Bahasa yang (Tak) Dirindukan


Oleh: Dian Uswatun Hasanah, M.Pd.,
(Dosen di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia Fakultas Adab dan Bahasa IAIN Surakarta)


Pacul itu alat untuk mencangkul, tapi tidak sedikit kasus pembunuhan yang menggunakan cangkul. Kaca begitu indah untuk bercermin, namun tak sedikit yang terluka menggunakan kaca. Begitu pula dengan bahasa. Bahasa adalah pemersatu, namun tidak sedikit perpecahan juga disebabkan karena bahasa (Salamah Zahra).

*******

Bahasa digunakan makhluk sosial bernama “manusia” untuk berinteraksi. Selain berinteraksi, bahasa juga mampu menunjukkan eksistensi diri. Bahasa Indonesia, misalnya, digunakan masyarakat pemakainya sebagai wujud eksistensi sebagai warga negara Indonesia.

Semua orang sudah mafhum bahwa bahasa Indonesia adalah lingua franca yang kemudian dikukuhkan menjadi bahasa persatuan melalui momen sumpah pemuda. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di era ini? Terkait hal ini, Marsudi dalam artikelnya berjudul “Eksistensi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan” (Humaniora, 2008) mengungkapkan, dilihat dari segi kepentingan berbahasa, ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan bahasa dengan mengabaikan kebaikan dan kebenaran berbahasa. Misalnya, bahasa Indonesia dipakai oleh sebagian masyarakat untuk menyukseskan kepentingan kelompok tertentu sehingga bisa menimbulkan kerawanan persatuan bangsa. Andaikan sikap semacam ini terus berlanjut, bahasa Indonesia tidak lagi berfungsi sebagai alat pemersatu, tetapi alat pemecah-belah bangsa. Bukanlah fenomena baru jika gara-gara penggunaan bahasa yang kurang santun menjadikan lawan bicara marah atau tersinggung. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa sangat penting dimiliki dalam berkomunikasi untuk mencegah adanya pihak yang tersinggung tadi. 

Kesantunan berbahasa erat kaitannya dengan etika berbahasa. Di lingkup kampus, mahasiswa sebagai kaum intelektual dan bagian dari civitas academica, memiliki tanggung jawab membangun kontrol diri demi membangun karakter mahasiswa yang beretika. Dalam praktiknya, banyak mahasiswa yang abai terkait ini. Etika sudah mulai ditinggalkan, tata krama tak lagi diperhatikan. Cap sebagai “mahasiswa yang tidak beretika” kerap dilayangkan dosen kepada mahasiswa yang dianggap memenuhi syarat itu.

Sebagai contoh kasus, ada dosen yang ketika mengajar di kelas, mahasiswa yang datang terlambat tiba-tiba langsung masuk ke ruangan tanpa meminta izin terlebih dahulu. Begitu santainya ia masuk kelas kemudian duduk di salah satu kursi kosong. Dosen yang mengajar di kelas itu masih cukup bersabar menghadapi mahasiswa ini. Momen berikutnya adalah, ketika kemudian si dosen meminta mahasiswa untuk  mengumpulkan tugas yang sudah diberikan di minggu sebelumnya,  banyak mahasiswa yang berdalih jika belum menyusun tugas tersebut dengan berbagai alasan. Bahkan, ada yang terang-terangan mengatakan belum bisa mengerjakan tugas karena ada kesibukan lain. Menanggapi komentar-komentar tersebut, bagi dosen dengan tipe killer mungkin saja akan langsung menggebrak meja, untuk kemudian marah-marah di kelas demi menunjukkan kekesalannya. Namun, ada juga tipe dosen yang perasaannya cukup sensitif, yang setelahnya hanya mampu menanggapi situasi ini dengan wajah berurai air mata. Ya, menangisi mahasiswa yang entah mengapa sangat jauh berbeda dengan sosok mahasiswa yang menjadi bayangannya di masa lalu.

Kasus yang hampir serupa juga dialami dosen lain. Ceritanya, si dosen sedang mengajar di kelas, memberikan masukan terkait laporan tugas mahasiswa. Tidak semua mahasiswa setuju dengan pendapat dosen, menyebabkan beberapa mahasiswa menyampaikan keberatan atas masukan tersebut. Ketika si dosen menjelaskan dengan disertai alasan kenapa memberi masukan itu, mahasiswa yang tetap merasa tidak terima dengan santainya menjawab,”wes, rungokke wae, rungokke wae . . . .” Dosen yang kebetulan tidak suka memperpanjang masalah ini mungkin hanya mampu berucap di dalam hati, apa salah dan dosaku?

