DAKWAH DIGITAL UNTUK GENERASI MILENIAL : STUDI ATAS PRAKTIK DAKWAH DI KOMUNITAS OMAH NGAJI, SURAKARTA

Oleh: Ayu Kristina
(Mahasiswa IAIN Surakarta – Juara
Borneo Undergraduate Academic Forum (BUAF) 2019)

Tulisan ini pernah diseminar kan dalam Borneo Undergraduate Academic Forum (BUAF) 2019

Abstract

Technological progress has made the propaganda model more rapidly and dynamically developed. It is undeniable that content smells of radicalism, extremism is very quickly spread and able to enter all lines. So, the counter needs to bring fresh air like the Omah Ngaji Community. This study was conducted to find out how religion was understood and practiced by millennial generations and how da’wah was carried out in the millennial era. With a qualitative descriptive approach, through in-depth interviews of (5) informants determined based on purposive sampling the results of the study showed that religion was interpreted as a guideline for human life so as not to cause chaos. The delivery of religion in da’wah through the study of taklim, social media, and psychology emphasis to counter hate speech. That is the reason for the emergence of digital da’wah by ‘ustad gaul’ who are technologically literate.
Keywords:
Religion, Da’wah Method, Omah Ngaji Community, Millennials Generation

Abstrak

Kemajuan teknologi mengakibatkan model dakwah semakin bekembang pesat dan dinamis. Tidak bisa dipungkiri bahwa konten-konten berbau radikalisme, ekstrimisme sangat cepat menyebar dan mampu masuk ke semua lini. Maka, perlu counter yang membawa angin segar seperti Komunitas Omah Ngaji. Studi ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana agama dipahami dan dipraktikkan generasi milenial dan bagaimana dakwah dilakukan di era milenial. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, melalui wawancara mendalam (in depth interview) dari (5) informan yang ditentukan berdasarkan purposive sampling hasil studi menunjukkan bahwa agama dimaknai sebagai pedoman hidup manusia agar tidak melakukan kekacauan. Penyampaian agama dalam dakwah melalui pengajian taklim, media sosial, dan pendekatan psikologi untuk menangkal ujaran kebencian. Itulah alasan munculnya dakwah digital oleh ‘ustad gaul’ yang melek teknologi.

Kata kunci

Agama, Metode Dakwah, Komunitas Omah Ngaji, Generasi melenial

Pendahuluan

Islam adalah agama yang “rahmatan lil alamin”. Sehingga Islam harus disebarluaskan kepada umat manusia. Jika kita memiliki sebuah ilmu, jangan hanya diamalkan untuk kehidupannya sendiri, tetapi harus disampaikan kepada orang lain.  Sebagai muslim yang beriman, kita diwajibkan untuk melaksanakan dakwah walaupun hanya satu ayat. Apalagi di era globalisasi yang serba kecukupan saat ini, banyak strategi, metode, dan media yang dapat kita lakukan untuk melaksanakan dakwah. Hadirnya media-media baru seperti surat kabar, majalah, sosial media, jurnal, film, televisi, radio, lukisan, iklan, lagu, dan sebagainya mempercepat penyebaran aktivitas dan materi dakwah. Berbeda ketika pada zaman Rasulullah dan sahabat media dakwah sangat terbatas, hanya berkisar pada dakwah qauliyah bi al-lisan dan dakwah fi’liyah bi al-uswah ditambah dengan media penggunaan surat (rasail).[1]

Namun adapula yang masih menggunakan metode ceramah, misalnya dilingkungan pesantren para santri-santri di bekali public speaking dalam kegiatan muhadhoroh dengan materi-materi yang diperoleh dari kiai atau ustadz. Hal tersebut, dimaksudkan untuk melatih ketrampilan berbicara di masyarakat dan menyampaikan gagasan-gagasan tentang agama.[2] Semua hal yang menyakut dakwah akan memiliki nilai positif. Dengan berdakwah berarti kita ikut membantu menyebarluaskan nilai-nilai toleran dan moderat yang dibawa oleh Nabi untuk disebarluaskan kepada umatnya.

Kendati demikian, apabila dakwah dilakukan dengan metode yang salah, seperti merujuk pada kekerasan, pemaksaan, atau melanggar nilai-nilai kemanusiaan maka kemuliaannya menjadi tidak berarti. Kelamaan akan berimbas pada generasi muda atau generasi millenial penerus bangsa yang lahir dalam rentang 25 tahun terakhir, karena tumbuh dan besar dalam dominasi budaya digital yang erat bersinggungan dengan penyebaran pola konsumsi dan gaya hidup serba instan.[3] Apalagi sampai dihadapkan dengan munculnya radikalisme, terorisme, atau ekstremisme.

