Mahasiswa Sekolah Dasar?

Oleh: Wahyu Andika P -Mahasiswa Jurusan AKS FEBI IAIN Surakarta

Mahasiswa adalah tonggak perubahan yang akan membawa kemajuan bangsa di masa mendatang. Mahasiswa merupakan insan-insan calon penyandang gelar sarjana yang terlibat dalam suatu instansi perguruan tinggi dengan harapan akan menjadi generasi emas penerus bangsa yang mempunyai dasar intelektual yang mumpuni. Mahasiswa yang dibutuhkan bukan hanya mahasiswa yang andal dalam akademik. Bukan hanya mahasiswa yang cakap saat diminta mengkritisi segala aspek di sekelilingnya. Bukan mahasiswa yang hanya pandai dalam bergaul dengan teman sebaya. Bukan hanya mahasiswa yang pandai berkontribusi dalam berorganisasi. Apalagi mahasiswa yang hanya mengedepankan fisik semata, sehingga melupakan etika itu harus ada.

Generasi milenial saat ini, terutama di kalangan mahasiswa sedang terjadi fenomena terkikisnya nilai etika. Etika bisa diartikan sebagai adat istiadat atau kebiasaan yang baik (Sumaryono:1995). Etika leluhur bangsa mulai terkikis, menarik memang apabila kita mencontohkannya dalam sebuah perbandingan. Generasi milenial dan generasi sebelumnya, pasti akan terlihat layaknya dua kertas corak berbeda yang disandingkan, layaknya kedua insan dipaksa untuk saling jatuh cinta, sangat jauh hingga tidak ada lagi kesinkronan antar keduanya. Mahasiswa kehilangan satu sisinya. Satu sisi yang justru akan membawanya sebagai mahasiswa yang benar-benar mahasiswa, mahalnya etika mahasiswa.

Kecakapan dalam berkomunikasi merupakan penilaian dasar orang awam, tak jarang ketika kita berkomunikasi dengan orang awam dan kita membatin dalam hati “Ahh… anak itu berbahasa dengan baik, sepertinya dia berpendidikan” secara tidak sengaja kita sudah dapat menyimpulkan dengan mudah bagaimana etika orang tersebut. Kerap kali di taraf universitas, mahasiswa yang mempunyai cakapan etika baik, sopan dan tertata akan sering kali mendapat poin plus dari dosen. Hal itu menurut pandangan dari beberapa orang akan berpengaruh pada hasil indeks prestasi kumulatif (IPK) yang didapatkan.

Sebenarnya etika dalam berbahasa sudah tidak lagi terasa tabu bagi mahasiswa. Sejak sekolah dasar, bahkan sejak belum mengenyam bangku pendidikan, orang tua sudah mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai etika dalam berkomunikasi. Melihat siapa yang sedang dihadapi, memilah-milah bahasa, menggunakan sikap sepatutnya. Hal itu sudah sering kali didoktrinkan oleh orang tua kepada anaknya dalam pemberian edukasi dan pembentukan karakter anaknya. Akan tetapi, apa yang dapat kita lihat pada era yang dulunya blackberry diagungkan dan sekarang hanya menjadi sebuah pajangan. Barang kali kemampuan mahasiswa saat ini untuk berkomunikasi sudah mulai hebat. Dari yang melalui media sosial, maupun melalui pesan singkat. Mereka memanfaatkannya untuk berkomunikasi dengan teman sebaya, orang tua, bahkan dosen.

Perumpamaan yang terakhir itu yang akhirnya membuat saya merasa tertarik untuk mengulasnya lebih dalam. IAIN Surakarta salah satunya, mungkin banyak mahasiswa awam yang belum mengetahui jika di anak tangga gedung Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam ada suatu banner kebijakan yang unik. Peraturan itu adalah etika mahasiswa berkirim pesan kepada dosen melalui media sosial ataupun telepon genggam. Etika tersebut memuat tujuh hal, diantaranya, waktu yang tepat dalam mengirim pesan kepada dosen, bagaimana mengawali kalimat pembuka, bagaimana menyampaikan sebuah isi yang efektif, hingga mengakhiri sebuah kalimat penutup.

Peraturan seperti itu seharusnya dibuat bukan hanya sebagai formalitas sebuah fakultas belaka. Nyatanya, peraturan itu hanya dianggap sebagai angin lalu. Terbukti masih banyak mahasiswa yang hanya berkedok mahasiswa kampus santun, namun etika jauh menurun. Hal itu tidak terjadi di kampus ini saja, tetapi sudah menjalar ke berbagai kampus ternama yang rata-rata mahasiswanya tak terlalu mementingkan suatu etika.

Mungkin para dosen sudah risih dan mengerutkan dahi ketika kerap kali mendapatkan pesan singkat dari mahasiswa. Salah satu dosen FEBI tentunya, dosen yang dianggap paling santai dalam perkuliahan saja pernah bertanya, “Etika Siswa bertitel maha hilang di mana?”

“ Pak, kira-kira hari ini masuk apa tidak ?”

“Pak ini jadi kuliah enggak ? waktunya tinggal setengah jam”

Bahkan saya pernah membaca pesan singkat mahasiswa kepada dosen yang sama sekali tak beretika.

“ Bos, lo di kampus jam berapa ?”

“gue mau bimbingan nih”

Senakal-nakalnya saya sebagai mahasiswa, mungkin tak ada mental jika mengirim pesan kepada dosen seperti itu. Ada yang berpendapat hubungan dosen dan mahasiswa harus seperti kakak dan adik, ada yang berpendapat hubungannya seperti kyai dan santrinya. Ini menjadi permasalahan pandangan tersendiri bagi generasi milenial.

Mahasiswa seharusnya menyadari, kampus adalah sebuah rumah untuk mereka dan dosen ibarat orang tua. Tetapi zaman sekarang? Ya bisa dikatakan mahasiswa zaman now beralih ke budaya barat, dengan anggapan pesan berbahasa resmi bukan lagi zamannya.

Tak disalahkan, budaya barat memang sangat diagungkan dan masuk dengan sangat deras, mulai dari cara berpakaian, bersikap hingga bertutur kata. Tapi, lihatlah Indonesia yang (masih) menganut budaya timur, dimana orang lebih tua harus dihormati dan dijunjung dengan sepantasnya.

Cuitan mahasiswa, “Sikap dosen seenaknya, minta dihormati sepanjang masa, urusan bertemu susah pula” mungkin adalah asal muasal mahasiswa menyeru “Kira-kira di kampus sampai jam berapa?” tanpa Pak, tanpa Bu ibarat bertanya dengan teman yang ingin bertemu. Generasi sudah berganti. Tata krama sudah biasa bahkan telah menjadi sesuatu yang abai. Bukan tak mungkin suatu saat nanti tata krama menjadi hilang dari peradaban. Lantas dengan sikap etika seperti itu masih pantaskah jika mahasiswa mendeklarasikan dirinya sebagai Agent of change ?