Catatan Academic Traveling ke India

Oleh: Dr. H. Mudofir, S.Ag., M.Pd (Mudhofir Abdullah)
(Rektor IAIN Surakarta/ Penulis Buku Arkeologi Fikih Sosial)

Chapter 1

Mengapa mengunjungi India itu penting? Menurut saya, sedikitnya ada empat alasan utama. Pertama, India adalah bangsa besar dengan kebudayaan dan sejarah yang kaya dan panjang. Kedua, masa lalu India di abad pertengahan adalah kebesaran Islam dengan warisan kebudayaan, seni, ilmu pengetahuan, dan raja-raja Muslim–yang sangat historis dan klasik adalah Taj Mahal. Ini kebalikan dari Indonesia yang mayoritas Muslim tapi warisan masa lalunya Hindu-Budha dengan Borobudur, Prambanan, dan lain-lain sebagai latar belakang. Ketiga, India adalah bangsa yang punya pengaruh besar dalam warisan sejarah Hindu-Budha sejak abad ke-2 (?) dalam bentuk kerajaan-kerajaan besar: Mulawarman di Kutai (400 M), Purnawarman Jawa Barat (400 M), Sriwijaya (abad ke-7) di Palembang/Jambi, Majapahit (abad ke-11) Jawa Timur, dll. Keempat, India modern merupakan bangsa berpenduduk terbesar di dunia dengan 1,3 (?) miliar. Alasan penting lainnya dapat ditambahkan.

Dengan mengantongi izin dari Sekretariat Negara–melalui Menteri Agama–saya berkesempatan mengunjungi India untuk menjalin kerjasama dengan beberapa Universitas dan Jamiah Islam di sini.

Yang mengusik pertanyaan saya dalam kunjungan ini adalah mengapa kejayaan Hindu-Budha dari India yang begitu besar tidak berlanjut? Mengapa peradabannya ‘punah’ setelah gempuran demi gempuran dari peradaban lainnya (Islam, Kristen, Barat, dan modernitas) datang berinteraksi? Tidak adakah elemen-elemen dasar dari ajaran Hindu-Budha yang dapat melindungi dirinya sendiri untuk terus berjaya di dunia modern? Pertanyaan-pertanyaan di atas menarik karena jejak sejarah India luar biasa besar bagi dunia dan juga Nusantara.

Bangsa India merupakan ras Arya yang menurunkan cucu-cucu sangat pintar yaitu bangsa Yunani, Jerman, Iran, dll. Nenek moyang purba India konon berdiaspora ke Eropa melalui lembah-lembah. Lembah-lembah tersebut dulu berupa daratan dan belum jadi lautan. Di tanah-tanah baru inilah mereka menetap dan membangun peradaban. Di Mesopotamia (kini Iran dan Irak), ras arya keturunan India menemukan huruf paku–sebuah periode penting umat manusia memasuki babak sejarah dan mengakhiri era prasejarah. Sementara di Yunani, cucu-cucu India membangun mazhab filsafat dengan refleksi-refleksi tinggi kehidupan. Plato, Socrates, Aristoteles, Thales, Aristoteles, dll tercatat sebagai filosof-filosof utama yang membuka tabir rahasia-rahasia alam. Kelak, nilai-nilai Yunani ini mewariskan DNA peradaban Barat modern dengan lompatan-lompatan yang penuh decak kagum.

Selanjutnya, jejak sejarah India bagi Nusantara sangat banyak, mulai dari agama, seni, bangunan, nilai-nilai budaya, hingga pendidikan. Di era Sriwijaya banyak orang Indonesia (baca: Nusantara) belajar di Universitas Nalanda India. India menjadi pusat destinasi pendidikan tinggi yang penting bagi Nusantara. Selama ribuan tahun, pengaruh Hindu-Budha asal India menjadi pegangan dan pandangan hidup Nusantara sebelum akhirnya digerogoti oleh pengaruh Islam, agama Kristen, dan budaya Barat.

Islam dan Kristen (dan juga Yahudi) lahir di Palestina dan Arab. Agama monoteisme ini dibawa oleh ras semit. Yang termasuk ras ini antara lain Arab, Suriah, Israel, Palestina, dll. Dalam sejarah ada persaingan antar ras: ras arya vs ras semit. Arab dan Palestina yang ras semit melahirkan para Nabi. Sementara Atena Yunani yang ras arya melahirkan para filosof. Persaingan historis ini sebagian masih berlangsung hingga hari ini–meskipun kini ada banyak faktor yang ikut berperan, misalnya, munculnya ras Asia yang menjadi faktor lain (New Delhi, 27 Des 2018)

 

Chapter 2

Menyatukan gambaran mozaik sejarah India purba dengan sejarah India modern adalah pekerjaan Tuhan yang Maha Tahu. Tapi manusia bisa melakukannya dengan, di antaranya, melalui imajinasi dengan panduan potongan-potongan arkeologis–meski bisa sangat arbitrer.