Beberapa konflik yang berasal dari metode dakwah yang salah yaitu tersebarnya video mahasiswa IPB yang mendeklarasikan khilafah, bahwa sistem pemerintahan yang relevan dengan Indonesia ialah sistem khilafah yang berlandaskan asas Islam. Pemikiran itu, menimbulkan pendapat tentang haramnya memilih pemimpin yang beragama non-Islam. Seperti kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta.[4]

Peristiwa di atas merupakan sebagian kecil dari kesalahan dalam berdakwah, yang pada mulanya ditujukan agar masyarakat yang beragama Islam dapat menjalankan aktivitas keagamaan sesuai dengan syariat, namun pada realitanya justru menimbulkan kontroversi. Kemungkinan penyebabnya yaitu kurangnya pemahaman dan pengalaman ajaran Islam[5], cara komunikasi yang salah[6],  tersebar berita palsu (hoax), modal ekonomi dan sosial yang rendah[7], dan sebagainya.

Apabila hal itu dibiarkan terus menerus, akan berakibat pada munculnya gerakan-gerakan baru yang berdakwah seakan-akan mengatasnamakan Islam, dan berpotensi merusak moral generasi muda melalui penanaman ideologi-ideologi yang mengarah pada bentuk-bentuk ekstrimisme, radikalisme, dan terorisme serta  menimbulkan bangsa Indonesia terpecah belah. Selain itu, banyaknya informasi, apabila informan tidak memilah dan menanggapinya secara obyektif, akan menambah konflik dalam berdakwah.

Salah satu solusinya yaitu metode dakwah bi al-lisan yang digunakan di Kampung Mataram seperti metode dakwah ceramah, yaitu mengadakan pembinaan secara melingkar (halaqah) yang membahas tentang kitab Ta’lim muta’alim dan Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah sesuai dengan adab dan akidah. Selain itu, metode dakwah diskusi, menggunakan model informal debate dengan metode brainstorming untuk berpikir dan menemukan jawabnnya sendiri. Kemudian, metode dakwah konseling, da’iyah khoiriyah menggunakan teknik non-derektif, berdakwah dengan mengerti dan memahami kondisi para remaja binaannya, tujuannya yaitu mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.[8]

Munculnya komunitas dakwah Islam generasi millenial juga menjadi solusi dalam dakwah, apalagi jika bersamaan dengan ustad atau ustadzah yang di gandrungi generasi milenial, serta materi-materi yang menarik. Seperti Komunitas Omah Ngaji, yang menjadi salah satu jawaban dari tantangan generasi milenial memahami isi, mengimplementasikan dan menyampaikan dakwah. Maka, akan menjadi penting apabila kita dapat mengetahui bagaimana agama dipahami dan dipraktikkan generasi milenial? Dan bagaimana dakwah dilakukan di era milenial?

Metode Penelitian

Tulisan ini didasarkan pada penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Berupa studi kasus tentang metode dakwah bagi generasi milenial. Dengan memberikan kontribusi dalam kehidupan sehari-hari dalam menanamkan nilai-nilai agama. Sehingga paham-paham keagamaan yang bersifat ekstrimisme dan radikalisme yang cenderung mengakomodasi kekerasan bisa ditangani dari hulu sampai ke hilir.

Untuk menghasilkan data yang komprehensif, penulis melakukan wawancara mendalam (in depth interview). Wawancara dilakukan dari 5 informan yang dianggap relevan karena mereka selaku remaja berusia 12-24 tahun dari komunitas Omah Ngaji, ustad dan ustadzah yang memberikan dan menjalankan dakwah.

Dalam memperkuat data primer, penulis juga melakukan studi kepustakaan dari berbagai sumber yaitu surat kabar, artikel, jurnal, buku, dan penelitian terdahulu serta sumber lain terkait dengan persoalan pokok penelitian.

Metode Dakwah

Menurut Yusuf Qardhawani esensi dakwah adalah bermakna membangun gerakan yang akna membawa manusia ke jalan Islam meliputi aqidah dan syariah, dunia dan negra, mental dan kekuatan fisik, perdaban dan umat, kebudayaan dan politik serta jihad menegakkannya di kalangan umat Islam sendiri, agar terjadi sinkronisasi antara realitas kehidupan muslim dengan aqidahnya. Di dalam dakwah terdapat jalan atau cara yang dipakai untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Saat menyampaikan pesan dakwah,  metode sangat berperan penting, misalnya walaupun baik tetapi disampaikan lewat metode yang tidak benar pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan.

Macam macam metode dakwah

Zaman dakwah Rasulullah, beliau membawa misi agamanya menggunakan berbagai macam metode, yaitu dakwah bawah tanah, politik pemerintahan, surat menyurat, dan peperangan. Jika dikelompokkan, metode berpijak pada dua aktivitas yaitu tulisan dan badan atau lisan. Aktivitas lisan dalam menyampaikan pesan dapat berupa pertama, metode ceramah. Metode yang dilakukan untuk menyampaikan keterangan, petunjuk, pengertian, penjelasan, tentang sesuatu masalah dihadapan orang banyak. Kedua, metode diskusi. Metode dalam arti mempelajari atau menyampaikan bahan dengan jalan mendiskusikan sehingga menimbulkan pengertian serta perubahan kepada masing-masing pihak sebagai penerima dakwah.