Kasus lain dialami seorang dosen ketika masa input nilai selepas Ujian Akhir Semester. Biasanya, selesai ujian dosen akan langsung mengoreksi lembar jawab dan memasukkan nilai mahasiswa ke siakad. Kecenderungan mahasiswa zaman sekarang, banyak yang merasa tidak puas dengan nilai yang didapat. Alih-alih introspeksi diri, mahasiswa yang merasa nilainya kurang baik itu biasanya akan langsung menghubungi dosen untuk meminta agar nilainya ditambah, atau setidaknya dosen diminta untuk berpikir ulang agar memperbaiki nilainya yang kurang tersebut. Beruntung dosen yang bersangkutan tidak mudah kalap meski mahasiswa memintanya berpikir ulang. Jika iya, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Contoh-contoh kasus di atas sebenarnya memiliki “benang merah” yang sama: dosen merasa “sakit hati” akibat diperlakukan “setengah hati” oleh mahasiswa. Inilah permasalahan yang sudah saya coba singgung di awal pembahasan tulisan ini. Bahwa kesantunan berbahasa sangat penting dimiliki setiap individu agar tercipta persatuan dan kesatuan, dalam lingkup ini adalah antara dosen dan mahasiswa.

Yang kemudian menjadi hal menarik untuk diselisik, mengapa mahasiswa zaman sekarang kurang memperhatikan etika? Pernah suatu kali saya ditegur oleh rekan sesama dosen agar tidak terlalu dekat dengan mahasiswa. Katanya, “mahasiswa itu jika semakin didekati, akan semakin ngelunjak”. Pernyataan ini mungkin benar adanya.

Jangan heran jika ada mahasiswa yang dengan santai memanggil dosen dengan sebutan “kakak”. Ada lagi yang ketika berbicara dengan dosen, mahasiswa menggunakan kata-kata yang akrab, selaiknya berbincang dengan teman dekat. Hal ini tidak sepenuhnya salah mahasiswa, karena terkadang ada juga tipe dosen yang sejak awal memang memosisikan diri sebagai teman mahasiswa. Sebagai contoh, ada dosen yang mewajibkan mahasiswa untuk memanggilnya dengan sebutan “Mas” karena si dosen mungkin saja tak mau dianggap tua. Efeknya, etika antara dosen dan mahasiswa menjadi tidak pada tempatnya.

Dari sudut pandang dosen, kesantunan berbahasa jelas perlu mendapat perhatian juga. Tidak jarang saya menemui seorang dosen yang menganggap mahasiswa adalah bawahannya, untuk kemudian dipandang sebelah mata. Yang lebih mengerikan lagi, ada dosen yang menganggap mahasiswa adalah musuhnya sehingga diperlakukan semena-mena. Alhasil, dosen-dosen dengan tipe ini biasanya jarang berucap santun kepada mahasiswa. Hubungan seperti ini tidak semestinya terjadi. Karena sejatinya, dosen adalah partner mahasiswa dalam belajar. Wajib hukumnya bagi dosen untuk memedulikan, menghargai, dan mendorong mereka mencapai kesuksesan. Bagaimanapun juga, dosen dan mahasiswa itu ibarat satu tubuh. Dosen adalah bagian dari mahasiswa, mahasiswa adalah bagian dari dosen.   

Kisah-kisah di atas adalah kisah yang terjadi di kampus antah-berantah, dengan dosen dan mahasiswa yang antah-berantah juga. Jikalau ada kesamaan, itu hanyalah suatu kebetulan yang mungkin disengaja. Akan tetapi, tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menyudutkan mahasiswa. Toh di belahan bumi ini, tidak hanya mahasiswa, banyak juga dosen yang tidak beretika. Ini hanya secuil kisah yang saya ambil untuk dibaca, ditelaah, dan mungkin juga direnungkan untuk kemudian diambil hikmahnya (jika memang ada).

Saya sangat setuju jika Rahardi (2009:1) pernah mengemukakan, “bahasa sering disebut prevoir (penanda) eksistensi budaya dari masyarakat yang  bersangkutan”. Bahasa yang baik dapat menunjukkan keberadaan masyarakatnya. Ungkapan yang sering kita dengar bahwa bahasa adalah cerminan diri, tentu benar adanya. Kita bisa menilai karakter dan kualitas diri seseorang dengan melihat kemampuan berbahasanya. Pribadi yang baik dan santun, pastilah akan berbahasa dengan baik pula. Rasulullah SAW pernah bersabda (dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari), “Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik, jika tidak bisa lebih baik diam”. Dalam hadis lain Rasulullah bahkan pernah mengatakan, “Orang yang disebut muslim adalah orang yang bisa menjaga tangan dan lisannya”.

Berani berbahasa harus dibarengi dengan etika, tata krama, dan estetika. Namun, berbahasa yang demikian sulit ditemukan di masa sekarang. Kesantunan berbahasa seolah pudar dari jagat raya. Hal ini memicu pada dirindukannya bahasa yang memuat etika, tata karma dan estetika.

Maka dari itu, tentu kita semua sepakat jika berbahasa yang baik tidak hanya dapat menyatukan masyarakat Indonesia yang  beragam. Berbahasa yang baik juga mampu menyatukan dua insan penting civitas academica, dosen dan mahasiswa, dalam balutan hubungan yang harmonis, guyub, dan penuh cinta. Berharap bahasa yang tercipta dari keduanya senantiasa menjadi bahasa yang dirindukan. Semoga.