Dalam perjalanan menuju Deoband Darul Uloom wilayah Uttar Pradesh dari New Delhi, jalanan macet dan berdebu. Nampak kepadatan tiada tara. Tanah-tanah merekah kering dan pohon-pohon meranggas. Infrastruktur terlihat menua dan tidak terawat. Dengan suhu 10 derajat, nampak penduduk berbaju tebal dengan penutup kepala. Semua itu membawa ke pertanyaan: mengapa penduduk India mencapai lebih kurang 1,3 miliar dan terbesar di dunia? Apa yang membuat mereka mencapai jumlah fantastik ini dan dapat bertahan? Ini pertanyaan historis, arkeologis, sosiologis, dan teologis.

Ada kemungkinan-kemungkinan jawaban. Pertama, karena alamnya subur sehingga cukup tersedia pangan. Kedua, ada stabilitas politik masyarakat yang terjaga sehingga memberi ruang tumbuh bagi generasi untuk beranak pinak. Ketiga, pandangan dunia yang terbuka sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan. Keempat, ada ajaran agama yang mendorong beranak banyak. Kelima, bencana yang ada cukup moderat. Keenam, bangsa India merupakan bangsa Tua.

Tumbuh dan matinya peradaban bangsa dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. China dengan penduduk terbesar nomor 2 di dunia, sebagai perbandingan, dapat bertahan hidup karena terus-menerus memperbarui mekanisme pertahanan yang efektif. Ketika bencana sungai kuning dan bencana2 lainnya melanda, mereka bermigrasi keluar dan membangun keberhasilan di tempat yang baru. China disusul India akan terus memainkan geopolitik dan geostrategis yang penting di masa depan berkat pengalaman mereka dalam mengatasi tantangan-tantangan sejarahnya. Dalam ber-evolusi, pengalaman-pengalaman hidup mereka mewariskan DNA yang makin tangguh kepada anak-anak turunannya. Jika tidak pastilah mereka akan punah lebih awal atau jumlah penduduknya tidak sesubur sekarang.

Secara biologis, bangsa India, dengan demikian, telah mampu bertahan dan berkembang hingga hari ini. Namun evolusi agama dan kebudayaannya susut sejak datangnya teologi monoteisme yang sederhana tanpa kasta. Dan juga sejak ide-ide rasionalisme mengubah pandangan-pandangan kuno tentang Tuhan, alam, serta manusia dari filsafat Barat.

Harus dicatat bahwa evolusi terjadi bukan hanya secara biologis tetapi juga historis dan sosiologis. Karena itu, peradaban apapun termasuk India mengalami masa lahir, masa kanak-kanak, beranjak dewasa, hingga masa kematian. Seperti lapisan kulit bawang, bagian terluar akan mati disusul lapisan-lapisan kulit yang lebih muda. Lihatlah punahnya peradaban-peradaban kuno seperti Mesopotamia, Sumeria, Firaun, dan lain-lain dengan kelahiran peradaban baru.

Agama Hindu, misalnya–dan mungkin agama-agama lainnya–melahirkan cucu-cucu dalam tafsir dan penerapannya setelah mengalami evolusi panjang. Ketika ajaran Hindu berjumpa dan berdialog dengan Islam, lahirlah agama Sikh. Jadi, agama Sikh lahir dari hasil penyerbukan Hindu dan Islam. Ini mirip munculnya sekte Ibadi (?) sebagai hadil penyerbukan Syiah dan Kristen. Atau agama Jawa-nya Geerzt, abangan, sebagai hasil dari perkawinan antara norma-norma Jawa dengan Islam. Perkawinan silang antar-budaya atau osmosis dalam evolusi kehidupan tak pernah bisa dihindari. Justru evolusi inilah yang menciptakan bentuk-bentuk baru kehidupan baik dalam warna, rasa, dan keragaman. Hukum evolusi itu bersifat ‘menyempurnakan’ ke arah yang sesuai dengan lingkungan-lingkungan baru.

Jangankan manusia, rumput-rumput saja saling bersaing untuk bertahan hidup dan berkembang melalui evolusi. Rumput-rumput yang hidup dalam lubang kecil di tanah, misalnya, saling berebut makanan dan pasangan. Yang lemah mati dan yang kuat terus tumbuh. Lahirlah juga varietas-varietas baru hasil perkawinan silang dengan jenis rumput lain yang di dekatnya. Begitulah hukum besi evolusi yang oleh Darwin disebut ‘natural selection of the fittest’.