Ketiga, metode tanya jawab. Metode yang dilakukan dengan mengadakan tanya jawab untuk mengetahui sampai sejauh mana ingatan atau pikiran seseorang dalam memahami atau menguasai sesuai materi dakwah. Keempat, metode konseling yang bertujuan untuk memecahkan masalah yang terdiri dari konselor sebagai pendakwah dan klien sebagai mitra dakwah. Kelima, metode propaganda yang bertujuan untuk menyiarkan Islam dengan cara mempengaruhi dan membujuk, tetapi bukan bersifat otoritatif (paksaan). Selain itu juga bisa dalam bentuk petuah, nasehat, wasiat, ta’lim, peringatan, dan lain-lain.

Aktivitas tulisan berupa penyampaian pesan dakwah melalui berbagai media massa cetak (buku, majalah, koran, pamflet, dan lain-lain). Aktivitas badan dapat berupa berbagai aksi amal sholeh, contohnya tolong menolong melalui materi, lingkungan, penataan, organisasi atau lembaga-lembaga keislaman.[9]

Dakwah dalam Kehidupan Remaja

  1. Materi Dakwah Remaja

Materi dakwah yang dimaksudkan adalah masalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i kepada anak yang berusia remaja. Materi yang disampaikan adalah ajaran Islam itu sendiri yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadis yang hendaknya membawa remaja mencintai Islam, sehingga mereka berperilaku muslim yang berwawasan Qur’ani.

Tuntutan zaman yang mendominasi remaja sangat dominan. Oleh karenanya, materi yang disusun juga harus merupakan jawaban zaman. Materi yang dipersiapkan hendaknya mudah dicerna, remaja mempunyai bahasa sendiri dalam bahasa sehari-hari, bahkan kadangkala punya ambisi menggunakan bahasa popular walaupun mereka sendiri kurang memahami cara penjabarannya baik pada remaja yang masih sekolah maupun yang putus sekolah.

Materi yang diperlukan untuk suatu kelompok remaja belum tentu cocok untuk kelompok remaja yang berbeda. Untuk itu pemilihan materi haruslah tepat, apakah itu untuk remaja pelajar (siswa dan mahasiswa), apakah itu remaja yang berlatar belakang ekonomi lemah, juga apakah pendengar itu heterogen, artinya berbagai tingkat dan mutu pengetahuannya ataukah sejenis. Dengan beraneka latar belakang kehidupan remaja, akan lebih memacu seorang da’i untuk memiliki keterampilan menyusun materi.

Terdapat berbagai kenyataan yang dilakukan oleh para muballigh. Ternyata meteri dakwah selalu hanya bersifat pengulangan terhadap apa yang telah dikemukakan terdahulu. Pengembangan materi terasa sangat sulit dilakukan oleh sebagian para subyek dakwah. Pada hal remaja pada umumnya menyenangi hal-hal yang baru dan cepat bosan bagi hal yang telah atau sering didengarnya. Karena itu da’i harus berusaha memberikan suatu hal yang baru dalam materi dakwahnya walaupun bersifat pemantapan. Jalaluddin Rahman berpendapat, materi boleh tetap, tetapi informasi yang termuat hendaknya ada pengayaan.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah daya kritis remaja terhadap hal-hal yang tidak masuk akal, tidak logis. Oleh karena itu, materi dakwah harus logis. Dengan kata lain, mengajarkan agama kepada remaja hendaklah disesuaikan dengan kondisi jiwa dan lingkungan hidupnya.

  • Upaya Dakwah dalam Mengatasi Problematika Remaja

Sebagai upaya dalam memberikan solusi Islam terhadap berbagai problem kehidupan remaja, dakwah dijelaskan dengan definisi yang dikemukakan oleh Syekh al-Baby al-Khuli bahwa upaya memindahkan manusia dari suatu situasi kesituasi yang lebih baik. Pemindahan situasi ini mengandung makna yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, pemindahan dari situasi kebodohan kepada situasi keilmuan, dari situasi kemiskinan kepada situasi kehidupan yang layak, dari situasi keterbelakangan kesituasi kemajuan.

