ULASAN MENAG RI DALAM SEMINAR NASIONAL SAAT PERESMIAN GEDUNG SBSN IAIN SURAKARTA

Oleh: Dr. H. Mudofir, M.Pd

Rektor IAIN Surakarta

 

Ulasan Ceramah Menteri Agama dalam Seminar Nasional dan Peresmian Gedung SBSN IAIN Surakarta, Kamis 29 Maret 2018.

 

Sebagai keynote speaker dalam Seminar Nasional dengan tema “Peran PTKIN dalam Menangkal Berita Hoax, Fake News, dan Ujaran Kebencian Untuk Mewujudkan Persatuan Bangsa, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menyampaikan poin-poin penting untuk menjadi perhatian bersama.

Pertama. Umat Islam Indonesia sebagai umat terbesar di Indonesia bahkan di dunia punya mandat untuk menjadi teladan indah dalam menciptakan harmoni antar umat dan bangsa. Para ulama dan elit intelektual bertanggungjawab untuk menyajikan ajaran-ajaran Islam lebih cair, moderat, dan disajikan dengan menggunakan idiom-idiom modern. Menurut Menteri Agama, ada dua kategori Islam yang harus disikapi berbeda dan bersifat kategoris: Islam esoteris dan Islam eksoteris. Yang disebut pertama bersifat esensial, menekankan dimensi isi, prinsip-prinsip universal, dan ini menjadi titik temu bagi semua agama. Di aspek ini, semestinya umat beragama tak perlu saling menihilkan. Sedangkan Islam eksoteris bersifat praktis dan metodologis. Ia menyajikan bentuk dengan penuh keragaman. Ia menyatakan suatu tindakan yang bersifat kondisional. Benturan-benturan antar umat terjadi, menurut Menteri, karena ketiadaan pemisahan dua Islam kategoris ini–di samping ada faktor-faktor lain, misalnya, menekan bentuk tapi mengabaikan substansinya.

Kedua. Kementerian Agama telah berkontribusi besar terhadap bangsa dan negara melalui penyelenggaraan tiga jalur pendidikan: ribuan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam. Para alumni tiga jalur pendidikan tersebut telah mengalami mobilitas vertikal. Mereka telah duduk sebagai pemimpin partai, intelektual, tokoh-tokoh masyarakat, pengusaha, dan pemimpin bangsa. Peran mereka, bahkan, dalam sejarah Indonesia cukup berarti dan tercatat sebagai pahlawan nasional. Mobilitas vertikal ini menjadi mungkin, menurut Menteri, karena adanya tiga jalur pendidikan Islam itu. Karena itu, peningkatan kualitas pendidikan di Kementerian Agama harus diperjuangkan sehabis-habisnya dan terus-menerus.

Ketiga. Soal berita hoax, Menteri Agama menekankan, semestinya tidak punya preseden dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan agar umatnya selalu cermat dan tabayyun dalam menerima berita. Mendahulukan husnudhan ketimbang suudhan. Dan ini bahkan diajarkan dalam ilmu mustholah hadis tentang penelusuran suatu “berita” secara ketat. Ada garis panjang sanad untuk sampai pada penemua isi berita yang benar-benar valid. Karena itu, Menteri Agama, menghimbau sebelum mengirim berita ada tiga pertanyaan yang harus diajukan. Apakah berita ini punya makna? Apakah pengirim berita sudah otoritatif atau punya otoritas? Apakah berita ini dari sisi strategis tidak memecah harmoni antar-bangsa? Disarankan agar kita punya kearifan dalam bermedsos. Penting untuk dicatat bahwa terkesan tidak ada bedanya penggunaan media sosial antara SMA dan profesor: tergesa-gesa, ingin yang pertama memposting, emosional, sektarian, dan egois.

Keempat. PTKIN harus menjadi garda depan dalam mempromosikan gerakan anti hoax dan ujaran kebencian. Sebagai masyarakat elit-strategis, kampus harus memainkan agen keteladanan dalam kerukunan dan persatuan bangsa badi masyarakat lainnya.

Kelima. Dalam upaya pemanfaatan gedung-gedung yang dibiayai APBN dan SBSN hendaknya dilakukan secara bertanggungjawab. Harus dimanfaatkan seluas-luasnya dan sehabis-habisnya untuk peningkatan layanan pendidikan. Gedung-gedung bukanlah tumpukan batu bata-batu bata. Ia punya makna dan pesan berupa tujuan agung untuk menyiapkan generasi masa depan bangsa yang unggul. Ini harus disyukuri karena tren terus meningkat bahwa gedung-gedung pendidikan dan fasilitas-fasilitasnya cukup menegaskan kesungguhan upaya meraih keunggulan yang produktif bagi peradaban masa depan. Statemen Menteri Agama soal gedung punya pesan tersirat: seringakali sebuah kehancuran peradaban ditandai oleh hal-hal kecil. Seperti gedung-gedung yang reot, cara bicara yang menekankan remeh-temeh, isi khutbah yang muter-muter, rasa disiplin yang rapuh, dan pandangan dunia tang tidak visioner. Diksi gedung bukanlah sekadar tumpukan batu bata dari Menteri Agama, menurut tafsir saya, adalah pesan agar ia tidak muspro tanpa menghadilkan more something new bagi peradaban. (Mudhofir Abdullah, Surakarta, 30 Maret 2018).