Papua Darurat Rasisme

Oleh: Mokhammad Fadhil Musyafa’
(Mahasiswa Jurusan SPI IAIN Surakarta)


Belum lama ini Indonesia baru saja merayakan kemerdekaanya yang ke 74. Beragam kegiatan untuk memeriahkan kemerdekaan cukup ramai ditampakkan sebagai wujud kemenangan. Namun, tidak jarang kesempatan ini dimanfaatkan oleh sekelompok golongan yang memiliki niat tidak baik. Salah satunya, narasi perpecahan. Papua darurat rasisme menjadi salah satu bukti nyata atas suksesnya penggorengan narasi perpecahan.

Bermula dari edaran informasi yang belum jelas kebenarannya (hoax) dan viralnya video rasis yang menyudutkan masyarakat Papua di Surabaya belum lama ini (15/08). Yang kemudian menimbulkan kemarahan di benak orang-orang Papua. Alhasil, mereka tidak tanggung-tanggung mengerahkan massa untuk melakukan unjuk rasa secara besar-besaran sebagai wujud ketidaksenonohan yang disodorkan pada masyarakat Papua. Terlebih bagi orang-orang yang masuk dalam gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka), mereka tidak merasa berdosa membakar merah putih di tengah jalan dan mengibarkan bendera bintang kejora, bendera kebangsaan Papua Merdeka.

Bagi mereka mengibarkan bendera bintang kejora adalah sebuah perlambang bahwa mereka siap pergi dari Indonesia. Diskrimanasilah yang mendasari masyrakat Papua untuk bergerilya. Mereka menganggap bahwa Indonesia nampaknya sudah tidak ramah lagi terhadap keberagaman suku, ras, dan agama. Sampai-sampai penyudutan bentuk manusia seperti hewanpun mampu mengundang massa. Yang akhirnya berujung pada kesenjangan sosial dimana-mana. Tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tetapi hampir keseluruhan wilayah Papua, mereka melakukan pemberontakan dan keresahan sosial di Papua Raya. Tanpa terkecuali kawasan Fakfak. Beruntungnya di wilayah Papua bagian barat tersebut masih terdapat sekelompok orang yang tidak terprovokasi dan bersikeras melawan pemberontakan serta secara tegas menyatakan “kami Indonesia, kami berani mati demi Indonesia”.

Minimnya kesadaran akan kebangsaan seperti di Papua menjadi catatan terpenting bagi pemerintah untuk sesegera mungkin mengambil langkah untuk menyelematkan mereka. Kecolongan seperti demikian merupakan akibat dari kurangnya pegiat kebangsaan dan masifnya perusak bangsa yang mengakar rumput di Nusantara. Tidak menutup kemungkinan bencana sosial yang menimpa masyarakat Papua, bisa juga ditumpangi oleh oknum tertentu yang menginginkan Indonesia terpecah belah. Keringnya narasi kebangsaan di wilayah timur nampaknya menjadi persoalan yang vital dan memiliki kadar urgensitas tinggi dalam pembenahan urusan kebangsaan. Bukan hanya dari segi infrastruktur saja Papua dibangun tapi dari segi moral kebangsaan juga harus lebih digemborkan kembali.

Selain itu, peran media juga sangat mendukung. Saya merasa, media saat ini  sungguh memprihatinkan keberadaannya, yang semula menjadi kawan kini bisa menjadi lawan, yang semula persatuan kini bisa menjadi perpecahan. Tidak sedikit dari media sosial yang mensodorkan konten yang kurang mendidik terkait kesadaran kebangsaan. Media yang seharusnya bisa menjadi wadah edukasi justru menjauhkan generasi dari jati diri bangsa yang ia tempati. Salah satu dampaknya yakni bencana sosial yang menimpa Papua dikarenakan kurang ramahnya penggunaan media.