KEBIJAKAN PENANGANAN PENGANGGURAN : PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Oleh: Dr. H. Muhammad Munadi, M.Pd
(Wakil Rektor II, Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan)

 

Pendidikan selalu menyisakan persoalan tentang daya serap lulusan.  Hal ini disebabkan bahwa antara supply (pendidikan) dan demand (dunia kerja) memang selalu tidak seimbang. Supply lebih dominan daripada demand, akibatnya pengangguran terjadi. Di Indonesia tingkat pengangguran sesuai jenjang Pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 1. Prosentase Pengangguran dan Kelompok Pendidikan

No

Kelompok Pendidikan

Prosentase Pengangguran

1. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 9,27%
2. Sekolah Menengah Atas (SMA) 7,03%
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 5,36%
4. Diploma III (D3) 6,35%
5. Universitas 4,98%

(Detik,  22 Mei 2017)

Penyerapan tenaga kerja baik sektor formal dan informal di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 2. Prosentase Penyerapan Tenaga Kerja dan Kelompok Pendidikan

No

Kelompok Pendidikan Jumlah Angkatan Kerja

Prosentase Penyerapan

1. Sekolah Dasar (SD) 52,59 juta orang 42,23 persen
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 22,62 juta orang 18,16 persen
3. Sekolah Menengah Atas (SMA) 20,52 juta orang 16,48 persen.
4. Universitas 11,59 juta orang 9,31 persen.

(Detik,  22 Mei 2017)

Proporsi pengangguran yang berasal dari jenjang Pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut:

(Tirto, 14 September 2017)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa pengangguran yang relative tinggi terjadi pada jenjang SD, SMP dan SMA. Justru yang sangat mencengangkan terjadi pengangguran yang terjadi pada lulusan SMK sebesar 19,7 % hanya selisih 2,5% dari pengangguran lulusan SMA. Beberapa solusi penanganannya berbeda dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lainnya. Saat orde baru ada kebijakan link and match  (keterkaitan dan keterpaduan) antara Pendidikan dan industri. Kebijakan ini mengacu model Pendidikan di Jerman yang iklim “kelahiran” pendidikannya berbeda dengan Indonesia. Jerman berbudaya dunia industri/dunia usaha “melahirkan” Lembaga Pendidikan. Sedangkan Indonesia, pendidikan dan industri “kelahirannya” tidak ada keterkaitannya sama sekali. Akhirnya kebijakan ini tidak berlanjut. Pada saat pemerintahan Presiden SBY ada kebijakan SMK bisa Indonesia bisa. Pemerintahan Jokowi lebih berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Kebijakannya tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Dauau Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. Implementasi paling krusial yang kemungkinan belum bisa berjalan secara penuh adalah program teaching factory pada SMK karena belum adanya dukungan yang kuat dari dunia industri.

TITIK LEMAH LULUSAN SMK

Penyebab rendahnya serapan lulusan SMK menurut Subandi (Detik Finance, 2017) salah satunya disebabkan oleh lebih rendahnya keahlian khusus atau soft skill lulusan SMK dibandingkan lulusan SMA. Kemampuan soft skill dapat dilihat dari cara individu untuk memahami kondisi psikologisnya sendiri, mengatur ucapan, pikiran, dan sikap sesuai dengan lingkungan sekitar. Disamping itu pengangguran yang terjadi pada lulusan SMK menurut M. Sairi Hasbullah (Liputan 6, 2017) juga disebabkan keahilan mereka belum tentu sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Ini berbeda dengan lulusan Pendidikan SMA yang lebih fleksibel. Perubahan mendasar diperlukan bagi SMK agar lulusannya bisa diserap di lapangan kerja, terutama menurut Bakhrun (Tirto, 2018) sinkronisasi antara kurikulum dengan kebutuhan dunia usaha,  adaptasi kurikulum yang lebih modern pada SMK,  kerja sama yang erat antara SMK dengan dunia kerja dalam  mengembangkan kompetensi calon lulusan  serta penguatan soft skill.

Setiap negara menamai istilah soft skill secara berbeda. Inggris menyebut – core skills, key skills, common skills; Amerika Serikat  − basic skills, necessary skills, workplace know how; Francis − transferable skills; Jerman – key qualifications; serta Kanada – employability skills; key competencies, employability skills, generic skills (Popa, 2016:241).

