Pemburu Katebelece Miskin: Framework Paradox

Oleh: Fuad Hasyim
(Civitas Akademika IAIN Surakarta)

 

#BanggaIAINSurakarta

 

 

Pendidikan merupakan investasi masa depan yang realistis. Pendidikan adalah pembangun peradaban, dimana kemajuan suatu bangsa tidak terlepas dari bagaimana sistem pendidikan itu berjalan. Misi yang diemban oleh SISDIKNAS saat ini adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat. Artinya Negara ingin hadir dalam akar rumput masyarakatnya, hadir sebagai peran penyelenggara pemerataan pendidikan sebagai bentuk pengamalan tujuan pancasila pada sila kelima, yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keadilan pendidikan tersebut kemudian diejawantahkan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh anak Indonesia, dari pelosok hingga kota untuk memperoleh pendidikan yang layak. Salah satu cara yang digunakan adalah rekayasa pendidikan melalui pemberian hak khusus warga miskin untuk dapat melanjutkan studi, baik ditingkat menengah maupun perguruan tinggi. Sistem kuota 20% siswa miskin pada pendidikan menengah dan bidikmisi bagi perguruan tinggi. Bidikmisi dalam beberapa tahun terakhir, menjadi moncer ditengah masyarakat masyarakat. Bagaimana tidak, kepopulerannya ditengarai oleh fasilitas yang tidak tanggung-tanggung dalam profram bidikmisi seperti back-up penuh atas biaya pendidikan, uang saku dan fasilitas plus-plus lainnya. Fasilitas plus-plus dalam bidikmisi tersebut meliputi pembekalan atau pelatihan softskill mahasiswa, yang tentunya berbeda-beda ditiap kampus. Ada pelatihan bahasa, entrepreneurship, character building, penulisan ilmiah dan berbagai kegiatan lain yang mungkin tidak diberikan oleh instrumen beasiswa lain. Hal ini menjadikan mahasiswa bidikmisi diposisikan sebagai mahasiswa yang istimewa.

Program-program pemerintah ini awalnya menjadi angin segar bagi masyarakat kelas bawah. Namun kenyataanya memunculkan polemik baru yang dirundung pro-kontra. Pro karena kebijakan ini dinilai merupakan langkah awal policy yang bersifat pro rakyat, rakyat kecil khususnya.  Kebijakan pro rakyat ini bermula dari program Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang dicanangkan sejak 2005 untuk pendidikan menengah. Berdasarkan laporan worldbank, program BOS ini setidaknya mengurangi beban keuangan pendidikan keluarga miskin sebesar 30% dari 20% keluarga termiskin. BOS juga menjadi magnet menarik dengan meningkatkan minat sekolah bagi masyarakat miskin. Peningkatan partisipasi masyarakat miskin ini terlihat dari jumlah angka anaksekolah dari keluarga miskin yang meningkat mencapai angka 26% sejak BOS digulirkan. Selain itu BOS juga mampu merevitalisasi sekolah-sekolah didaerah. Bidikmisi untuk perguruan tinggi juga setidaknya mampu menyerap 400 ribu lebih mahasiswa miskin sejak tahun 2010 yang tersebar diseluruh Indonesia. Artinya dengan kuota APBN 20% untuk pendidikan, pemerintah berupaya untuk benar-benar serius menggarap sektor yang seksi ini. Tak lain demi kemajuan bangsa dan negara, terlepas dari beberapa kasus miring seputar pengelolaan program kebijakan pemerintah ini.

Dalam perjalanannya, kebijakan pemerintah ini bak pedang bermata dua. Disisi lain pembangunan karakter lewat revolusi mental, justru menciptakan ruang-ruang framework paradox. Sederhananya dapat dilihat dari fenomena katebelece miskin alias SKTM yang menjadi trending topic dalam beberapa pekan ini. Betapa tidak, dari laman detik.com menyebutkan bahwa 221.785 total kursi siswa baru yang tersedia di tahun 2018 ini, hampir 150.000 di antaranya melakukan pendaftaran dengan melampirkan SKTM.  Artinya 67% siswa yang mendaftar berstatus miskin. Termasuk halnya bidikmisi, masyarakat menganggap bidikmisi adalah program kuliah gratis semata, padahal bidikmisi merupakan akronim dari Beasiswa Pendidikan Miskin Berprestasi. Terdapat frasa miskin disitu, sehingga harusnya jelas peruntukkannya untuk siapa. Para orang tua kemudian berbondong-bondong mengajukkan diri untuk pemenuhan kuota 20% miskin sekolah atau bidikmisi agar bisa menikmati fasilitas yang diberikan dalam program tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melampirkan SKTM.

