaya, dan lainnya. Kulit memang penting, tapi esensi tentu lebih penting di balik peringatan Hari Ibu.

Menarik mendalami apa yang disampaikan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Giwo Rubiyanto Wiyogo dalam peringatan Hari Ibu 2017 di Jakarta, Senin (18/12/2017). Ibu Giwo mengatakan bahwa peringatan Hari Ibu selain seremonial haruslah mengedepankan makna hakiki sebagai wujud pengakuan, penghargaan, dan penghormatan tertinggi oleh negara, masyarakat dan seluruh stakeholder pemerintah, atas peristiwa heroik yang telah dilaksanakan oleh para founding mothers Kowani pada masa perjuangan.

Ibu Giwo menambahkan mereka dengan begitu gigih berjuang tanpa pamrih dan tanpa meminta fasilitas, serta imbalan apapun. Namun berbekal tekad, persatuan, dan jiwa kejuangan yang penuh semangat pantang menyerah akhirnya mampu mempersembahkan alam kemerdekaan yang sekarang dinikmati bersama.

Apa yang disampaikan Ibu Giwo layak untuk dijadikan perenungan bersama. Bahwasanya momentum Hari Ibu merupakan nostalgia untuk sejenak mengingat kembali perjuangan para perempuan Indonesia. Setelah mengingat, maka langkah selanjutnya adalah berefleksi diri untuk memastikan para ibu Indonesia telah mampu mengisi kemerdekaan dengan menggunakan hak dan kewajiban sebaik-baiknya.

 

Ibu di Era Digital

Zaman telah berubah, musim telah berganti, sosok ibu yang dulu harus mampu beradaptasi menjadi ibu masa kini. Era digital dengan internet sebagai garda terdepannya mengharuskan para ibu masa kini untuk mampu beradaptasi dengan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin modern. Perjuangan tidak lagi mengangkat senjata melawan penjajah, namun melawan derasnya arus globalisasi yang kian mengganas, siap melumat siapapun yang tidak awas.

Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter (baca: pengguna internet) Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban. Secara keseluruhan, jumlah pengguna internet di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3 miliar orang pada 2015. Tiga tahun setelahnya, pada 2018, diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi bakal mengakses internet setidaknya sekali tiap satu bulan (kominfo.go.id). Melihat data tersebut seakan mengesahkan bahwa dunia telah memasuki era tanpa batas dengan adanya internet.

Pada momen peringatan Hari Ibu ini, seyogyanya dijadikan momen bagi para ibu untuk memantaskan diri menyambut masa depan bangsa di era digital. Di tangan para ibulah generasi emas masa depan bangsa terukir. Dalam Islam dikenal istilah Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq, ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik. Ibu merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak, dari ibulah seorang anak pertama kalinya berkenalan dan mengenali dunia.

Maka dari itu menjadi sebuah keharusan ibu di era digital perlu mempersiapkan bekal yang berbeda dengan ibu-ibu terdahulu. Di antara bekal tersebut, pertama, pemahaman agama yang kuat, merupakan hal yang tidak dipungkiri bahwa norma agama menjadi bagian penting agar di era digital tidak mudah terjerumus pada hal yang negatif. Melalui kompas agama, seorang ibu akan dipandu tentang suatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sesuatu yang baik dan buruk, sesuatu yang beradab dan tidak beradab, dan lainnya. Melalui kompas ini, ibu akan selalu diarahkan pada rel mana yang seharusnya dilalui.

Kedua, melek teknologi, sebuah keniscayaan bahwa ibu di era digital harus berdekatan dan tidak gagap teknologi. Sedikit banyak perlu mengetahui tentang berbagai aplikasi dan fitur pada gadget. Sehingga memiliki kemampuan untuk filter dan pengawasan terhadap anak. Dan yang terpenting ibu perlu mendampingi dan membatasi penggunaan gadget pada anak, tidak melarang dengan mutlak tetapi berusaha memanfaatkan sisi positif gadget yang bisa dimaksimalkan.

Ketiga, aktif bermasyarakat, selain komunikasi melalui gadget dengan akses media sosial. Para ibu hendaknya aktif bersosialisasi dengan masyarakat. Aktif mengikuti kegiatan PKK, arisan, pertemuan RT, pelatihan mendidik anak, dan komunitas lain sesuai ketertarikan ibu. Melalui aktivitas tersebut berguna untuk membangun kepekaan sosial ibu yang nanti akan diwariskan kepada anaknya. Hal demikian untuk meminimalisir ungkapan di masyarakat, bahwa gadget mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.

Setidaknya melalui tiga bekal tersebut, seorang ibu akan mampu menjalankan perannya sebagai ibu di era digital. Memiliki pemahaman agama yang mumpuni, menguasai teknologi, dan tidak mengabaikan peran sosialnya di masyarakat, ibu dari generasi yang lahir ketika teknologi telah mencapai puncaknya. Jika tidak hati-hati mendidik anak di era ini, maka teknologi akan menjadi bumerang bagi generasi masa depan, alih-alih ingin mewujudakn generasi emas, namun malah tercipta generasi yang inginnya serba cepat dan instan.

Akhirnya, momen Hari Ibu ini agar dimaknai secara kaffah oleh semua masyarakat. Semua pihak hendaknya bersinergi untuk turut andil dalam mewujudkan fungsi dan peran ibu yang semakin berat di era digital, apresiasi beratnya perjuangan seorang ibu tergambarkan dalam sebuah ungkapan Al jannatu tahta aqdaamil ummahaat, bahwa surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Melalui segala saluran yang tersedia, ibu perlu selalu didorong untuk menjadi ibu yang benar-benar mampu menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Semoga.