Snell et al. yang dikutip Mahasneh (2016:2) memberi pengertian soft skill sebagai  skills, abilities, and traits that pertain to personality, attitude and behavior rather than formal or technical knowledge. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa softskill sebagai keterampilan, kemampuan, dan sifat-sifat yang berhubungan dengan kepribadian, sikap dan perilaku daripada pengetahuan formal atau teknis. Ini berarti bahwa soft skill tidak hanya berhubungan dengan keterampilan dan kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan, tetapi juga yang terkait dengan komunitas seperti: etika, citizenship dan keanekaragaman.   Soft skill tersebut meliputi, ketrampilan: Communication, Organization, Teamwork, Punctuality (ketepatan waktu),  Critical Thinking, Social Skills, Creativity, Interpersonal Communication, Adaptability, and  Friendliness (keramahan) (Ibarra, 2017). Siswa dan calon lulusan SMK disamping menguasai ketrampilan (hardskill) sesuai program studi yang diambil juga harus diberi penguatan soft skill di dalam maupun di luar pembelajaran. Soft skill  yang  kuat    terbentuk sebagai dampak tidak langsung dan mengiringi proses pembelajaran  yang mendidik  (nurturant effects). Hard skills adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh subyek  didik  sebagai  dampak  langsung  pembelajaran  yang  mendidik (instructional effects) (Raka Joni, 2007).

SMA/MA  DOUBLE TRACK

Disamping memberikan solusi pada lulusan SMK, yang tidak kalah penting juga memberikan solusi pengurangan jumlah pengangguran pada lulusan SMA/MA. Untuk mendongkrak lulusan SMA bisa lebih terserap pada tahun 2018, Propinsi Jawa Timur mulai merealisasikan program SMA double track. Program ini menurut Gubernur Soekarwo (Antara Jatim, 23 April 2018 ) Pendidikan yang menyisipkan pendidikan vokasional atau keahlian di tingkat SMA. Keahlian yang diberikan, seperti bidang teknologi dan rekayasa, teknologi informasi dan komunikasi, kesehatan, agrobisnis dan agro teknologi, perikanan dan kelautan, bisnis dan manajemen, pariwisata, seni rupa dan kriya, serta seni pertunjukan. Program ini menurut Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur Saiful Rachman (Metro, 14 Nopember 2017) mengatakan, “SMA double track itu diporsikan pada ekstrakurikuler atau di luar jam pelajaran utama. Keterampilan yang diajarkan berupa pilihan. Program ini minimal dilaksanakan selama satu tahun.”

Program ini dapat dianggap unik juga bisa dan tidak unik juga bisa. Hal ini dikarenakan Kementerian Agama yang juga membidangi pendidikan sudah lama menerapkan program yang hampir mirip. Bahkan sudah berusia kurang lebih 20 (dua puluh tahun) yaitu sejak 1998 (Tempo, Sabtu, 17 Desember 2016).  Tercatat hampir kurang lebih 234 Madrasah Aliyah yang memiliki program keterampilan yang sebagian besarnya ketrampilan bidang otomotif dan tata busana (menjahit), sisanya di bidang komputer, teknologi informasi, teknik mesin, elektro, tata boga, kerajinan, pertanian, peternakan, dan sebagainya. Program ketrampilan ini dikembangkan saat ini mendasarkan pada Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor 1023 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Ketrampilan di Madrasah Aliyah. Bahkan program keterampilan harus dimasukkan di semua jenjang madrasah dari MI, MTs, dan MA seperti tercantum dalam Pasal 24, 25 dan 26 Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013. Peraturan ini diturunkan dalam Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam Nomor 1023 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Ketrampilan di Madrasah Aliyah.  Madrasah Aliyah Program Keterampilan adalah madrasah aliyah umum (bukan kejuruan) dengan muatan kurikulum yang sama dengan madrasah aliyah pada umumnya ditambah dengan program ekstrakurikuler dalam berbagai bidang keterampilan yang terstruktur. Program keterampilan ini dilaksanakan untuk memudahkan bagi tamatan madrasah aliyah mendapatkan pekerjaan atau melakukan usaha mandiri sesuai dengan keahlian dan keterampilan yang dipelajari di Madrasah Aliyah Program Keterampilan. Berdasarkan paparan di atas, kebijakan Propinsi Jawa Timur semestinya bisa belajar dari pengalaman Kementerian Agama dalam mengelola dan menangani program Pendidikan double track atau bahkan bisa benchmarking.

