HMJ SPI – LPM Dinamika, Bedah Buku Perempuan-Perempuan Menggugat

SINAR- Sabtu (19/10), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Sejarah Peradaban Islam (SPI) yang menggandeng UKM LPM Dinamika Institut Agama Islam Negri Surakarta menyelenggarakan bedah buku yang bertema “Eksistensi Perempuan Era Kolonial dan Perspektif Milenal Terhadap Perempuan”. Acara yang menghadirkan penulis bukunya yang bernama Esthi Susanti Hudiono, M.Si dan juga sejarawan dari Universitas Kristen Satya Wacana yang bernama Galuh Ambar Sasi, M.A serta penggiat Gender dari UKM LPM Dinamika yang bernama Ony Agustin Damayanti yang dilaksanakan di Gedung Pasca Sarjana lantai 4 yang dihadiri oleh mahasiswa dari IAIN Surakarta dari berbagai Prodi, juga dihadiri oleh mahasiswa dari IAIN Kudus, UGM, UNS, UMS dan mahasiswa dari UKSW Salatiga.

Buku “Perempuan-Perempuan Menggugat” karya Esthi Susanti Hudiono dan Seruni Bojowati ditulis selama 19 bulan. Buku ini ditulis berdasarkan pertanyaan, mengapa yang dipahlawankan ibu Fatwati dan ibu Inggit tidak menjadi pahlawan padahal perannya besar sekali? Awalnya bukan nama perempuan-perempuan menggugat yang ditulis tetapi dengan nama perempuan-perempuan pionir.

Mengapa kata perempuan dulu yang dipakai bukan wanita? Karena kata wanita itu melemahkan kaum perempuan, dalam artian kata wanita (baca: wanito – bahasa jawa) itu berati ”wani ditoto” sedangkan kata perempuan itu berati mpu-nya atau yang memiliki kekuasaan. Perubahan nama perempuan menjadi wanita bukan alasan terminologi, tetapi pada saat kongres perempuan di Indonesia yang dimulai oleh Kowani pada tahun 1945. Kowani mengubah nama tersebut karena elit Kowani di Semarang tidak mau diidentikan dengan pelacur.

Narasi perempuan dan pembelengguan perempuan juga turut dihadirkan manakala orde baru memberangus perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat mandiri. Tidak dipungkiri pasca peristiwa 65 perempuan di fitnah dengan serangkaian isu penyiletan para jenderal dengan tarian barbar, sehingga perempuan cenderung didomestikasikan pada masa itu. Yang terjadi kemudian peran perempuan yang sekedar konco wingking  menjadi narasi yang hadir pada masa itu. Akan tetapi kini perempuan mulai mendapatkan tempatnya dengan kedudukan sama dengan laki-laki. Kini perempuan bisa eksis dalam karir tanpa melupakan porsinya sebagai perempuan sejati.

Menurut analisa dari filsuf Perancis yang berkontribusi pada studi perempuan ia mengatakan bahwa perempuan itu kesulitan bertrasendensi menjadi perempuan yang bisa mengaktualisaikan dirinya secara utuh karena terhalang sistem yang hirarkis, salah satunya ialah patriarkis. Pada waktu Soeharto Ibuisme yang lahir dari kultur feodalisme dan patriarki yang ada ini diambil untuk menyukseskan KB, perempuan dimobilisasi melalui PKK, dharma wanita, dharma pertiwi untuk mensukseskan pembangunan terutama pembangunan pengendalian kependudukan.

Menurut penuturan dari Galuh Ambar Sasi dari UKSW bahwasanya tema perempuan itu relatif terpinggirkan karena tertutup tema maskulin dan juga militer. Sejarah dari Bahasa Indonesia itu terkenal pada saat kongres perempuan bukan pada saat sumpah pemuda. Karena pada saat kongres pemuda pesertanya sedikit yang berbahasa Indonesia dan masih berbahasa Belanda tetapi pada saat kongres perempuan banyak yag menggunakan Bahasa Indonesia.

Dari diskusi kali ini diharapkan mahasiswa terutama para perempuan sadar akan perannya. Juga sadar bagaimana mereka mendapatkan pendidikan dan hak yang lain sama seperti laki-laki. (Gie/Humas Publikasi)

Sumber : Latif Kusairi