Aksioma Viralnya KKN Desa Penari Menjadi Salah Satu Pengaruh Bermasalahnya Literasi Bangsa

Oleh:
Anis Febriana Sita – Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris 2018 IAIN Surakarta/
Santriwati Asrama 3 Pondok Pesantren Mahasiswa Darussalam

Baru baru ini banyak hal absurd yang menjadi topik trending di sosial media maupun meja diskusi dari kalangan mahasiswa hingga masyarakat luas. Hanya dengan sekali uploud dapat mempengaruhi kadar hoax atau tidaknya info tertentu. Di zaman modern dengan surplus teknologi informasi yang membabibuta tanpa adanya penyaringan informasi menjadikan berbagai macam hoax menyebar luas. Spekulasi yang menjadi akar tumbuhnya hoax, dimana masyarakat mudah percaya dengan informasi yang viral dan menjadi topik trending yang buming hanya sesaat. Seperti halnya cerita KKN Desa Penari, dimana kebenarannya masih menjadi tanda tanya. Namun, sudah berhasil merenggut hati para penikmat sosial media di kalangan pemuda maupun masyarakat luas. Padahal, kebenaran cerita tersebut masih dipertanyakan kebenarannya dan masih diperdebatkan oleh pecinta diskusi akademisi kampus-kampus di Indonesia.

Dikutip dari chanel youtube Paranormal Experience yang dibintangi Raditya Dika bersama Reza penulis sekaligus tim kreatifnya, pada menit ke 46:50 Reza mengatakan bahwa cerita KKN Desa Penari adalah fiksi. Dibuktikan dengan akun twiter milik Simple Man yang merupakan akun anonim tanpa foto aslinya (Raditya dan Reza, 2019).  Namun masyarakat sudah percaya cerita horor yang bernuansa akademis. Di sisi lain, masyarakat Indonesia masih terlalu mudah dalam hal penghasutan, karena kualitas rendah minat baca buku yang menjadi salah satu masalahnya. Selain itu, masyarakat Indonesia juga memiliki budaya kepercayaan terhadap mistis yang sangat tinggi. Kebudayaan yang dibawa karena turun temurun menjadikan para masyarakat Indonesia mudah sekali dalam mempercayai hal yang berbau mistis. Contoh kecilnya cerita KKN desa penari ini. Hanya dari cerita dan beberapa pengakuan saja sudah percaya dan mengklaim bahwa cerita tersebut memang benar-benar ada.

Siswati dalam jurnal psikologi penelitian UNDIP mengatakan bahwa Informasi yang dianggap menarik lebih menyita perhatian individu dari pada informasi yang dianggap penting (Siswati, 2011). Seperti halnya membaca buku, kalangan masyarakat maupun mahasiwa di era teknologi yang modern ini dominan menikmati waktunya untuk bersosial media. Dikutip dari Arsita, mahasiswi IAIN Surakarta mengatakan bahwa dirinya lebih suka membicarakan hal apapun itu melalui sosial media, daripada harus bertatap muka langsung. Selain itu, Izzatun Santriwati Asrama 3 Darussalam juga menyatakan pendapat yang hampir sama. Mereka beranggapan bahwa di era saat ini lebih asik jika dilakukan di dunia maya. Tanpa harus mengungkapkannya dihadapan langsung dan berdiskusi bersama. Dari dua narasumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat saat ini lebih menikmati dunia maya dari pada dunia nyata yang membosankan. Di dunia sosial media apapun yang diuploud bisa jadi hal yang tidak mereka lakukan, istilah kerennya hanya pemalsuan data untuk mendapatkan banyak like maupun komen. Disisi lain, para pecandu sosmed dapat menciptakan beberapa karya yang bisa menarik para penikmatnya hingga percaya dan lupa waktu. Jika seseorang sudah lupa waktu, maka mereka tidak menyempatkan diri untuk membaca apalagi berdiskusi. Hal ini menyebabkan rendahnya minat baca di Indonesia semakin miris.

 Oleh sebab itu, orang-orang lebih menganggap hal yang mudah viral sebagai patokan padahal hoax atau tidak nya masih ambigu. Dikutip dari witanto mengatakan baca, tulis, hitung (calistung) saja tidak cukup untuk diterapkan pada jaman sekarang ini. Ada enam literasi dasar yang harus dikuasai menurut World Economic Forum, yaitu baca tulis, literasi numerasi, literasi finansial, literasi sains, literasi budaya dan kewarganegaraan, dan literasi teknologi informasi, komunikasi maupun digital. Apabila tema Hari Literasi Internasional di tahun 2016 adalah “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”, sedangkan tahun ini adalah “Literasi di Era Digital”. Tujuan yang ingin dicapai oleh UNESCO pada peringatan kali ini adalah mencari tahu kemampuan literasi apa saja yang diperlukan masyarakat dalam menghadapi era digital dan mengeksplorasi program serta kebijakan di bidang literasi (Witanto, 2018). Disisi lain, literasi indonesia masih berkualitas rendah. Dibuktikan dengan mudahnya masyarakat dalam mengolah info yang belum tentu benar namun sudah diviralkan hanya dengan sekali klik dan budaya hal mistis masih menjadi paradigma utama di kalangan pemuda maupun masyarakat luas.