KETRAMPILAN YANG DIPERLUKAN DI MASA DATANG

Persoalannya ketika ada program ketrampilan maupun kejuruan sudah diajarkan secara langsung dan tidak langsung diberikan kepada siswa SMA/MA/maupun SMK tetap akan ada masalah pengangguran. Hal ini dikarenakan hardskill yang diberikan di lembaga pendidikan  kurang sesuai dengan perkembangan jaman yang ada dan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Maka diperlukan penguatan lain seperti rekomendasi dari  Hendrick (2017), Vivien Luu (2018), ataupun Zambas (2018) yang menyatakan  bahwa peserta didik memerlukan 15 ketrampilan penting menghadapi lapangan kerja di masa depan, yaitu: Complex Problem-Solving, Critical Thinking, Creativity, People Management, Coordinating with Others, Emotional Intelligence, Judgement and Decision-Making, Service Orientation, Negotiation, Cognitive Flexibility, Adaptability, Initiative and Entrepreneurship, Social Intelligence, New Media Literacy, dan Virtual Collaboration. Ketrampilan tersebut kalau diklasifikasikan terbagi sebagai berikut:

Tabel 3. Ketrampilan Yang Diperlukan di Masa Datang

Kognitif

Afektif

Kognitif – Afektif

Complex Problem-Solving,

Critical Thinking,

Judgement and Decision-Making, dan

Cognitive Flexibility

People Management,

Coordinating with Others,

Emotional Intelligence,

Service Orientation,

Negotiation,

Social Intelligence dan

Adaptability

Initiative and Entrepreneurship,

New Media Literacy,

Virtual Collaboration dan

Creativity

Tabel tersebut menunjukkan bahwa ketrampilan yang ada perlu dikembangkan tidak hanya di lembaga pendidikan saja tetapi harus ada kolaborasi diantara pelaku pendidikan atau istilah lain berada di tri pusat Pendidikan, yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat (dalam arti sempit dan luas). Masyarakat dalam arti sempit terdiri dari orang dengan orang sedangkan masyarakat secara luas termasuk media  cetak, elektronik dan dunia yang terhubung dengan internet. Tanpa ada sinergi antara tiga pusat tersebut generasi mendatang akan menghadapi keterkejutan mental dalam bekerja yang sangat luar biasa. Bila sinergi ini berjalan secara ideal maka seperti perkiraan  Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Achmad Jazidie (Salim, 2015) bahwa pada tahun 2030 jumlah tenaga kerja terampil sekitar 113 juta orang bisa terpenuhi.

PERGURUAN TINGGI, BAGAIMANA?

Saat ini kehidupan manusia berada pada posisi the technology-driven world. Semua kehidupan dilingkupi teknologi serba otomatis berbasis on-line dan digital. Implikasinya akan terjadi dalam istilah Mckinsey (2017:1) disebut job growth (jobs gained),  jobs lost dan jobs changed. Jobs lost kurang lebih 52,6 juta jenis. Sedangkan pekerjaan baru yang muncul hanya akan ada 3,7 juta jenis.

Pekerjaan yang paling rentan terhadap otomatisasi diantaranya pekerjaan di kantor yang mengoperasikan mesin, pekerjaan menyiapkan makanan cepat saji serta pekerjaan mengumpulkan dan memproses data. Pekerjaan yang justru akan menanjak pertumbuhannya berkaitan dengan pekerjaan di bidang layanan kemanusiaan seperti pendidikan, kesehatan dan perawatan untuk semua usia dari bayi sampai lanjut usia (lansia). Disamping itu kebutuhan konsultan hukum, ilmuwan dan peneliti serta konsultan teknologi informasi semakin banyak. Bidang-bidang ini menurut Mckinsey (2017:30) hanya bisa diotomatisasikan maksimal antara 22% – 44%.

Realitas seperti di atas perlu diantisipasi oleh perguruan tinggi.  Menteri Riset dan Dikti (Ristekdikti, 2018) menyatakan lulusan Perguruan Tinggi dituntut tidak hanya mampu bekerja di perusahaan dan instansi lainnya, namun juga memiliki jiwa kewirausahaan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dengan memanfaatkan peluang yang  muncul dari Revolusi Industri 4.0. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa lulusan perguruan tinggi bisa menjadi anak buah di perusahaan atau instansi, bisa menciptakan lapangan kerja sendiri dengan memanfaatkan dunia internet serta menjadi anak buah sekaligus mampu menciptakan lapangan kerja dengan memanfaatkan dunia internet.

Pendidikan tinggi semestinya menyesuaikan tuntutan perubahan yang ada baik dari sisi penyediaan program studi dan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja minimal pada tahun 2030. Sisi tersebut harus ditunjang dengan penyediaan belajar secara mandiri pada dosen dan mahasiswanya melalui belanja jasa internet yang besar. Anggaran  yang besar pada bidang tersebut tidak akan bermakna apa-apa ketika penguasaan teknologi  informasi pada seluruh stakeholder perguruan tinggi belum tinggi. Kesemuanya harus berjalan seiring dan sejalan sehingga mahasiswa siap menghadapi tuntutan pekerjaan yang berubah.   Wallahu a’lam.

