Kala Ideologi (bisa)Mengekang Sejarah

Oleh: Latif Kusairi
(Dosen Sejarah Peradapan Islam IAIN Surakarta dan Peneliti pada Pusat Studi Demokrasi dan HAM (PUSDEHAM) Surabaya)

#banggaIAINSurakarta

Di dalam sejarah, merawat kemapanan adalah hal yang sering dilakukan. Sejarah kadang digunakan oleh kalangan tertentu untuk mencari kebenarannya dengan melampirkan fakta-fakta. Maka hal ini sejalan dengan ungkapan Mosca, bahwa sejarah merupakan pekuburan para elit. Mosca mewanti-wanti bahwa sejarah kadang digunakan dalam legitimasi elit untuk mendapatkan kekuasaannya. Hal tersebut juga sejalan dengan karakteristik sejarah, bahwa massa aksi adalah sekumpulan yang menentukan jalannya sejarah, dengan menampilkan heroisme seseorang. Namun heroisme inilah yang kadang dipakai elit untuk melegitimasi dirinya dalam upaya melanggengkan kepentingannya. Dari sinilah, makna sejarah kadang jatuh derajatnya, karena hanya digunakan kepentingan elitis saja.

Di Indonesia, munculnya reformasi juga turut andil dalam upaya pelurusan sejarah. Sartono Kartodirjo menganggap bahwa upaya untuk mencari sejarah harus dilakukan. Jiwa sejarah harus  dengan gaya total histori, dimana sejarah mencakup semua hal dalam menulisnya. Pasca reformasi tidak disangkal, bahwa dunia sejarah menghendaki untuk merubah nasib sejarah yang pada orde baru hanya sebagai tunggangan penguasa, dan pada reformasi harus dirubah menulis sejarah yang totalitas,dengan teori kritik yang ketat. Maka salah satunya memunculkan subaltern dalam sejarah.

Lalu akhir-akhir ini kita kembali dibuat terkaget, dimana sejarah sering disadur untuk pembenaran ideologi. Lihat saja bagaimana kita dibuat bingung dengan kata”awas”, dan “bahaya”. Sejarah selalu dikaitkan dengan pembenaran ideologi. Kemunculan bahaya laten komunis selalu mengambil memori kolektif masyarakat pada peristiwa 65, dengan memaparkan promis-promis yang menganggap salah dan kemudian menstempel masyarakat dengan kata bahaya Komunis. Dari sinilah sejarah akan ter-ideologisasi dimana kebenaran sejarah akan bersifat tertutup dan baku. Sehingga sejarah tidak menengok fakta-fakta lain dengan data baru. Maka, sejarah terideologi ini akan menjadi kedangkalan pikiran.

Padahal jiwa sejarah adalah mempunyai kebenaran yang bukan hanya milik penguasa. Ideologi seringkali menjadikan sejarah sebagai umpan untuk memasukkan unsur-unsur yang dipaksakan. Yang terjadi kemudian ada unsur yang maftum bila ada unsur ideologi memaksakan sejarah untuk dilihat. Lebih-lebih sejarah tidak ditulis dengan benar.

Dari unsur Idelogi akan membuat Sejarah menjadi trans historis yang ampuh sebagai sarana sebuah wacana untuk kepentingan elit(Budiawan:2014). Hakekatnya Ideologi sejarah selalu berjalan sendiri. Ideologi bisa saja memaksakan kehendaknya, akan tetapi perjalanan sejarah adalah kemurnian pikiran dan data atas fakta-fakta. Lalu mengapa sejarah yang coraknya egaliter tersebut malah tersandera pada sejarah elitis?, yang terjadi karena pikiran kita salah memaknai bahwa sejarah hanya untuk penguasa, tetapi kemenangan rakyat yang bernama massa aksi.

Mengukuhkan sejarah dengan kolektifitas.

Sekali lagi kita disuguhi ketidakpatutan yang sangat miris. Bahwa bangkitnya unsur yang mengatasmanakan komunisme sekali lagi bukan hal yang perlu dijadikan bahaya. Adanya politisi Komunisme bukan lagi menjadi kaca pemersatu untuk melawan, melainkan akan menjadi ancaman suatu kebersamaan.  Karena ancaman yang didengaungkan dengan kata “awas” dan “ bahaya” ini bukan lagi menjadi kebenaran sejarah kongkret tetapi sejarah telah terpelintir oleh narasi penguasa dengan memasukkan ideologinya( Budiawan:2014). Ditambah lagi, sejarah bukanlah unsur yang disediakan untuk penguasa, tetapi bagaimana sejarah dipakai untuk menulisakan narasi masyarakatnya. Unsur lain adalah iklim sekarang bukan lagi untuk menuliskan sejarah yang hanya dipakai penguasa, sejarah kita bukan lagi ditulis dihadapan moncong senapan rezim, tetapi iklim kebebasan (reformasi) bisa saja kit menulis sejarah dengan menhadirkan rakyat sebagai objeknya dengan kekuatan sosial sebagai penopang. Sejarah ditulis dengan apa yang sungguh-sunguh terjadi ( Leopold von Ranke)

Kita masih di ingatkan juga bahwa sejarah dahulu tertulis dala ranah yang menyeramkan, dibuat berseragam meski seakan hal itu tampak benar. Menjadikan sejarah hanya terletak dalam dua sisi benar dan salah, pahlawan dan penghianat, pemenang dan yang kalah.  Padahal dari hal tersebut sejarah hanya tampak sebagai kontruksi yang abu-abu saja yang pada dasarnya menyimpan banyak kebohongan. Lalu apakah kita mewarisi dan mau diwarisi sejarah sedemikian. Tentunya tidak.

Dimanakah sejarah kemudian harus tertulis?. Yaitu dihadapan kebenaran atas nama massa yang terangkum dalam memori ingatan masyarakat. Dalam unsur ini sejarah  ditulis dengan historical inside dan memiiki intuitive understanding untuk menangkap makna dalam peristiwa dalam masyarakat(Gardiner:1959). Pemaknaan sejarah tidak lagi dikekang dalam bentuk memoar hanya untuk menyenangkan satu dua orang saja, akan tetapi sejarah yang bisa memotret nilai secara umum dan tanpa adanya nilai yang ingin ditonjolkan.

Dalam konteks ini, kita harus membebaskan diri dalam kemelut sejarah yang tersusupi ideologi. Menulis sejarah yang bisa melihat yang lain dari sisi kecil bisa diperbolehkan. Narasi sejarah bukan hanya sebagai narasi pemenang, tapi juga melihat makna yang terkalahkan.  Dan jangan sampai bahwa sejarah yang digunakan untuk modal klaim atas ideologi dalam mengatur politik negara. Bila hal itu terjadi, maka aura ideologi akan menutup nilai sejarah yang ditulis dari tangan demokratisasi.