Untuk mengatasi problematika remaja yang melingkupi kehidupannya, maka diperlukan suatu metode dakwah untuk meminimalisir problematika tersebut, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang akan merusak dirinya maupun orang lain. Untuk itu dakwah haruslah dikemas dengan cara dan metode yang tepat dan pas. Dakwah harus tampil secara actual, faktual, dan kontekstual.[10]

Komunitas Omah Ngaji

Komunitas Omah Ngaji yang berada di Ngemplak, Rt 01/Rw 29, Mojosongo, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah 57127 memiliki santri mukim sebanyak kurang lebih 40 orang dari latar belakang keluarga dan pendidikan yang berbeda, serta tersebar di beberapa universitas daerah surakarta, misalnya UNS, UMS, ISI, dan sebagainya. Salah satu tujuan pendirian komunitas tersebut karena keprihatinan atas kondisi toleransi antar perbedaan terutama dalam hal agama. Mengingat posisi omah ngaji berada di antara komunitas-komunitas atau kelompok pengajian lain yang cenderung formalistik (simbolik) dan eksklusif. Selain itu, berangkat dari keinginan pengasuh untuk mengajarkan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah kepada generasi milenial untuk menangkal Hoax, ujaran kebencian, ekstemisme, radikalisme, dan terorisme agar terciptanya Indonesia yang aman dan damai.

Di Omah Ngaji terdapat beberapa materi atau kajian yang menarik, misalnya tauhid, akhlak, nahwu sharaf, sejarah Islam, Al Quran, fiqh, dan sebagainya. “Ust. Halim, ngaji kitab Adabul ‘Alim wal Muta’alim[11] karangan KH Hasyim Asy’ari, materinya perihal adab santri atau murid kepada guru. Sedangkan Ust. Asy’ari, ngaji kitab Jurumiyah atau Nahwu, materinya tentang belajar bahasa arab. Ust. Arif (dosen Sastra Arab UNS), kajiannya kitab Fatkhul Qorib, fiqh. Ust. Alfan (guru SD Ta’mirul Islam, kajiannya adalah ASWAJA, kitab Risalah Aswaja, dan lainnya.”[12]

Melihat materi yang disampaikan diambil dari pesantren dan banyak santri Omah ngaji tidak memiliki latar belakang pesantren, maka beberapa materi metode pengajarannya yaitu kontekstual. “… Aturan dalam kitab itu hanya patokan, tetapi saya lebih kepada kontektualnya. Jadi, saya kontekstualisasikan dengan masyarakat sekarang.”[13] Dengan begitu, generasi milenial lebih mudah memahami apa yang dimaksudkan.

Setiap materi yang disampaikan, santri diharapkan mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam menghadapi masalah harus dilihat dari berbagai sudut pandang,[14] jujur, menghargai pendapat orang lain, tertib, taat aturan,[15] menjunjung tinggi nilai toleransi, dan bersikap tawadu’.[16] Sebagaimana pernah dikatakan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal, K.H. Nasaruddin Umar bahwa semakin dalam pemahaman keagamaan seseorang seharusnya semakin moderat dan toleran. [17]

Selain itu, setiap hari kamis malam selalu dilaksanakan yasin tahlil dan sholawatan. Supaya keberadaan omah ngaji sebagai institusi resmi menjadi kebutuhan dakwah generasi milenial yang mampu menciptakan kesalehan individual dan sosial sehingga bisa menjadi counter dalam menangkal gerakan-gerakan yang sifatnya formalistik dan eksklusif.

Pemahaman dan Praktik Keagamaan Generasi Milenial

Kebebasan ekspresi keagamaan dimulai sejak tahun 2000-an, ketika itu Gus Dur mengeluarkan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2000 yang isinya memperbolehkan warga etnis Tionghoa untuk menyelenggarakan kegiatan keagamaannya. Dengan dikeluarkannya Inpres tresebut, masyarakat Tionghoa memiliki kesempatan dan kebebasan untuk merayakan hari keagamaannya. Implikasinya secara luas, Inpres tersebut memberikan kebebasan beragama secara umum.[18]

Menuru Elizabeth K. Nottingham dalam buku Jalaludin, agama adalah gejala yang berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta.[19] Sedangkan menurut Max Muller mengatakan bahwa “Agama terbentuk dalam pikiran sebagai suatu yang tampak, dapat mempengaruhi karakter moral dari seorang manusia.”[20] Selain itu, Agama atau religi didefinisikan sebagai “hubungan antara manusia dengan Jang Maha Kudus, dihajati sebagai hakikat bersifat gaib, hubungan mana menjatakan diri dalam bentuk kultus serta ritus dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.”[21]

Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa agama bukanlah semata-mata turun temurun dari orang tua. Akan tetapi, agama memiliki makna yang kuat yaitu sebagai pedoman dalam berperilaku dan kepercayaan untuk hidup bertuhan dengan baik.