Nah, India dalam agama dan kebudayaan mengalami disrupsi sejak ratusan tahun yang lalu. Ada versi baru dan edisi baru dalam wujud humanisme yang oleh Yuval Noah Harari akan menggantikan jenis-jenis ‘agama kuno’. Edisi revisi adalah artikulasi dari hukum evolusi.

Ada pelajaran yang patut dipetik oleh kita semua. Jika kita tak melakukan revisi-revisi atau inovasi, maka akan tergerus oleh perubahan lalu punah menjadi fosil. (Agra, Taj Mahal, 29 Desember 2018)

 

Chapter 3

Mencermati masa kini Islam di India sangatlah memprihatinkan baik secara budaya, pendidikan, ekonomi, maupun sosial-politik. Dengan jumlah penduduk Muslim 173 miliar menurut sensus tahun 2011, umat Islam India merupakan terbesar kedua di dunia setelah Indonesia. Namun, keberadaan mereka dengan kebesaran sejarah dan warisannya hanya terkesan menjadi ‘cagar budaya’ di tengah hiruk-pikuk politik nasional India. Mereka seperti berada di dalam rumah kaca, selalu diawasi oleh pemerintah dan tak jarang dicurigai loyalitasnya. Ini semua mungkin dampak dari trauma sejarah berdirinya Pakistan yang terpisah dari India pada 14 Agustus 1947.

Persaingan politik, sosial, dan ekonomi terjadi antara Hindu, Islam, dan Sikh dengan level yang sangat dinamis dan peka. Kerusuhan-kerusuhan antar ketiganya berkali-kali terjadi dan ini menguras fokus dalam bidang-bidang lain, di samping terus memupuk kecurigaan masing-masing pihak. Dalam kondisi lingkungan semacam ini, Muslim India masa kini belum memainkan peran yang penting. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada masih ‘konservatif’ dan lebih fokus pada upaya konservasi ajaran-ajaran agama dasar dengan kurikulum yang tidak responsif terhadap perubahan-perubahan besar dunia–dengan beberapa perkecualian Alighar University, Jamia Millia Islamiyah, dll. Sementara yang lain seperti Deoband Darul Uloom, New Delhi Darul Uloom–lembaga yang saya kunjungi kurang responsif terhadap tuntutan-tuntutan jaman. Meminjam istilah Samuel Bowles (?), lembaga-lembaga tersebut mirip cagar budaya karena dikerjakan untuk usaha melindungi mazhab-mazhabnya sendiri.

Tapi sebenarnya, kondisi pendidikan Islam di India yang kurang responsif terhadap modernitas juga menjadi fenomena pendidikan Islam di mana-mana. Inilah yang disebut krisis pendidikan Islam. Kata ‘krisis’ menunjukkan arti gawat dan berada di ujung titik henti. Banyak cendekiawan Muslim telah banyak bicara krisis ini sejak peralihan abad 19 sebagaimana ditunjukkan dalam karya-karya Taha Husein, Syakib Arsalan, Allamah Muhammad Iqbal, dll. Dalam karya Iqbal tahun 1930 (?), the Reconstruction of Religious Thought in Islam, misalnya, sudah menggaungkan perlunya umat Islam menggerakkan kembali potensi ijtihad sebagai prinsip gerakan aktif peradaban.

Dalam konteks modern, ijtihad bukan lagi hanya dari teks-teks verbatim al-Quran dan Hadis tetapi juga dari hukum-hukum semesta Allah sebagaimana yang ada dalam fenomena-fenomena alam: fisika, kimia, kedokteran, sains, arsitektur, dll. Sebagian besar kita masih menganggap kitab suci itu hanya satu, yaitu Kitab Suci yang tertulis. Akibat pemahaman ini, lembaga-lembaga yang dibuat hanya melulu melayani konservatisme teks dan sepenuhnya bersifat deduktif. Kita berputar-putar di tempat: dari teks, oleh teks, untuk teks. Maka hasilnya adalah peradaban teks. Pendidikan yang ada menghasilkan para penjaga teks yang terkadang secara otoriter menghakimi yang berbeda. Itulah sebabnya, Allamah Iqbal dalam the Reconstruction menegaskan bahwa amal perbuatan itu lebih penting …

 

Chapter 4

Bagaimana membaca warisan dunia Islam Taj Mahal di India modern? Secara sepintas, bangunannya seperti masjid dengan dua menara dan kubah utamanya sangat megah. Materialnya dari marmer dan batu alam dari berbagai dunia.

