Ironi Hukum di Negeri Ini

Mochamad Nur Habib – Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah

#banggaIAINSurakarta

Hukum sekarang seakan-akan menjadi pisau yang sangat tajam. Setiap orang bisa menggunakan kapan saja, untuk siapa saja dan kapan saja yang sesuai keinginan. Melihat dari beberapa kasus kriminalisasi aktivis pejuang lingkungan, kita ambil dilingkup Solo Raya. Tepatnya di Sukoharjo, ada 7 aktivis mendapatkan hukuman 4 tahun yang sekarang masih ditahan di Polda Jateng hanya gara-gara mempertahankan ruang hidup dari ancaman racun pabrik. Sedangkan kasus lain di kota Solo sendiri ada kasus pembunuhan dengan menggunakan mobil hanya dihukum 1 tahun. Aturan-aturan ataupun Undang-Undang yang sudah diamanahkan sering diabaikan oleh pemerintah para pemilik modal. Khususnya di kawasan Solo Raya banyak kasus agraria di Solo Raya yang tidak selesai dan tidak memihak ke rakyat. Sering kali saya berinteraksi dengan kawan-kawan maupun masyarakat secara langsung atas kondisi hukum saat ini. Mereka mulai hilang kepercayaan akan adanya pemerintah apalagi kepada para politisi. Hal ini mengenaskan, apalagi kita akan berpesta demokrasi pada 17 April 2019. Jika kepercayaan sudah mulai pudar, artinya para politisi terutama yang duduk di kursi pemerintahan harus menjalankan amanah yang sudah diamanahkan oleh rakyat. Bukannya menjalankan amanah para pemodal yang merugikan bahkan menyengsarakan rakyat.

HUKUM                   

Hukum adalah hal yang mengatur tingkah laku manusia agar tidak merugikankepentingan umum. Namun dalam hal definisi yang pasti mengenai pengertian hukum, para ahli atau sarjana hukum tidak pernah menyepakati definisi yang pas untuk pengertian hukum.

Secara umum, rumusan pengertian hukum setidaknya mengandung beberapa unsur. Pertama, Hukum mengatur tingkah laku atau tindakan manusia dalam masyarakat. Kedua, Peraturan berisikan pemerintah dan larangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Ketiga, peraturan hukum ditetapkan oleh lembaga atau badan yang berwenang untuk itu. Keempat, penegakan aturan hukum bersifat memaksa. Kelima, peraturan hukum dibuat bukan untuk dilanggar namun untuk dipatuhi. Keenam, untuk menegakkannya diatur pula mengenai aparat yang berwenang untuk mengawasi dan menegakkannya sekalipun dengan tindakan yang represif.

PANGLIMA TERTINGGI

Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtstaat) tentunya mengedepankan hukum dalam menyelesaikan setiap persoalan bukannya, dan tetap menjunjung tinggi Asas Praduga tak Bersalah (Presumption Of innocent) yang bermakna setiap orang dihadapkan pada proses baik baik dalam tahap penyidikan, penuntutan serta peradilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya.

Hukum merupakan panglima dinegara ini , segala persoalan yang muncul harus diselesaikan secara hukum dengan tidak membeda-bedakan, seperti halnnya yang terdapat dalam asas hukum equality before the law yang mensyaratkan bahwa semua orang sama kedudukannya dihadapan hukum, karena itu penegak hukum harus menjiwai asas ini dalam menegakkan hukum. Ketika hukum tidak berpedoman lagi pada asas yang merupakan Groundnorming dari sebuah hukum maka disinilah mulai masuk istilah hukum sebagai panglima akan tetapi penguasa adalah raja.  

Intervensi kekuasaan politik dalam hukum, sangat berbahaya, bisa memunculkan kriminalisasi terhadap oknum-oknum tertentu yang dianggap mencoba melawan kekuasaan penguasa, maupun bisa memicuh upaya aparat penegakan hukum hanya untuk mencari-cari kesalahan seseorang, sikap independensi dan imparsial (tidak Memihak) penegak hukum dinegeri ini sangan dibutuhkan dalam mewujudkan supremasi hukum dan jauh dari kepentingan Politik,  sehingga tidak muncul istilah hukum adalah panglima, namun kekuasaan adalah raja, dan panglima ada dibawah kekuasaan raja sehinggah penegakan hukum kadang dilakukan hanya untuk penguasa.

ETIKA DAN NORMA

Ketika Hukum sebagai Panglima Tertinggi lalu dimana letak etika dan moral ? ini menjadi pertanyaan kita bersama. Padahal etika dan norma adalah hal paling mendasar nilai yang sama yang dimiliki oleh manusia sekaligus merekat pada masyarakat. Ketika hukum sebagai panglima tertinggi. Maka etika dan moral (padahal itu adalah hal yang melekat pada masyarakat Indonesia tanpa tertulis) kita injak serendah-rendahnya hingga hilang nilai-nilai kemanusiaan kita ? Jika iya, maka tak salah kalau ada yang bilang bahwa politik kita mengalami kemajuan pesat namun peradaban kita mundur. Peradaban menurut KBBI berarti kehalusan, kebaikan budi pekerti, akhlak. Semua itu sudah dilakukan oleh bangsa kita sejak berabad-abad lamanya. Karena peradaban bangsa kita memang lebih maju daripada peradaban bangsa lain.

Melihat situasi dan kondisi bangsa kita hari ini, saat koruptor didepan kamera media tak malu melambaikan tangannya bahkan menyempatkan tersenyum. Ada anggota legislatif mantan koruptor yang tak malu mencalonkan kembali dirinya sebagai caleg. Itu semua pertanda bahwa peradaban kita mundur !

Berita teranyar ada kasus jual beli jabatan dilingkaran Kemenag yang menyangkut salah satu Ketua Umum partai Islam yang menjadi tersangka. Dia ditangkap oleh KPK pada saat OTT di Surabaya.

Lucunya lagi hukum sebagai panglima tertinggi. Penerapan ataupun eksekusi masih sering kali berat sebelah, sehingga seakan-akan memang hukum tak pantas menyandang sebagai panglima tertinggi. Hukum masih sering intip sana-sini, melihat-lihat siapa yang sedang tersangkut masalah hukum. Bila punya banyak akses pada kekuasaan, baik besar maupun kecil, maka ada kemungkinan jeratan hukum bisa dilonggarkan.

Bagi saya, etika dan norma haruslah yang dikedepankan sekaligus ditinggikan. Pangkatnya tak boleh lebih rendah daripada hukum. Etika dan norma akan menjadikan manusia yang memanusiakan manusia. Dua hal tersebut adalah nilai-nilai yang sebenarnya sudah melekat pada bangsa kita sejak dulu. Sehingga dahulu peradaban kita lebih maju dari peradaban bangsa lain. Tanpa dituliskan diatas hitam putih alias diundangkan dalam peraturan etika dan norma akan mengisi kekosongan yang belum diatur dengan kebaikan budi pekerti. Budi pekerti inilah yang akan membuat mantan koruptor tanpa harus dibuatkan hukum tertulis sudah tahu diri dan malu untuk mencalonkan diri menjadi pejabat lagi. Budi pekerti ini juga yang akan membuat penegak hukum yang sudah terbukti melanggar kode etik, tanpa harus dibuatkan hukum tertulis, tahu diri dan malu, lalu turun dari jabatannya. Bahkan etika, tata krama, norma, dan budi pekerti bila dijunjung tinggi-tinggi akan membuat hukum jadi tegak, tidak timpang, dan selalu memberi keadilan.