Kita, Agama dan Peradaban

Oleh : Reyvita Ningrum
(Mahasiswa Progam Studi Bimbingan Konseling Islam, Fakultas Ushuluddin dan Dakwah)
#BanggaIAINSurakarta

“Anda tidak dapat mengatakan bahwa agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama, pada dasarnya, adalah relatif – yaitu terbatas, parsial, tidak lengkap – sebagai jalan dalam melihat segala sesuatu. Menganggap bahwa sebuah agama secara intrinsik lebih baik dari yang lain, sekarang, dirasakan oleh ahli agama sebagai sebuah sikap yang agak salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit.” (Paul F. Knitter)

 

Keberagaman agama saat ini sedang hangat sekali diperbincangkan. Sejak dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia dan lahirnya kata toleransi di Indonesia. Kita tentu telah paham bahwa kita harus menerima perbedaan. Enam agama dengan cara ibadah dan kultur yang berbeda tidak dapat membuat kita menjadi orang yang egois dalam bernegara majemuk.

Jangankan dengan enam agama yang berbeda, sesama organisasi dalam satu agama saja, masih ada sekte-sekte ajaran yang berbeda. Padahal manusia dengan pola pikir sekteraian tersebut akan memicu sifat yang saling menyalahkan ajaran agama yang lain yang berbeda dengan dirinya. Jika hal tersebut semakin dipupuk dan subur maka akan melahirkan sikap saling bendi antar masnusia padahal seemacam itu hanya soal pergaulan. Hal-hal seperti itu hanya soal kurangnya pengetahuan. Loe (Baca: kamu) kurang gaul, Loe kurang jauh cari pengalamannya, jika masih saling menyalahkan, saling merendahkan cuma gara-gara berbeda dengan orang lain.

Di Indonesia ada ratusan juta manusia dengan pola pikir yang berbeda dengan kita. Padahal kita hidup di negara yang secara hukum mengakui dan melindungi “perbedaan”. Jika kita masih saling menjatuhkan antar golongan, antar partai, antar agama, antar keyakinan maka seharusnya kita mengasihani diri kita sendiri, karena tenyata kita telah diperalat oleh doktrin-doktrin yang menyesatkan. Doktrin-doktrin yang merasa paling benar dan yang berbeda dengan dirinya adalah salah.

Fanatik buta terhadap ormas agama juga menjadi pemicu retaknya rasa cinta persatuan. Kita tahu, Indonesia memiliki banyak sekali ormas keagamaan dan ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) besar kita semua sebagai masyarakat. Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda namun tetap satu jua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu setiap agama adalah berbeda, beda kitab suci, beda nabinya dan beda pula ritual ibadahnya. Namun perlu diingat bahwa tidak ada yang punya kuasa untuk menilai yang ini benar atau yang itu salah kecuali Tuhan.

Pada akhirnya setiap agama akan memainkan perannya sendiri-sendiri. Menciptakan cara untuk saling menggagahi, dan akhirnya adu otot dan penyalahan ajaran akan terealisasi. Semua agama adalah agama yang baik. Mau kamu muslim atau non muslim sekalipun, tidak ada satu ajaran agama yang membuatmu menjadi jahat dan bertindak di luar adat istiadat. Yang ada, hanya para manusia yang mengaku paling benar dan tidak ingin terlihat kriminal.

Dalam ajaran Islam mengibaratkan, Jika negara ini adalah sebuah tubuh maka agama-agama atau ormas-ormas yang ada di dalamnya adalah anggota tubuhnya. Jika satu bagian anggota tubuh sakit maka mau tidak mau yang lain akan merasakannya juga. Begitulah kiranya, jika satu ormas agama bermasalah maka akan berdampak pada ormas agama yang lain tentunya.

Namun juga kita harus pahami bahwa sedikit sekali manusia yang sanggup menerima perbedaan. Saat agama yang lain menyanyi dengan lantang, sedang bagi agama yang lain pula tepuk tangan saja haram, ini bukan hanya masalah beda atau tidak beda, ini tentang bagaiman kita pandai dalam mengolah rasa, berlapang dada atas perbedaan mulai dari tingkat memilih hiburan hingga budaya dan kultural. Kalau kita tidak pandai dalam manjaring informasi, maka pecahlah keberagaman dan hancurlan embrio peradaban bagi generasi selanjutnya. Kalau yang setiap ormas antar agama hanya memikirkan bagaimana caranya menguasai dunia, maka hilanglah rasa toleransi antar sesama.

Dunia ini tidaklah sempit. Sempit hanya bagi ekstrimis dan orang-orang yang berfikir bahwa dunia ini sangat kecil dan begitu sesak menghimpit. Namun bagi orang-orang yang gagah berani menjejaki tiap lekuk dan sudut bumilah yang nantinya akan merekam peradaban luar biasa. Teori keagamaan akan terus berdesing, dengan miliaran perbedaan, pemahaman dan pemikiran. Warna-warni ajaran akan senantiasa berubah pola mengikuti kemajuan zaman. Kalau para pemuka agama hanya mau kekolotan saja yang dipertahankan, maka habislah sudah ditelan zaman. Jangan jadi ras manusia yang kuno, yang kaku dan anti toleran. Karena kita dan agama yang kita punya adalah sumber dari awal kemajuan peradaban.

“Kita adalah generasi pandai. Jangan mau diadu dan mari mulai peradaban dengan keberagaman” (Reyvita Ningrum)