UNESCO mengakuinya secara resmi sebagai warisan dunia tahun 1983 dan termasuk salah satu tujuh keajaiban yang pernah ada sepanjang sejarah homo sapiens. Dibangun oleh 20 ribu arsitek yang diketuai oleh arsitek Muslim Ahmad Lahauri pada 1632 di bawah pemerintahan Mughal Shah Jahan. Dibangun dengan arsitektur tingkat tinggi oleh berbagai ahli dunia selama 28 tahun dengan biaya 52.8 triliun rupees atau sekitar $ 827 juta U.S (kurs tahun 2015).

Yang menarik untuk disorot dari Taj Mahal adalah motivasi pembangunannya. Taj Mahal dibangun bukan untuk kepentingan agama atau negara, tapi dibangun sebagai kenangan atas kematian istri tercintanya, Mumtaj Mahal–yang dinikahi pada usia 16 tahun dan berasal dari Iran sesama ras Arya dengan mata birunya. Dengan biaya yang sangat besar dan menguras kas negara, kerajaan terakhir Mughal ini akhirnya mengalami kebangkrutan.

Era raja-raja memang semau gue dalam hal membuat persembahan atas dorongan cinta dalam bentuk bangunan. Taman Gantung di era Hammurabi Persia, Candi Sewu (?), dll adalah contoh-contoh bagaimana kekuatan cinta sering mendorong yang mustahil menjadi hal yang bisa diwujudkan. Cinta atau belas kasih memang punya kekuatan yang mirip iman, keyakinan, dan kepercayaan. Mereka membentuk struktur nilai yang sanggup menopang sebuah peradaban. Saya setuju dengan pernyataan bahwa tak ada peradaban besar yang dapat tumbuh tanpa peradaban itu ditopang oleh nilai-nilai tertentu.

Jika tak ada cinta, Taj Mahal tak pernah tercipta. Jika tak ada iman Borobudur tak mungkin terwujud, dan jika tak ada keyakinan sebuah peradaban tak akan bertumbuh. Cinta kasih, iman, dan keyakinan adalah energi hidup yang membuat yang lemah jadi kuat. Nampaknya, ketiga hal ini juga ada dalam ajaran agama-agama.

Pertanyaannya, dari manakah cinta kasih, iman, dan keyakinan itu muncul? Jawabannya dari Tuhan. Melalui hukum fisika-Nya, Tuhan menetapkan evolusi setiap makhluk ke arah kesempurnaan. Sel-sel otak manusia ber-evolusi lebih cepat dibanding binatang lainnya dan bim salabim otak manusia akhirnya punya kesadaran. Kesadaran inilah yang membuat manusia dapat menafsirkan, mengembangkan, dan menghidupkan tanda-randa. Para penemu huruf di Sumeria dan Mesir sangat berjasa salam merevolusi kesadaran melalui literasi. Sejak itulah Kitab-Kitab tertulis agama-agama lahir. Sebelumnya kitab suci ada dan disampaikan dari lisan ke lisan.

Nah, nilai-nilai atau siatem nilai itu hanya ada dalam sebuah kesadaran. Hanya makhluk yang punya kesadaran yang dapat menciptakan peradaban. Dan homo sapiens manusia adalah satu-satunya makhluk yang punya kesadaran. Menarik sekali bahwa menurut Syed Hossein Nasr penciptaan pertama adalah kesadaran, bukan ‘firman’ atau kata menurut Kristiani. Kesadaranlah yang memampukan umat manusia menghitung secara matematika, mencatat dan mempelajari hukum-hukum alam, menafsirkan, dan menuliskannya untuk anak-anak cucunya. Maka dari masa ke masa pengetahuan manusia terus bertambah dan terciptalah peradaban. Ini berbeda dengan semut yang menggali tanah dengan cara yang sama sejak 15 juta tahun yang lalu di Afrika.

Betapa pun canggihnya komputer, misalnya, komputer tak bisa membuat puisi. Komputer juga tak bisa menangis secara sadar atas berita-berita buruk atau senang atas berita-berita baik.

Jadi, sebuah maha karya seperti Taj Mahal tidak berdiri sendiri tapi tercipta dari gugusan nilai yang menopangnya: yakni, cinta kasih. Karena itu, ia tak akan terulang dalam sejarah modern. Penciptaan karya-karya arsitektur besar seperti Taj Mahal, Qutb Minar, Borobudur, yang tidak memiliki keuntungan ekonomi tak akan terulang dalam sejarah modern yang sepenuhnya rasional dan komersial. Lihatlah hotel-hotel dan gedung-gedung perdagangan lebih mewah dari tempat-tempah ibadah. Sistem nilai kini telah berpindah dari yang bersifat transenden ke dimensi imanen. (Surakarta, 1 Januari 2019)

–selesai–