Ekonomi Islam di Ujung Tanduk?

Oleh: Fuad Hasyim
(Dosen/ Civitas akademika IAIN Surakarta)

 

 

Akram Khan (1994) dalam bukunya An Introduction to Islamic Economics menyebutkan bahwa ekonomi Islam tidak lahir untuk menjadi pesaing dalam sistem kapitalis maupun sosialis. Ekonomi Islam diilhami atas falsafah Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Sehingga ekonomi Islam lahir untuk mecapai falah, tidak hanya untuk umat Islam semata, melainkan untuk seluruh alam.

Ekonomi Islam kemudian muncul sebagai diskursus keilmuan “baru” dengan kolaborasi ekonomi konvensional yang diratifikasi dengan saintifikasi atas intepretasi naskh. Ekonomi Islam dalam perkembangannya kemudian  memunculkan pendapat-pendapat ijtihadiyyah para mujtahid kontemporer. Terlepas dari itu semua, ekonomi Islam yang sejatinya sudah dipraktikkan pada zaman nabi kemudian naik kelas untuk muncul dan berkamuflase sebagai alternatif atas sistem ekonomi yang terjadi saat ini.

Tanggapan atas ekonomi Islam pun beragam, dari pro kontra bahkan radikal sekalipun. Jika dalam pandangan akademik, maka munculnya gagasan ide yang kerapkali  memunculkan perbedaan pandangan, justru mencirikan pada sifat keilmuan yang dinamis, tidak mentok pada bahasan yang pakem/ saklek. Dalam kerangka epistemologis, ekonomi Islam menjadi salah satu jembatan bahasa Tuhan untuk dibumikan.

Menarik untuk dilihat saat ini, geliat ekonomi Islam berkembang ke semua lini. Dari keuangan, perbankan hingga produk yang terkadang hanya gimmick mengusung tema syariah. Pada awal milenial ini misalnya, di Indonesia berdiri Bank Muamalat yang menjadi pionir bank syariah. Dilanjutkan dengan rilis produk instrumen keuangan berbasis syariah, mulai dari saham syariah, obligasi syariah (sukuk), Jakarta Islamic Index (JII), Daftar Efek Syariah (DES), merambah ke lembaga asuransi syariah, leasing syariah, pegadaian syariah bahkan kemunculan microfinance berbasis syariah (BMT). Banyak penelitian mengungkapkan ketahanan produk syariah ini terhadap krisis ekonomi.

Indonesia dengan modal mayoritas penduduknya beragama Islam, dikala awal milenial memprediksikan booming syariah ini akan menjadikan Indonesia sebagai rujukan riset bertemakan ekonomi Islam (center of Islamic economic studies) bersaing dengan negara tetangga, Malaysia. Akan tetapi, lambat laun keyakinan itu mulai meredup seiring berjalannya waktu. Malaysia boleh jumawa, karena saat ini perkembangan akademik tentang ekonomi Islam justru melebihi ekspektasi.

Ada beberapa koreksi dan PR besar mengapa ekonomi Islam Indonesia kemudian seakan berada di ujung tanduk. Salah satu contoh sederhananya adalah santernya berita tentang bank muamalat yang akan diakusisi. Meskipun OJK menilai secara kinerja bank muamalat berada pada posisi yang aman, akan tetapi berita ini seakan mendiskreditkan sektor perbankan syariah, yang digemborkan tahan banting, tetapi melemah karena faktor internal. Di akusisinya pionir bank syariah ini, diduga karena beratnya persaingan dengan perbankan konvensional. Bayangkan saja, dari awal kemunculan bank syariah hingga saat ini, marketplace perbankan syariah tidak pernah lebih dari 5%. Artinya, bank syariah belum sukses merayu masyarakat potensial yang mayoritas muslim untuk bertransaksi di bank syariah. Bahkan dalam sebuah media pernah menuliskan artikel dengan headline, “Bank Muamalat bangkrut, sistem ekonomi syariah gagal”. Lini yang lainpun juga demikian, belum memiliki cukup taji untuk mampu bersaing secara head to head.

 Adalah pukulan telak jika memang terjadi demikian. Jika ditelusuri lebih lanjut, memang kemudian ditemukan fakta yang menarik. Dalam rilis OJK terkait indek literasi dan inklusi keuangan Indonesia tahun 2016, skor nasional diperoleh skor 29,7% untuk literasi dan 67,8% untuk inklusi. Bandingkan dengan indeks literasi dan inklusi keuangan syariah secara nasional yang baru menyentuh level 11,1% untuk literasi dan 8,1% untuk inklusi. Itupun juga kontribusi terbesar disumbangkan oleh sektor perbankan (literasi 9,3% dan inklusi 6,3%). Artinya sektor pegadaian, asuransi, pasar modal, pembiayaan jauh lebih kecil nilainya. Gamblangnya, jika anda melakukan survey, mayoritas responden akan mengatakan tidak tahu dan tidak memiliki akun syariah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa potensi yang besar tetapi tidak diimbangi dengan melek informasi, hasilnya tidak akan optimal. Terlebih di era sistem informasi digital yang tidak hanya harus sadar literasi, tapi juga harus peka teknologi.

Sekali lagi, sebagai penggiat ekonomi Islam tentunya “kegagalan ekonomi Islam” itu tidak hanya terletak pada sistemnya saja, melainkan salah satunya berada pada faktor human resources yang menjadi subjek. Lantas menjadi prematur ketika mengatakan bahwa sistem ekonomi Islam berada diujung tanduk. Autokritiknya adalah memang perlu adanya koreksi, perbaikan, pembenahan yang terjadi karena pada dasarnya manusia belum bisa memahami bahasa Tuhan melalui sistem ekonomi Islam itu sendiri. Perlu adanya tenaga ekstra untuk mengedukasi, menyadarkan, meningkatkan literasi dan inklusi tentang pentingnya melakukan financial planning. Agen ekonomi Islam harus mampu menggeser atribut konvesional yang sudah terlalu merekat kuat dalam mindset masyarakat.

Ekonomi Islam sejatinya mampu menjadi solusi atas jawaban persoalan kekinian, tentunya dengan dukungan dari segala pihak. Ekonomi Islam saat ini berada pada masa pendewasaan, sehingga munculnya beberapa persoalan adalah bukti dinamisasi tentang penyesuaian terhadap nilai-nilai dalam tataran praktis. Memang tidak mudah membumikan ekonomi Islam, tetapi bukan sesuatu yang mustahil jika ekonomi Islam itu sendiri akan menjelma menjadi sistem yang bernilai dan terbukti secara sains memberikan public welfare. Wallahu a’am.