Ironis sekali, masyarakat kemudian memilih memiskinkan diri demi mendapatkan fasilitas tersebut. Memang bukan hal baru fenomena pura-pura miskin ini, sejak adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi kenaikan BBM, Raskin hingga Jamkesmas menjadi bahan rebutan untuk mendapat predikat miskin. Terlebih tidak sedikit yang kemudian bangga, atas predikat yang disandangnya agar dapat memperoleh reward pemerintah berupa bantuan. Kemudian predikat miskin ini menjadi bahan politisasi di desa, menjadi komoditas segar untuk mendapatkan hadirnya negara disitu. Alamat, beberapa laporan menyebutkan adanya ketidak-tepatan sasaran atas program yang pemerintah upayakan tersebut. Para pejabat desa pun seakan tersihir untuk harus melayani masyarakat, salah satunya menerbitkan SKTM bagi warganya, meskipun secara ekonomi harusnya masuk kategori menengah keatas. Hal ini terjadi karena para pejabat desa merasa akan terkena risiko reputasi jika tidak mengabulkan permintaan warganya. Itulah framework paradox, yakni cara pandang masyarakat Indonesia yang ingin terlihat rendah/miskin demi belas kasihan negara (lebih tepatnya bermental miskin).

SKTM kini mengalami peyorasi bahasa dengan dianekdotisasi menjadi Surat Keterangan Tidak tahu Malu. Begitu parahkah mentalitas bangsa ini? Mengapa hal tersebut terjadi? Dalam keilmuan sejarah disebut kolonialisasi akal dan pikiran, dimana penjajahan atas dimensi logika menjerumuskan orang untuk bermental penakut dan pecundang. Teori perilaku juga memberikan pengertian bahwa kebiasaan (behavior) dipengaruhi oleh intensi, dimana intensi dibangun atas pengalaman sendiri (sikap) dan pengalaman orang lain (norms). Masyarakat kita cenderung suka mengikuti keumuman orang, karena menurut mereka hal yang jamak dilakukan itulah yang benar. Hal ini layaknya teori filosofi kebenaran yang mengatakan bahwa kebenaran merupakan sebuah kesepakatan orang-orang didalamnya. Dalam Islam kemudian dikenal dengan al-adatu muhakkamah, meskipun tidak tepat jika mentalitas dihubungkan dengan kaidah ini. Bagi masyarakat, miskin adalah sebuah tiket untuk memperoleh sesuatu  lebih. Persepsi keumumman terkait bantuan siswa miskin dan bidikmisi sebagai sekolah dan kuliah gratis inilah yang kemudian meracuni mentalitas masyarakat. Iming-iming gratis menjadi motor penyemangat untuk menghalalkan segala cara demi memperoleh jenis bantuan ini. Lihat saja masyarakat kita, dengar hal yang bersifat gratis maka stimulus-stimulus sinyal akan mengirimkan impuls ke otak dan sinyal direspon dengan mengeluarkan hormone dopamine untuk memberikan reflek rangsangan berupa keinginan untuk mendapatkan sesuatu (yang gratis).

Lebih lanjut menjadi sesuatu yang lucu, apabila ada sedikit pengamatan dan evaluasi atas fenomena miskin disini. Sebut saja peraih bidikmisi untuk perguruan tinggi, ketika dilakukan survey visitasi, beberapa ada yang lolos karena masuk kategori miskin dan ada yang ditolak karena memang tidak memenuhi persyaratan. Dan nampaknya model visitasi ini akan diadopsi pada sekolah menengah, terhadap siswa yang lolos verifikasi pemberkasan miskin (beberapa SKTM sudah ditolak dalam tahap administrasi). Pada mahasiswa yang telah mengantongi bidikmisi, kemudian secara berkala akan diberikan bantuan biaya pendidikan, pembekalan softskill seperti yang telah diterangkan sebelumnya, terdapat kejadian-kejadian yang unik. Uniknya ketika mahasiswa tingkat menengah atau akhir akan memiliki perubahan gaya hidup (lifestyle). Hal tersebut dapat dilihat secara gamblang melalui smartphone yang digunakan (secara logika, mahasiswa miskin tidak mungkin menggunakan gadget canggih), pakaian yang dikenakan bahkan atribut-atribut lain yang mengesankan mereka bukan anak miskin. Entah terjadi perubahan ekonomi dalam keluarga, faktor individunya atau lingkungannya. Yang jelas, ketika terdapat perubahan ekonomi yang bersifat membaik, kebanyakan mahasiswa tidak melaporkan karena masih berharap kuliah gratis, sementara bisa jadi ada mahasiswa lain yang lebih membutuhkan.

Artinya menyongsong kemajuan bangsa harus dimulai dari kesadaran bersama. Kesadaran untuk berusaha bermental baja, tidak mudah menyerah dengan keadaan dan memiliki optimisme yang tinggi. Bukan malah bermental tawakal dalam arti negatif, yakni berserah diri berlebihan, sehingga pasrah dengan nasib dan memunculkan mentalitas peminta belas kasihan. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dan Rasulullah yang diutus ke dunia dalam rangka untuk menyempurnakan akhlak manusia, salah satunya adalah menjadi pribadi yang jujur (al-amin). Bukankah memanipulasi kondisi diri, adalah bakat untuk melakukan tindak korupsi? Wallahu’alam.