Masyarakat Millenial dan Masyarakat Industri

Oleh: Ahmad Zia Khakim, S.H
(Alumni IAIN Surakarta dan Mahasiswa Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah)
-Kandidat Mahasiswa Pascasarjana Istanbul University-

#BanggaIAINSurakarta

Bila kita seksama membaca arah pembangunan Indonesia dan perkembangan global akhir-akhir ini, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia akan segera meninggalkan kehidupan agraris tradisional dan memasuki kehidupan Millenial dan industrial. Lihat watak para generasi produktif hari ini sangat dominan dalam dunia teknologi. Hampir memilih lapar dari pada tidak punya kuota internet. Ketergantuangan pada dunia digital sudah masuk bagian dari Lifestyle manusia kekiniaan (zaman now). Kehidupan masyarakat agraris yang akrab dengan alam akan segera bertukar dengan kehidupan masyarakat yang menguasai (kalaupun tidak mengeksploitasi) alam. Bisa dengan teknologi ciptaannya (atau diimpornya dari bangsa) lain. Dengan beralihnya karakter masyarakat, maka dengan sendirinya akan menggerakkan perubahan pada sistem nilai masyaraka. Perubahan itu dapat kita rasakan seperti sekarang ini.

Belajar dari pengalaman masyarakat yang telah lebih dahulu mengenyam kehidupan dalam era industri maka bisa dicermati selama ini ada beberapa ciri masyarakat millennial dan industri. Masyarakat millenial dan industri bercirikan masyarakat yang menyandarkan segala aspek kehidupannya pada teknologi. Teknologi sebagai hasil budaya manusia supaya manusia dapat memanipulasi potensi yang ada pada alam. Dengan kemampuan akalnya manusia akan berupaya dengan berbagai cara akan memanfaatkan potensi yang ada pada alam untuk kepentingan kehidupannya. Dengan hasil memanipulasi itu manusia dapat hidup sesuai dengan apa yang di inginkannya, meskipun kemudian ketergantungannya pada dunia teknologi akan menjadi semakin besar dari waktu ke waktu. Ketergantungan manusia pada hasil teknologi itu menyebabkan manusia semakin terseret pada pendewaan akal (rasionalisme) dan kepada alam kebendaan (materialisme). Semua persolan kehidupan diupayakan untuk dipecahkan dan dijelaskan dengan pertimbangan akal dan kebendaan. Akibatnya segala sesuatu yang bertentangan pada akal dianggap tidak perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari kehidupan. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat manusia masuk kepada paham sekularisme. Ajaran agama hanya ditekankan pada kepentingan ritual dan seremonial, tanpa lagi berupaya memahami makna dibalik seremonial itu. Akhirnya dampak yang sangat buruk terjadi, agama kehilangan arah fungsinya sebagai petunjuk dan pengarah kehidupan umat manusia itu sendiri.

Agama cenderung digunakan hanya untuk kepentingan mengisi kebutuhan ritual seperti segala yang berhubungan  dengan lingkaran kehidupan (life cycle) kelahiran, perkawinan, dan kematian dan ritual-ritual yang baru yang diciptakan untuk menunjukkan eksistensi keagamaanya. Sesudah kebutuhan itu selesai, lalu mereka melupakan isi dan makna dari upacara itu.

Seiring dengan kecenderungan itu masyarakat menjadi semakin individualistis. Kecenderungan itu semakin menampakkan wajahnya karena sifat alamiah dari teknologi yakni menjadi bagian terpenting dari masyarakat industrial itu sendiri yang notaben-nya memang menggiring pada karakter manusia yang lebih individualistis. Teknologi menuntut kemampuan dan ketrampilan individual, yang tidak mungkin diwakilkan kepada mereka yang tidak memahaminya. Hanya mereka yang betul-betul ahli di bidangnya yang dapat mengendalikan teknologi itu. Hal inilah yang menyebabkan manusia di luar sadarnya terseret ke arah kehidupan yang dominan bersifat individualistis.

Impact dari itu berkelanjutan dengan adanya disorganisasi pada ikatan-ikatan tradisional. Orang lalu cenderung untuk melepaskan ketergantungannya kepada kelompok-kelompok primordial seperti ikatan kesukuan dan kedaerahan yang dulu awal-awal abad 19-20 terjadi. Namun penulis mencermati justru akhir-akhir ini di berbagai kampus di Indonesia marak komunitas kesukuan kedaerahan. Kesadaran akan makhluk sosial, ternyata kembali tumbuh, ini tentu dorongan akan fitrah manusia untuk hidup dalam kelompok. Namun faktanyapun masyarakat millennial dan industrial pengelompokannya berallih dari tradisional kepada pengelompokan berdasarkan kepentingan (interest group). Tetapi karena manusia mempunyai banyak kepentingan lalu manusia terseret pula bentuk masyarakat millennial industrial yang berdimensi majemuk (multy-dimentional society).

Pengelompokan masyarakat berdasarkan jenis kelaminpun menjadi lenyap. Sebagian besar kaum perempuan dari masyarakat agraris lebih banyak berkiprah pada sektor domestik, pada masyarakat industrial mereka beralih pada sektor non-domestik. Selama perempuan sebagai individual dapat bersaing dengan individu lainnya dalam kehidupan masyarakat industrial, ia akan menempati posisi yang diinginkannya, walaupun posisi yang ditempatinya itu dipandang tabu pada kehidupan masyarakat agraris. Spesialisasinya semakin menonjol pada masyarakat millenial industrial.

Persaingan ketat antar individual pada masyarakat industrial diramalkan akan semakin keras dengan munculnya gagasan akan keterbukaan ekonomi seperti yang telah disepakati oleh negara kita. Karena itu maka sudah dapat dibayangkan sekaligus dipastikan bahwa hanya mereka yang berkualitas yang akan mendapatkan keuntungan dari persaingan itu.