“Agama adalah sebuah pegangan, pedoman, dan peraturan yang mengatur manusia untuk tidak melakukan kekacauan. Maksud dari pedoman yaitu pedoman bagaimana kita bersikap, bertutur, dan bertindak serta bagaimana kita beretika terhadap tuhan, lingkungan, alam, dan sesama manusia. Apabila agama sebagai pegangan hilang, maka jatuhlah kita. Agama mengajarkan tentang adanya kehidupan setelah di dunia.”[22]

Akan tetapi, agama yang dijadikan pedoman adalah agama yang sesuai dengan keyakinan masing-masing individu. Apabila yang diajarkan adalah hal hal yang positif, maka manusia akan terdorong pada kebaikan, dan sebaliknya. Mengingat bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang sekular mayoritas pemeluk agama Islam. Saat ini lebih dari 207 juta orang muslim yang tinggal di Indonesia, sebagian besar muslim sunni.[23]

Kendati demikian, Clifford Geertz mengatakan bahwa Islam tidak pernah sungguh-sungguh dipeluk khususnya di Jawa. Geertz memilah masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan utama: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks; priyayi, kalangan bangsawan yang dipengaruhi terutama oleh tradisi-tradisi Hindu-Jawa; abangan, masyarakat desa pemeluk animisme. Namun, Suparlan menyebut varian mistik orang-orang Islam Jawa (priyayi dan abangan) sebagai kejawen. Sementara, kompleksitas doktrin dan ritual yang dikaitkan dengan kalangan santri akan disebut sebagai Islam normatif atau kesalehan normatif yang sesuai dengan hukum Islam.[24]

“Kesalehan berarti kesesuaian perilaku dalam beragama. Kesalehan terbagi menjadi 2 yaitu sosial dan spiritual. Kesalehan sosial berarti seseorang itu berbuat baik kepada orang lain dengan menebar kedamaian, tidak menganggu, merampas hak orang lain, dan baik pada lingkungan, masyarakat, dan sebagainya. Sedangkan kesalehan spritual itu bagaimana sholat dengan baik, ibadah dengan baik, atau mengaitkan antara pribadi seseorang dengan Allah.”

Jadi, kesalehan merupakan perbuatan baik sebagai cerminan dari perintah agama. Generasi milenial yang hidup dalam keadaan dunia sudah mellek internet dan bergelimang teknologi membuat otoritas pemerintah serta dogma agama tidak memiliki kuasa penuh dalam mengontrol pikiran masyarakat. Pasalnya, seseorang dapat mengakses informasi dan pengetahuan dengan cepat dan mudah melalui ‘search engine’ atau media sosial. Disinyalir dengan hadirnya agama pada mereka dengan wajah yang kaku, beringas, kasar, cenderung mengekang dan posesif, memagari kebebasan, saling mengkafirkan, dan saling menyalahkan antar golongan memberi anggapan bahwa ajaran agama seakan-akan tidak sesuai dengan kondisi sosial saat ini. Hingga pada titik dimana generasi milenial bertanya: “Apa maksud agama? Untuk apa agama? Apakah saya harus percaya pada ‘kebenaran absurd’ yang menyebabkan konflik antar sesama manusia?”

Kenyataannya, masyarakat yang tidak beragama di banyak negara tidak semakin surut, justru atheisme semakin berkembang pesat di seluruh belahan dunia. Negara-negara komunis dan liberal yang identik dengan ateis akan terlihat kehidupan yang hedonis dan melegalkan hal-hal yang dilarang agama. Arab Saudi, diperkirakan ada 5% penduduk mengaku Atheis atau menentang ide-ide ketuhanan, presentase tersebut sama dengan jumlah penganut Atheis di Amerika Serikat. Menurut Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa, maraknya ateisme di negara-negara Timur Tengah disebabkan oleh aksi radikal, ekstrimisme, dan terorisme yang mengatasnakan agama. Sedangkan agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan dan perdamaian.[25]

Maka, penting bagi generasi milenial memahami dan mempraktikkan makna agama secara benar.

“Materi Adabul ‘Alim wal Muta’alim membuat saya lebih bersikap tawadhu dan mengontrol diri pada dosen, serta mencari keberkahan dengan tidak berlaku buruk terhadap ahli ilmu. Soalnya banyak teman yang gara-gara dosen yang tidak enak  dalam proses belajar mengajar secara terang terangan digrub atau dikampus cerita dengan sedikit menggunjing atau merendahkan. Materi aswaja mengajarkan tentang nilai-nilai toleransi dan belajar untuk tidak mudah menyalahkan karena masyarakat di sekitar kampus UNS tidak semua sepemahaman.”[26]

   Kemudian, mengimplementasikan nilai-nilai pancasila, Undang-undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga terciptanya suasana aman dan damai sesuai konsep agama Rahmatan Lil Alamin yaitu memberikan manfaat dan kasih sayang kepada alam, membuka ruang kebebasan berpendapat, serta mengenal dan menghargai keragaman.

