Mari Berbenah

Oleh: Ahmad Zia Khakim. S.H
(Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

 

Saya teringat kejadian Lee Kuan Yew yang pernah mengatakan Indonesia adalah salah satu sarang teroris. Sekonyong-konyongnya berbagai kalangan menggeliat seketika tidak rela. Mulai dari Wakil Presiden, (mantan) Presiden, Menteri, politisi di DPR dan berbagai opini media massa menanggapinya dengan penuh semangat. Tanggapan umumnya senada seirama. Lee bicara tanpa fakta yang jelas. Tanpa bukti, dan dianggap tidak paham demokrasi Indonesia, bahkan dicap sebagai orang yang berasal dari negara tetangga yang oportunistis.

Lee memang kaki tangan Amerika Serikat (AS) di Singapura. Tanggapan-tanggapan itu ada benarnya. Singapura memang cerdik memanfaatkan peluang pergeseran Geo-politik Internasional. Barangkali, singapura punya berbagai agenda domestik dibalik terperosotnya Indonesia dalam daftar hitam fasilitator teroris yang dibuat sepihak oleh defense Establishment di AS. Atau barangkali karena alasan lainnya. Tentu semua ada alasannya, namun kejadian ini bukan yang pertama.

Yang perlu kita ingat agar kita tidak lupa, Deputi Menteri Pertahanan AS Paul Wolfowitz juga pernah melontarkan pernyataan-pernyataan yang juga menyudutkan Indonesia. Harusnya, kita bertanya pada diri kita sendiri kenapa negara kita sering jadi bulan-bulanan pemimpin negara lain. Mengapa politisi asing berani menuding Indonesia dengan beragam tudingan dan tuduhan? Jawaban sederhananya adalah mereka punya agenda rahasia dibalik itu semua.

Apakah salah apabila mereka punya agenda besar pada negara kita? Bukankah wajar-wajar saja, sebagai bangsa, kelompok, partai, punya agenda masing-masing. Dan harusnya kita kembali bertanya pada diri kita apakah yang bisa kita lakukan terhadap agenda-agenda mereka? Mengutuk atau menyatakan sikap kekecewaan, kecaman, hanya bisa memuaskan panas hati sementara saja, tetapi tidak menyelesaikan masalah. Mengapa? Karena kita harus betul-betul sadar pernyataan memojokkan Indonesia itu semua bermula dari dalam negeri, di jantung Indonesia, bukan dari bangsa mereka.

Lee sebagai politisi rasional yang mengambil langkah politis secara strategis dan kalkulatif. Dia sadar tidak berhadapan dengan bangsa yang berwibawa secara ekonomi, politik, militer. Sebaliknya, dia beranggapan sedang berhadapan dengan negeri yang morat-marit yang penuh dengan konflik dalam negerinya.

Ketika saya ke Malaysia ada sebuah media massa milik negara yang meliput Setya Novanto sang Panglima DPR RI terpampang di halaman paling depan. Aku merasa malu, malu yang teramat sangat. Ambil contoh lagi, kebijakan memulangkan TKI dari Malaysia. Mengapa harus khawatir dengan reaksi Indonesia, wong para pemimpin di Indonesia sendiri tidak peduli dengan rakyatnya?

Inilah sumber masalahnya. Masalahnya berasal dari dalam negara, bangsa, dan pejabat kita sendiri. Dengan berbagai masalah dalam negeri maka negeri kita telah kehilangan kewibawaan sebagai bangsa di mata internasional. Rakyat Indonesia dan para pemimpinnya tidak lagi disegani, bahkan oleh tetangga dekatnya. Jadi jangan marah kepada mereka yang membuat statement sinis yang ditujukan pada negeri ini.

Bercerminlah, wahai para pemimpin dan rakyat Indonesia. Di mata internasional, bangsa ini telah kehilangan kewibawaannya. Lihatlah potret para pemimpin Indonesia dan rakyatnya. Hari ini pemerintah menyerukan sebuah pemerintahan yang bebas korupsi, namun di tahun berikutnya memilih pejabat berdasarkan setoran uang partainya. Menyerukan transparansi, besok menyerukan menolak laporan kekayaannya, dll dsb.

Kini, giliran bangsa kita menentukan sikap. Biarkan mereka terus memberikan tudingan miring dan mengecam bangsa kita secara reaktif. Namun jadikan itu semua bahan introspeksi untuk melakukan perubahan kolektif secara serius. Mari kita songsong 2018 dengan harapan-harapan besar yang mencerahkan. Mari kita kumpulkan lagi kehormatan yang telah tercecer oleh perjalanan bangsa ini.

Al Qur’an mengajarkan sikap optimisme dan pantang putus asa. Ingatlah, bangsa kita adalah bangsa yang besar. Mari kita jaga negeri ini, kita rawat dan bangun dengan segenap jiwa dan raga dan dengan seluruh tumpah darah. Berjuanglah terus garudaku. Negeriku tercinta.

Penulis bermimpi agar warga Indonesia menjadi Khalifah Fil ‘Ard. Tidak hanya menjadi pemimpin untuk negerinya tetapi bisa menjadi pemimpin dunia. Menjadi Sekjen PBB bahkan Ketua PBB. Sehingga bangsa Indonesia bisa memainkan peran di kancah internasional. Dapat berkontribusi di era globalisasi yang menembus batas antar suku, antar bangsa dan antar negara. Mimpi menjadi pengaman risalah perdamain dunia dan kebaikan untuk alam semesta semoga menjadi nyata.

Menghormati pahlawan menjadikan kita bangsa yang terhormat. Menghormati pahlawan adalah menghormati cita-cita mereka menjadikan bangsa ini bangsa yang berpancasila.
Ketuhanan Yang Maha ESA. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indoensia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Serta, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Editor: Nugroho