Common Enemy, Is Corruption

Oleh: Ahmad Zia Khakim, S.H
(Alumni IAIN Surakarta dan Mahasiswa Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah)

#BanggaIAINSurakarta

Saat ini korupsi menjadi keseharian masyarakat kita. Korupsi terjadi disetiap saat dan dimana-mana sehingga tanpa kita sadari kita telah melakukannya. Korupsi menjadi gejala sosial yang patut diwaspadai karena korupsi menggerogoti nilai-nilai sosial kemasyarakatan kita. Korupsi tersembunyi dalam tradisi, dengan dalih menjaga etika, bertransformasi sedemikian rupa sehingga sulit mengenalinya dan sulit ditengarai karena keluwesannya. Korupsi hampir dilakukan oleh siapa saja dan terjadi di setiap sektor.

Pelaku korupsi berasal dari berbagai kalangan. Pejabat pemerintah pusat, pejabat pemerintah daerah, anggota DPR, anggota DPRD, pejabat BUMN, kalangan swasta, kepala daerah, aparat penegak hukum, pegawai universitas dan sekolah, menteri, elite partai, sampai duta besar. Para pelaku korupsi ini bergerak cepat di setiap sektor. Sektor penerimaan negara/daerah, pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, pekerjaan umum, keolahragaan, pendidikan, keagamaan, penegakan hukum, kesejahteraan sosial, BUMN, BUMD, energi, sumber daya alam, urusan luar negeri, komunikasi dan informatika, kesehatan, pengadaan barang dan jasa, legislatif, perdagangan, perindustrian, keuangan, dan perbankan, tidak luput dari cengkeraman para koruptor.

Jika demikian, dapat dikatakan negara ini sedang mengalami serangan korupsi stadium empat. Korupsi yang sangat akut di pusat dan di daerah semakin memberatkan dan memperlambat pekerjaan rumah untuk membenahi negara. Korupsi yang menggurita di semua sektor kehidupan dan menjangkiti hampir seluruh lapisan negara menjadikan masalah korupsi sebagai persoalan yang harus segera dicarikan solusi.

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga internasional selalu menempatkan Indonesia dalam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa korupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, systemic dan widespread (Lubis, 2005).

Pemberantasan korupsi adalah sejarah panjang yang belum usai hingga saat ini. Pada masa orde baru tercatat adanya dua badan pemberantasan korupsi. Pertama, Panitia Retooling 1 Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM, 2013, Trend Corruption Report Periode Januari-Juli 2013. Kedua, Aparatur Negara (Paran), badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution. Kedua, Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.

Pada masa orde baru juga dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang diketuai Jaksa Agung. Di era reformasi dibentuk KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mestinya tidak hanya menjadi komitmen dari Pemerintah RI saja, tetapi harusnya juga menjadi komitmen dari seluruh negara dan bangsa-bangsa di dunia. Karena korupsi merupakan permasalahan dunia yang sangat mengganggu semua negara. Hal tersebut ternyata sudah terbukti dengan munculnya Konvensi PBB tentang anti korupsi pada tahun 2003 (UN Convention Against Corruption – 2003).

Partisipasi masyarakat, laki-laki dan perempuan, mahasiswa, para pendidik, pemuka agama, dan khususnya keluarga, harus turut serta dalam perjuangan melawan korupsi dengan kapasitas dan kesanggupannya masing-masing. Bahkan perempuan mempunyai peran yang sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran yang menjadi inti dari pendidikan anti korupsi. Perempuan adalah sekolah pertama bagi anak-anak bangsa, maka andil yang sangat besar bagi perempuan untuk terjun langsung dalam upaya preventif, pendidikan anti korupsi dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Gerakan Semesta Alam Melawan Korupsi adalah sebuah keniscayaan. Kita semua adalah duta anti korupsi.