Teloletisme

Oleh: Irwan Rohardiyanto, S.S., M.Hum.
(Dosen FITK dan Alumnus Sastra Inggris STAIN Surakarta 2007)

#BanggaIAINSurakarta

 

Tinggal di Jawa itu mudah namun tak semudah menjadi orang Jawa. Kata Jawa pun semakin naik daun ketika ada individu yang tidak paham sesuatu disebut Ora Njowo (tidak Jawa). Bahkan untuk kondisi tertentu, individu sudah mencapai level kesadaran hampir 100 % itu disebut Lagi Njowo (baru sadar). Betapa banyak penggeneralisasian yang dilebihkan dari rucita jawa di kalangan komunitas tutur.

Menggerak-gerakkan ujung ruas jari dari ibu jari dalam kurun setahun (atau dua tiga tahun) silam menjadi fenomena yang menarik terjadi di tanah Jawa bahkan sampai di kepulauan di seberang Jawa. Fenomena tersebut yaitu saat individu mengharapkan suara klakson dari kendaraan roda banyak, seperti bus, truk, dan lain sebagainya untuk mendapatkan sesuatu yang menurut mereka bisa memberikan kesenangan sesaat. Gayung pun bersambut, proses viralisasi dari fenomena ini menyebar begitu cepat dan merambah dalam berbagai tingkat tutur.

Fenomena itulah yang diinterpretasikan dengan rucita teloletisasi.  Tua muda, anak dewasa, pria dan wanita dengan tidak sadar belajar semiotika dengan melakukan enkoding tanda atau sinyal untuk meminta sesuatu kepada mitra tutur yang pada kesempatan ini diwakili oleh awak bus atau awak truk. Mereka meminta sesuatu berupa audio atau bunyi dari klakson bus atau truk. Audio yang dihasilkan tentunya sudah merupakan hasil modifikasi, sehingga tertangkap merdu oleh auditori sensori. Selepas itu, teloleters ini merasa senang, bangga, dan puas sepeninggal bus atau truk tersebut. Mereka pun rela menunggu kendaraan yang melintas berikutnya untuk diajak berkomunikasi dengan mitra tutur.

Suara klakson tiga corong tersebut menjadi buruan para siswa level ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah bahkan kuliah untuk mendapatkan kesenangan. Ada hal positif yang bisa dipetik dari fenomena ini seperti eratnya kembali jalinan komunikasi antar pemakai jalan. Mereka rela bersabar menunggu bus melintas meskipun sambil berdiri dipanasnya terik matahari, bersama-sama satu rasa dan satu asa tanpa membedakan status demi menjalin chemistry  dengan awak bus atau truk sehingga tercapai harapannya. Hal ini mengingatkan kita pada suatu kebersamaan yang masif yang dilakukan oleh komunitas tutur.

Meskipun ada muatan positif dari fenomena tersebut, tentunya ada juga yang mencoba mengurai kebersamaan itu dengan berbagai informasi yang kurang bertanggung jawab. Teloletisme erat kaitannya dengan istilah “Om Telolet Om” Ada beberapa yang menyatakan bahwa telolet itu adalah Yahweh menurut bahasa Swahili. Dengan cerdasnya, memadu padankan bahasa Swahili dan bahasa Bali ‘om’ yang berarti tuhan. Kebersamaan masif para teloleters tersebut bisa-bisa menjadi retak dengan hal-hal berbau SARA. Yang disayangkan dari fenomena ini yaitu, para teloleter kurang memperhatikan keselamatan diri mereka. Ada pengendara motor yang nekat mengejar bus demi medapatkan suara klakson tersebut. Bahkan di jalan besar saat malam Minggu, para teloleter sampai turun ke badan jalan untuk menghadang bus atau truk yang melintas demi suara klakson. Tentunya itu adalah sesuatu yang melanggar tindak tutur.

Lebih dalam lagi, keberterimaan istilah telolet ini oleh komunitas tutur juga sangat baik. Dengan legawa mereka menerima kata tersebut, meskipun suara yang dihasilkan klakson bermacam-macam. Masyarakat Jawa menerima suara dari klakson dengan berbagai tangkapan bunyi, seperti thin-thin, thot-thot, ngok-ngok, tholet-tholet, thulit-thulit, bim-bim dan lain sebagainya. Orang Inggris menangkap suara itu dengan beep-beep. Melihat secara fonetik, terdapat keyakinan mengenai kekuatan suara. Dari hasil riset, suara pun punya kekuatan untuk membuat pendengar merasakan perasaan yang positif seperti senang, damai, aman, nyaman,dan lain sebagainya. Seperti suara pintu mobil yang ditutup, biasanya pintu yang normal ditutup akan muncul bunyi klek atau glek (e bunyi schwa/ pepet). Ternyata bunyi tersebut memberi efek aman, nyaman, serta suatu kepastian. Hal ini akan berubah bila bunyi yang ditimbulkan seperti glok, dhok,dher,thek, thas dan lain sebagainya. Bunyi telolet dianggap lebih memberikan suatu yang lebih mudah daripada telolelolelolet atau teroret yang akan berpotensi sulit diucapkan oleh anak-anak kecil. Bunyi  telolet  dianggap memberikan perasaan gembira, ceria, bahagia, senang dan puas bercampur.

Besar kemungkinan isu teloletisme akan lebih berbahaya daripada isu terorisme apabila dibiarkan begitu saja. Dunia saat ini sedang gencar memerangi terorisme, namun isu teloletisme ini akan berakibat fatal bila tidak diperhatikan secara serius. Teloletisme ini merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan sesuatu yang zonk. Maksudnya ada informasi, ide, pesan atau gagasan yang hanya disuarakan sebentar seperti suara klakson tetapi tidak ada realisasi dari berita tersebut. Ada contoh kekuatan suara yang terjadi di lingkungan kita, seperti pengambilan suara terbanyak untuk menentukan agenda kegiatan. Komunitas tutur melakukan votang-voting (proses dwilinga salin swara) untuk mengadakan arisan atau tasyakuran, sudah lebih dari tiga purnama, tetapi belum juga terealisasi. Yang ada hanya persetujuan palsu, bisa jadi komunitas tutur berkurang rasa saling mempercayai antar individu komunitas sehingga asosiasi berpotensi hancur.

Di dalam kehidupan yang lebih akademis pun juga ditemukan kasus teloletisme, seperti ada informasi resmi, valid dan meyakinkan tentang PMA no. 29 tahun 2016 tertanggal 13 Juni 2016 tentang Pemberian Penambahan dan Pengurangan Tunjangan Kinerja Pegawai. Sebut saja Alex Misbar, pengabdi negara ini mencoba menghibur diri untuk mendapatkan kesenangan dari informasi tersebut, namun sudah berkali-kali musim berganti tak jua memperoleh kepastian dari berita tersebut. Alex Misbar berharap atasannya tidak memberikan kepastian artifisial sehingga Alex bisa tersenyum bangga terhadap lembaganya. Ekspektasi yang tinggi bisa bersinergi dengan realisasi dan bukan hanya teloletisasi. Semoga.