Metode Dakwah di Era Milenial

Menurut Habib Muhsin, Dakwah adalah sebuah proses penyampaian informasi tentang ajaran Islam dengan tujuan merubah sikap dan tingkah laku seseorang agar lebih positif. Dimensi perubahan ke arah kemajuan atau positif adalah karakteristik dasar yang semestinya menjadi acuan dalam kajian dakwah.[27]

“Menebar ujaran kebencian itu bukan dakwah. Dakwah itu berarti mengajak dan pasti memperlihatkan yang baik terlebih dahulu. K.H. Ahmad Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus, dakwah itu diibaratkan dengan kondektur bus. Bagaimana kondektur bus itu? mereka mempromosikan yang bagus, jika sebaliknya berarti sudah bertentangan dengan semangat dakwah Rasulullah SAW.”[28]

Mengingat, jika dahulu dakwah Islam dilakukan secara sederhana dengan mendatangi rumah ke rumah untuk memberikan materi pendidikan Islam, saat ini aktivitas dakwah dilakukan dengan beragam metode, strategi, dan media.[29] Dengan kemajuan dan kecangihan alat-alat serta media komunikasi yang ada, sekarang konten dakwah generasi milenial harus banyak unsur virtualnya.

Generasi milenial yang bergantung pada teknologi dan masif menggunakan laptop, iPad, smartphone, TV, dsb tiap harinya menjadikan media sosial sebagai bagian sangat penting dalam koneksi sosial. Mereka lebih banyak meghabiskan waktunya dalam sehari bersama perangkat teknologi digital dan beragam aplikasi daripada dengan teman atau anggota keluarga. Inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa komunitas atau grub keagamaan untuk menyebarkan dakwah melalui media sosial, seperti facebook, twitter, whatsApp, Instagram atau telegram.

“Dakwah akan lebih menarik apabila melalui media sosial tetapi juga berpedoman pada konsep Islam Rahmatan Lil Alamin.”[30]

Selain media sosial, maraknya hiburan yang mengandung unsur keagamaan, seperti sinetron Islami, film islami, musik islami, dan novel islami mengakibatkan penyampaian pesan dan dakwah berkembang dengan pesat dan dinamis. Misalnya kemunculan grub musik Bimbo pada tahun 1980-an; booming film Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Mencari Hilal, 99 Cahaya di Langit Eropa, hingga Surga yang Tak Dirindukan[31]. Selain itu, beberapa kyai atau dai yang sangat melek teknologi seperti K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menjadi salah satu yang digandrungi saat ini. Karena konten yang dibagikan selalu dikemas dengan ringan.

“Saya suka Gus Mus dan Gus Dur. Saya juga sering dengar ceramah Prof. Nadirsyah Hosen di akun IG @digitalpesantren, terkadang beliau ceramahnya live Instagram.”[32]

Kemajuan teknologi diharapkan tidak mengakibatkan masyarakat terpecah belah dan tidak setara karena telah banyak penindasan baik dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial keagamaan. Teknologi informasi juga mendorong kelompok garis keras untuk memperluas jaringan untuk memobilisasi individu-individu melakukan kejahatan baik online maupun offline. Dengan begitu, Omah Ngaji setidaknya bisa menjadi counter melawan konten-konten berbau radikalisme yang mulai banyak di media sosial dengan memposting konten yang santun dan toleran.

Selain itu, metode penyampaian materi dengan memasuki psikologi seseorang juga diperlukan. Misalnya mereduksi kata kata dari sebuah film yang sedang viral. Karena dakwah berkembang dengan cepat, yang selama ini dilakukan dengan metode pendekatan ceramah atau tablig atau komunikasi satu arah atau pengajian taklim menjadi komunikasi dua arah.

“Di Omah Ngaji, setelah pengajian taklim, kemudian hasilnya direduksi menjadi rangkuman atau tulisan dan diupload melalui media digital, seperti Islami.co. Jadi mereka bisa membaca ulang, dan bisa melihat tulisan lain yang ramah dan moderat.”[33]

Tidak hanya ceramah, konten dakwah generasi milenial harus banyak unsur virtualnya. Misalnya, quote, meme, komik skrip, infografis, dan video seiring dengan tren vlog. Kini media sosial digunakan oleh sebagian besar pengguna muda untuk menonton video dibandingkan untuk bersosialisasi. Dengan begitu, peluang bagi portal media Islam harus menyajikan dakwah dalam bentuk yang menarik. 

Penutup

Komunitas Omah Ngaji menjadi salah satu upaya untuk menangkal ujaran kebencian, hoax, ekstremisme, radikalisme, sampai terorisme. Melalui penyajian materi yang kontekstual diiringi dengan ustad melek teknologi membuat generasi milenial semakin tertarik belajar keagamaan. Mengingat metode penyampaian dakwah mulai berkembang dengan pesat, maka penanaman tentang pemahaman agama sebagai sebuah pegangan, pedoman hidup, dan peraturan yang mengatur manusia untuk tidak melakukan kekacauan menjadi penting. Misalnya media sosial harus menghadirkan konten-konten yang santun dan toleran sesuai konsep Islam Rahmatan Lil Alamin yang dikemas sederhana.

