Noktah Merah Pendidikan

Oleh : Abdul Ghofur, S.Pd.I.
(Staf Akademik pada FITK IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

ilustrasi: psmk.kemdikbud.go.id

Beberapa bulan terakhir ini pemberitaan media diwarnai dengan beragam kasus yang mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Di antaranya tindakan kekerasan berujung maut yang menimpa Achmad Budi Cahyanto, guru honorer mata pelajaran kesenian di SMAN 1 Torjun, Sampang, Jawa Timur (01/02). Kemudian penganiayaan oleh wali murid yang dialami Astri Tampi, Kepala SMPN 4 Lolak, Sulawesi Utara (13/02).

Lalu baru-baru ini Nuzul Kurniawati, guru SMP Darrusalam, Pontianak Timur, menjadi  korban penganiayaan yang dilakukan muridnya sendiri (07/03). Serta beragam kejadian lain yang intinya menunjukkan kemerosotan yang terjadi di dunia pendidikan. Lalu pertanyaannya apa gerangan yang menjadikan pendidikan Indonesia akhir-akhir ini terlihat buram? Siapa yang layak dipersalahkan?

 

Pendidikan “Belum Bertaring”

Derasnya arus globalisasi telah menerjang dan mempengaruhi setiap sendi kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Era global dengan internet sebagai garda terdepannya menjanjikan segala kemudahan. Di antaranya distribusi informasi dan komunikasi yang berjalan cepat. Melalui media komputer atau gawai segala keinginan bisa terpenuhi secara online, dari sekadar ingin tahu kabar berita terbaru, e-book, kebutuhan transportasi, makanan, sampai jasa pijat (massages), semua tersaji dalam genggaman.

Namun di sisi lain, efek globalisasi diibaratkan seperti pisau bermata dua, positif dan negatifnya memiliki konsekuensi yang seimbang. Selain dampak positif di atas, kompetisi, integrasi, dan kerjasama adalah contoh dampak positif lainnya, sedangkan dampak negatifnya antara lain lahirnya generasi instan, dekadensi moral, konsumerisme, bahkan permisifisme (Jamal Ma’mur Asmani, 2012). Dampak negatif lainnya adalah maraknya tindakan kekerasan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, seks bebas, dan kriminalitas (Barnawi & M. Arifin, 2013).

Pendidikan Indonesia dewasa ini belum mampu menyentuh dan membentengi peserta didik terhadap berbagai fenomena kemajuan teknologi. Guru-guru yang kebanyakan sudah tua dan gagap teknologi, meskipun  tidak semua, memperparah kondisi ini. Belum lagi sistem pembelajaran yang monoton masih pada transfer of knowledge semata menjadikan peserta didik hanya pintar saja, namun nir-karakter. Sehingga optimalisasi aspek psikomotorik dan afektif menjadi penting untuk ditekankan kembali sebagai bentuk transfer of values. Pada akhirnya diidealkan terbentuk peserta didik yang sinkron antara pengetahuan, ucapan, dan tindakannya.

Keberhasilan pendidikan hanya diukur melalui angka-angka hasil ujian pada nilai rapot, padahal angka tersebut sama sekali tidak merepresentasikan tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Intinya tidak hanya mewujudkan peserta didik yang pintar saja, tetapi lebih dari itu menjadikannya berakhlak dan berkarakter.

 

Membumikan Kembali Pendidikan Karakter

Lalu muncul pertanyaan siapakah yang sebenarnya layak dipersalahkan? Tentu ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan begitu saja. Terdapat rentetan panjang yang harus ditelusuri dalam setiap kasus yang terjadi. Namun, hemat penulis menjadi hal yang mubadzir untuk saling salah menyalahkan, yang terpenting adalah refleksi bersama agar kasus serupa tidak terulang. Refleksi dari peserta didik maupun guru sebagai pendidik. Dalam ranah pendidikan, yang terpenting adalah bagaimana seorang peserta didik dan guru untuk mampu menempatkan diri sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Mengamati betapa ganasnya dampak globalisasi, maka diperlukan sebuah formula baru dalam meminimalisir berbagai tindakan kekerasan yang menjamur di sekolah, baik yang dilakukan oleh peserta didik, guru, maupun orang tua/wali. Diperlukan sebuah rekonstruksi agar pendidikan benar-benar mampu mencetak peserta didik yang berilmu dan berkarakter. Maka dalam hal ini diskursus tentang pendidikan karakter perlu untuk direkonseptualisasikan kembali. Melalui konsep pendidikan karakter ini peserta didik diarahkan untuk tidak hanya belajar tentang nilai-nilai, namun benar-benar meyakini dalam hati dan mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Seorang guru juga dituntut untuk mampu menjadi modelling dan sosok yang menjadi rujukan dan panutan siswa dalam berperilaku. Sehingga pendidikan karakter benar-benar membumi dan tidak hanya konsep-konsep ideal yang melangit dan miskin implementasi.

Thomas Lickona (1991) jauh-jauh hari menegaskan bahwa pendidikan karakter sangat urgen dikarenakan beberapa sebab di antaranya, pertama, merupakan kebutuhan yang mendesak dan nyata, hal ini mengingat perkembangan globalisasi di atas telah menyasar semua kalangan, termasuk dunia anak sebagai lahan empuk yang lebih mudah terjangkit aspek negatifnya. Kedua, bahwa nilai merupakan cara bekerjanya suatu peradaban, negara yang adil dan makmur tercipta melalui kader muda bangsa yang berilmu dan berkarakter. Ketiga, pentingnya sekolah sebagai lembaga moral bagai anak yang mengajarkan dan mempraktikkan tentang nilai-nilai, dikarenakan intensitas pendidikan moral yang sangat sedikit dari orang tua (keluarga). Orang tua sering kali telah lelah dan capek dengan rutinitas pekerjaan harian, sehingga absen dalam membentuk kepribadian dan karakter anak.

Implementasi pendidikan karakter perlu selalu dievaluasi, diperbaiki, dan disempurnakan. Hal ini penting mengingat perkembangan remaja dewasa ini yang kian tak terkendalikan, gerusan teknologi menjadikan remaja gamang dalam menentukan identitas dan jati dirinya. Melalui konsep pendidikan karakter yang membumi diikhtiarkan mampu terbentuk generasi yang diharapkan bangsa sesuai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Semua lini hendaknya satu barisan satu tujuan, dari siswa, orang tua, guru, pengawas, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat untuk bersama-sama menjadi patriot dan promotor, tidak sekedar mengajarkan nilai-nilai, tetapi saling memberikan contoh dan keteladanan dalam mewujudkan generasi yang berilmu dan berkarakter.

Pendidikan karakter perlu terus dikampanyekan sebagai totalitas pendidikan yang bermutu dan bermartabat, demi terciptanya generasi bangsa Indonesia yang kuat, mantap, berilmu dan, berkarakter. Sehingga efek negatif globalisasi dapat diminimalisir melalui implementasi pendidikan karakter yang benar-benar membumi. Semoga.