Langkah Terjal Asuransi Syariah

Oleh: Fuad Hasyim
(Dosen/ Civitas akademika IAIN Surakarta)

#banggaiainsurakarta

Data Berbicara

Menurut rilis hasil survey OJK terkait indeks inklusi dan literasi keuangan, menempatkan posisi inklusi keuangan nasional berada pada level 67,8% sedangkan literasi keuangan berada pada level 29,7%. Menariknya hanya sektor perbankan yang menjadi penyumbang terbesar indeks inklusi dan literasi, dengan indeks inklusi jauh melebihi indeks literasinya. Sementara indeks literasi asuransi konvensional menempati posisi keempat setelah pasar modal dan penggadaian pada level 11,58%. Sedangkan posisi indeks inklusi asuransi konvensional berada pada peringkat kedua dengan nilai 12,21%. Mirisnya dari serangkaian informasi tersebut, asuransi syariah baru mendapat angka 2,51% untuk indeks literasi dan 1,92% untuk indeks inklusi.

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa masyarakat Indonesia, pengelolaan keuangan masih terkonsentrasi pada sektor perbankan. Pun juga otoritas keuangan “masih” menggenjot sektor perbankan karena dinilai lebih menjajikan. Sementara sektor keuangan non bank ngos-ngosan untuk mendapat market share, terlebih pada industri keuangan non bank kategori syariah. Sejalan dengan asuransi yang belum begitu diminati karena keterbatasan pengetahuan, terbukti dari indeks literasi yang masih rendah. Asuransi syariah juga mulai kehilangan momen untuk mendapatkan simpati masyarakat. Keberadaannyapun  terkadang dianak-tirikan, bagaikan nun mati di antara idgham billaghunnah, terlihat, tapi dianggap tak ada.

Pemodelan Theory Of Reasoned Action Approach

Untuk melihat fenomena mengapa asuransi syariah kurang begitu diminati, dikembangkan beberapa pemodelan riset, di antaranya menggunakan pemodelan Theory of Reasoned Action Approach (TRA). TRA dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen pada tahun1967, yang merupakan turunan dari teori sikap (theory of attitude). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior). Kehendak intention) merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak (intention)  orang tersebut.

 Pengembangan konstruk pemodelan TRA oleh Fishbein dan Ajzen (1967) dipengaruhi oleh kehendak (intention), sedangkan kehendak (intention) dipengaruhi oleh sikap (attitude) dan norma subyektif (subjective norms). Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.

Elaborasi Pemodelan TRA terhadap fenomena Asuransi Syariah

Berdasarkan pemodelan TRA, diketahui kehendak (intention) seseorang dalam berasuransi syariah setidaknya dipengaruhi oleh dua hal, yakni sikap (attitude) dan norma subyektif (subjective norms). Pada sikap yang disederhanakan menjadi pengalaman empiris, ditemukan fakta bahwa kecenderungan masyarakat Indonesia berpenerimaan apatis (apathethic acceptance) terhadap asuransi syariah. Faktor utamanya karena masyarakat tidak terinduksi pengetahuan terkait asuransi, baik konvensional terlebih syariah. Artinya individu tidak tertarik menggunakan karena merasa tidak ada benefit yang diperoleh dalam asuransi. Akumulasi pengalaman (experience) secara terus menerus inilah yang kemudian menyebabkan sikap skeptisme bahkan pesisimisme individu.

Pengaruh norma subyektif (subjective norms) juga memiliki andil dalam membangun kehendak (intention). Sejalan dengan sikap (attitude), norma subyektif (subjective norms) merupakan pengalaman (experience) orang lain yang meng-influence terhadap diri sendiri (individu). Keputusan individu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sebagian diantaranya dipengaruhi atas referensi yang dilakukan orang lain. Kaitannya dalam asuransi syariah, norma subjektif (subjective norms) memiliki relasi positif terhadap sikap (attitude), jika orang lain saja tidak mau melakukan asuransi, bagaimana bisa orang lain memberikan referensi kepada individu untuk melakukan asuransi. Artinya orang lain tidak memiliki kekuatan pengaruh untuk mendorong individu untuk melakukan asuransi. Akhirnya kimia kehendak (intention) tidak terbentuk, yang ujungnya tidak ada niatan individu untuk melakukan sesuatu (berasuransi).

Breakdown Case

Setelah penyesuaian atas TRA, kemudian digali kembali faktor rendahnya minat masyarakat berasuransi, khususnya asuransi syariah. Setidaknya dalam beberapa riset memiliki kesamaan dengan konstruk TRA yang ditawarkan Fishbein dan Ajzen (1967). Faktor pembentuk skeptisme masyarakat diantaranya; pertama alasan memiliki banyak pengeluaran, sehingga tidak ada anggaran untuk membayar premi asuransi, atau kekhawatiran tidak bisa membayar angsuran premi. Kedua ketakutan terhadap pengajuan klaim asuransi. Karena keterbatasan pengetahuan, maka seseorang menganggap asuransi memiliki prosedur yang susah, kompleksitas yang tinggi dan tidak servicable. Ketiga disebabkan karena tidak match atas produk asuransi yang dibutuhkan. Sederhananya, agen asuransi terkadang hanya menginginkan keuntungan dari pemasangan target yang ditentukan perusahaan, sehingga agen terkesan mencari keuntungan sesaat dengan memilihkan program atau produk asuransi yang tidak sesuai dengan kebutuhan nasabah. Keempat preferensi masyarakat yang lebih senang berinvestasi pada sektor perbankan. Kelima faktor agama yang sebagian menganggap produk asuransi jiwa bertentangan dengan keyakinan. Keenam asuransi syariah masih kalah pamor dengan asuransi konvensional yang berpengalaman dan lebih settle.

Oleh karenanya, sebagai sarjana yang concern terhadap ekonomi islam, sudah seharusnya bahwa tangung jawab itu menjadi paradigma untuk melakukan perubahan fundamental terhadap masyarakat. Dibutuhkan kontribusi untuk menciptakan revolusi pemikiran masyarakat terkait manajemen perencanaan keuangan, menjadikan masyarakat berkesadaran tentang pentingnya pengelolaan sumber kekayaan sehingga bermanfaat, maslahat bagi umat. Secara umum, kewajiban itu sudah terencana dalam rencana strategis otoritas keuangan yang berwenang, meskipun baru tersentuh dalam dimensi makro. Akan tetapi disisi lain, golongan bawah yang menjadi objek perubahan perlu injeksi pemahaman lebih, baik melalui edukasi maupun persuasi.