Generasi milenial lebih tertarik dengan hadirnya meme, quote, film, video atau vlog yang mengandung konten-konten ringan. Selain itu, pengajian taklim yang kemudian materinya direduksi menjadi rangkuman dan di upload di media massa agar mudah dibaca ulang. Kemudian, metode penyampaiannya harus memasuki psikologi generasi milenial, misalnya akhir-akhir ini sedang viral kalimat “Rindu itu berat, kamu nggak akan kuat” di film dilan diubah menjadi “Ngaji itu berat, kamu harus kuat”. Itulah yang harusnya digunakan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk menyebarkan ujaran kabajikan sesuai dengan semangat dakwah Rasulullah bukan ujaran kebencian, fake news atau hoax.

Daftar Pustaka

Hidayati, Miftakhul Lina. “Metode Dakwah K.H. Abdurrahman Navis Dalam Program Fajar Syiar Di Radio El-Victor Surabaya.” UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018.

Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.

Kristina, Ayu. Agama, Peradaban Dan Perekonomian. Edited by Putri Wulansari. Yogyakarta: Ruang Desain, 2018.

———. Membumikan Nalar Kritis Akademis. Edited by Gandhang Khandiridho and David Zinudin. 1st ed. Yogyakarta: UD Ruang Desain, 2017.

Marfu’ah, Usfiyatul. “Strategi Komunikasi Dakwah Berbasis Multikultural.” Islamic Comunication Journal 2, no. 2 (2017): 147–161.

Menzies, Allan. Sejarah Agama Agama. Yogyakarta: Forum, 2014.

MN, Aguk Irawan. “Dialektika Tradisi Dan Intertekstual Dalam Manuskrip.” Alif.id. Last modified 2018. Accessed July 9, 1BC. https://alif.id/read/aguk-irawan-mn/dialektika-tradisi-dan-intertekstual-dalam-mansukrip-b210506p/.

Muthmainah, Sitti. “Peran Dakwah Dalam Mengatasi Konflik-Konflik Sosial Masa Kini.” Jurnal Dakwah Tabligh 15, no. 2 (2014): 245–257.

Ramdan, Irsyad. “Metode Dakwah Bi Al- Lisan Da’iyah Khoiriyah Dalam Membina Akhlak Remaja Di Kampung Mataram Kelurahan Putat Jaya Surabaya.” UIN Sunan Ampel, 2018.

Romadoni, Ahmad. “Imam Besar Istiqlal: Makin Paham Agama, Orang Semakin Toleran.” Liputan6.com. Jakarta, April 5, 2017. https://www.liputan6.com/news/read/2911026/imam-besar-istiqlal-makin-paham-agama-orang-semakin-toleran.

Rosyidi, Imron. “Komunikasi Dan Dakwah : Ihtiar Integrasi Keilmuan Dan Urgensi Kekinian.” Jurnal Madania 5, no. 1 (2015): 75–91.

———. “Komunikasi Dan Dakwah: Ihtiar Integrasi Keilmuan Dan Urgensi Kekinian.” Jurnal Madania 5, no. 1 (2015): 75–91.

Sukardi, Akhmad. “Metode Dakwah Dalam Mengatasi Problematika Remaja.” Al-Munzir 9, no. 1 (2016): 12–28.

Suriani, Julis. “Komunikasi Dakwah Di Era Cyber.” Jurnal An-nida’: Jurnal Pemikiran Islam 41, no. 2 (2017): 252–265.

Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Edited by Tati Hartimah, Abdul Choir, Testriono, Olman Dahuri, and Setyadi Sulaiman. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009.

Woodward, Mark R. Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Edited by Amirudin and Nuruddin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.

Yasin, Muhammad. “Agama Generasi Z Adalah Islam Rahmatan Lil Alamin.” Islami.co. Last modified 2018. Accessed July 16, 1BC. https://islami.co/agama-generasi-z-adalah-islam-rahmatan-lil-alamin/.

Yuswohady, Iryan Herdiansyah, Farid Fatahillah, and Hasanuddin Ali. Gen M: Generation Muslim. Edited by Eka Saputra and Baiq Nadia Yunarthi. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2017.

“Islam Di Indonesia.” https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.

Wawancara Imaamah Khotun Nisa’, 13 Juni 2018

Wawancara Fawwaz Muhammad, 30 Juni 2018

Wawancara Fatihul Ihsan, 1 Juli 2018

Wawancara Rahmalia Fauza Maulida Ulya, 30 Juni 2018

Wawancara Abdul Halim, 9 Juli 2018


[1] Julis Suriani, “Komunikasi Dakwah Di Era Cyber,” Jurnal An-nida’: Jurnal Pemikiran Islam 41, no. 2 (2017): 252–265.

[2] Ayu Kristina, Membumikan Nalar Kritis Akademis, ed. Gandhang Khandiridho and David Zinudin, 1st ed. (Yogyakarta: UD Ruang Desain, 2017).