Referensi

Antara Jatim. (2018). Pakde Karwo Kembangkan Pendidikan ‘Double Track’ untuk SMA di Jatim. Antara Jatim  Senin, 23 April 2018. https://jatim.antaranews.com/berita/253883/pakde-karwo-kembangkan-pendidikan-double-track-untuk-sma-di-jatim

Detik. Finance. (2017). Banyak Lulusan SMK Jadi Pengangguran, Ini Penyebabnya. Detik Senin, 22 Mei 2017. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3508298/banyak-lulusan-smk-jadi-pengangguran-ini-penyebabnya

Hendrick, Dave. (2017). The 10 Critical Job Skills Of The Future, According To Mckinsey’s Global Chief Learning Officer. 21 September 2017. https://news.darden.virginia.edu/2017/09/21/10-critical-job-skills-of-the-future/

Ibarra, Daniela. (2017). What Are Soft Skills? The Complete Guide To Soft Skills Training. Https://Www.Bizlibrary.Com/Article/What-Are-Soft-Skills/

Liputan 6. (2017).  Lulusan SMK Jadi Pengangguran Paling Banyak di RI. 06 November 2017.  https://www.liputan6.com/bisnis/read/3153245/lulusan-smk-jadi-pengangguran-paling-banyak-di-ri

Mahasneh, Jaser Khalaf. (2016). A Theoretical Framework for Implementing Soft Skills in Construction Education Utilizing Design for Six Sigma. Dissertation of the Virginia Polytechnic Institute and State University.   https://vtechworks.lib.vt.edu/bitstream/handle/10919/81455/Mahasneh_JK_D_2016.pdf?sequence=2&isAllowed=y

Mckinsey. (2017). Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions In A Time Of Automation. https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured%20insights/future%20of%20organizations/what%20the%20future%20of%20work%20will%20mean%20for%20jobs%20skills%20and%20wages/mgi%20jobs%20lost-jobs%20gained_report_december%202017.ashx

Metro (2017). SMA Double Track Ancam Keberadaan SMK. Metro Selasa, 14 November 2017. http://www.beritametro.news/jawa-timur/sma-double-track-ancam-keberadaan-smk

Popa, Fabiola. (2016). Soft Skills: Definition(S) And Approach(Es). In Globalization and National Identity. Studies on the Strategies of Intercultural Dialogue Communication, Public Relations And Journalism Section. http://www.upm.ro/gidni3/GIDNI-03/Cpj/Cpj%2003%2020.pdf

Raka Joni, T. (2007). Wawasan Makro Pendidikan DIP 721.Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Risekdikti. (2018). Tantangan Pekerjaan di Era Revolusi Industri 4.0 Semakin Meningkat, Lulusan Perguruan Tinggi Harus Dibekali Kompetensi yang Mumpuni
19 Mei 2018. https://ristekdikti.go.id/tantangan-pekerjaan-di-era-revolusi-industri-4-0-semakin-meningkat-lulusan-perguruan-tinggi-harus-dibekali-kompetensi-yang-mumpuni/#5cdDwB4UwOXWPMUy.99

Salim, Agus. (2015). Rekonstruksi peran pendidikan SMK tahun  2030, Sebuah renungan setelah lebih 15 tahun reformasi sistem pendidikan. 9 Februari 2015. http://www.vedcmalang.com/pppptkboemlg/index.php/menuutama/listrik-electro/1326-agus-2-2015

Tirto (2017). Lulusan Mana yang Banyak Mencetak Pengangguran? Tirto, 14 September 2017. https://tirto.id/lulusan-mana-yang-banyak-mencetak-pengangguran-cwxY

Tirto. (2018). Mengapa Pengangguran Terbanyak Justru Lulusan SMK? 9 Mei 2018. https://tirto.id/mengapa-pengangguran-terbanyak-justru-lulusan-smk-cJ6Y

Vivin Luu. (2018). The 10 Skills You’ll Need By 2020 (And Beyond). https://www.careerfaqs.com.au/news/news-and-views/the-10-skills-you-ll-need-by-2020-and-beyond

Zambas,  Joanna. (2018). 15 Vital Skills to Make You Employable in the Future. Januari 12, 2018. https://www.careeraddict.com/future-work-skills