[3] Usfiyatul Marfu’ah, “Strategi Komunikasi Dakwah Berbasis Multikultural,” Islamic Comunication Journal 2, no. 2 (2017): 147–161.

[4] Sitti Muthmainah, “Peran Dakwah Dalam Mengatasi Konflik-Konflik Sosial Masa Kini,” Jurnal Dakwah Tabligh 15, no. 2 (2014): 245–257.

[5] Marfu’ah, “Strategi Komunikasi Dakwah Berbasis Multikultural.”

[6] Imron Rosyidi, “Komunikasi Dan Dakwah : Ihtiar Integrasi Keilmuan Dan Urgensi Kekinian,” Jurnal Madania 5, no. 1 (2015): 75–91.

[7] Irsyad Ramdan, “Metode Dakwah Bi Al- Lisan Da’iyah Khoiriyah Dalam Membina Akhlak Remaja Di Kampung Mataram Kelurahan Putat Jaya Surabaya” (UIN Sunan Ampel, 2018).

[8] Akhmad Sukardi, “Metode Dakwah Dalam Mengatasi Problematika Remaja,” Al-Munzir 9, no. 1 (2016): 12–28.

[9] Miftakhul Lina Hidayati, “Metode Dakwah K.H. Abdurrahman Navis Dalam Program Fajar Syiar Di Radio El-Victor Surabaya” (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018).

[10] Sukardi, “Metode Dakwah Dalam Mengatasi Problematika Remaja.”

[11] Dalam Aguk Irawan MN, “Dialektika Tradisi Dan Intertekstual Dalam Manuskrip,” Alif.id, last modified 2018, accessed July 9, 1BC, https://alif.id/read/aguk-irawan-mn/dialektika-tradisi-dan-intertekstual-dalam-mansukrip-b210506p/. Sanadnya yaitu atas perintah gurunya, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga diperintah menyadur naskah Kemandalaan-Majapahit, Silakrama karya Empu Prapanca, hasilnya adalah Serat Dewa Ruci. Kitab ini kemudian diajarkan kepada Sunan Bayat, hasilnya Nitibrata. Diajarkan kepada Ki Ageng Donopuro hasilnya Swakawiku. Diajarkan kepada Kiai Hasan Besari hasilnya adalah Krama Nagara. Diajarkan kepada Kiai Anggamaya hasilnya adalah Dharmasunya. Dijarkan kepada Kiai Yosodipura I hasilnya Sana Sunu. Diajarkan kepada Kiai Katib Anom hasilnya adalah Wulang Semahan. Diajarkan kepada Kiai Shaleh Asnawi hasilnya adalah Dasasila. Diajarkan kepada Kiai Sholeh Darat hasilnya adalah Sabilul Abid. Diajarkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari hasilnya adalah Adabul ‘Alim wal Muta’alim.

[12] Wawancara Imaamah 13/06/2018

[13] Wawancara Abdul Halim 9/7/2018

[14] Wawancara Fawwaz 30/06/2018

[15] Wawancara Rahmalia 30/06/2018

[16] Wawancara Imaamah 13/06/2018

[17] Ahmad Romadoni, “Imam Besar Istiqlal: Makin Paham Agama, Orang Semakin Toleran,” Liputan6.com (Jakarta, April 5, 2017), https://www.liputan6.com/news/read/2911026/imam-besar-istiqlal-makin-paham-agama-orang-semakin-toleran.

[18] Yuswohady et al., Gen M: Generation Muslim, ed. Eka Saputra and Baiq Nadia Yunarthi (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2017).

[19] Jalaludin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012).

[20] Allan Menzies, Sejarah Agama Agama (Yogyakarta: Forum, 2014).

[21] Ayu Kristina, Agama, Peradaban Dan Perekonomian, ed. Putri Wulansari (Yogyakarta: Ruang Desain, 2018).

[22] Wawancara Abdul Halim 9/7/2018

[23]“Islam Di Indonesia,” https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69.

[24] Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan, ed. Amirudin and Nuruddin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017).

[25] Muhammad Yasin, “Agama Generasi Z Adalah Islam Rahmatan Lil Alamin,” Islami.co, last modified 2018, accessed July 16, 1BC, https://islami.co/agama-generasi-z-adalah-islam-rahmatan-lil-alamin/.

[26] Wawancara Imaamah 13/06/2018

[27] Imron Rosyidi, “Komunikasi Dan Dakwah: Ihtiar Integrasi Keilmuan Dan Urgensi Kekinian,” Jurnal Madania 5, no. 1 (2015): 75–91.

[28] Wawancara Abdul Halim 9/07/2018

[29] Ayu Kristina, Membumikan Nalar Kritis Akademis.

[30] Wawancara Abdul Halim 9/07/2018

[31] Yuswohady et al., Gen M: Generation Muslim.

[32] Wawancara Imaamah 13/06/2018

[33] Wawancara Abdul Halim 9/07/2018