Penerjemahan Video Game

Perkembangan video game begitu cepat, dengan munculnya banyak game-game baru yang sangat menarik. Di Indonesia hampir semua game yang beredar kesemuanya dari luar negeri, bisa dikatakan bahwa game-game yang ada adalah game import. Game tersebut tentu saja masih menggunakan bahasa dan juga unsur-unsur budaya asalnya (Inggris/Jepang). Akan tetapi ketika game tersebut masuk ke Indonesia, maka pengguna game dari Indonesia akan sangat asing dengan game itu. Dan juga cenderung tidak paham dengan tampilan dari game tersebut.

Menjawab masalah itu sekarang ini banyak di lakukan lokalisasi game-game impor yang beredar di Indonesia, hal ini sebagai salah satu cara untuk memberikan cita rasa Indonesia pada game-game import. Lokalisasi sendiri berarti menjadikan produk elektronik utamanya piranti lunak dan keras yang diterjemahkan kedalam budaya dan bahasa lokal. Ini dilakukan agar piranti lunak maupun keras itu dapat digunakan secara maksimal dan lebih terasa dekat dengan penggunanya. Untuk melakukan lokalisasi seorang penerjemah harus memiliki tiga kemampuan utama yaitu kemampuan komputer, budaya dan penerjemahan.

Untuk membantu para penerjemah melakukan lokalisasi itulah maka buku ini muncul. Buku yang di tulis dengan bagus oleh dua bersaudara Luthfie Arguby dan Lukfianka Sanjaya ini diharapkan bisa memberikan pemahaman baru akan proses lokalisasi game. Teori-teori dasar mengenai penerjemahan dan lokalisasi disajikan dengan padat dan jelas dalam buku ini. Seperti contonya dalam buku ini digambarkan bagaimana lokalisasi game Grand Theft Auto (GTA) San Andreas oleh Andy Setyo dari Black Book Digital. Disini dia menggunakan teknik moddling, yaitu proses merubah objek digital dengan software tertentu untuk memberikan kesan lokal secara budaya dalam gamenya. Seperti disitu truk tangki yang bertuliskan Pertamina dan bilboard-nya dengan iklan provider Telekomunikasi dan Direktorat Jendral Pajak.

Disamping itu buku ini juga menyajikan tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh para penerjemah game. Baik itu tantangan teknis maupun non teknis. Kesalahan-kesalahan dalam penerjemahan juga menjadi tantangan bagi para penerjemah. Terutama mengenai kesalahan gramatikal dan juga unsur-unsur budaya dan kebiasaan dalam berbahasa. Seperti penerjemahan yang muncul dalam game Zelda II: The Adventure of Link, dimana tokoh game mengungkapkan I am Error untuk menyatakan kesalahan dimana hal itu tidak lazim dalam bahasa Inggris yang seharusnya dinyatakan dengan I am wrong.

Dalam buku ini juga di sajikan bagaimana penerjemahan dengan pendekatan budaya popular dan juga hermeneutika. Sehingga pembaca yang ingin belajar mengenai penerjemahan video game akan sangat terbantu dengan hadirnya buku ini. Buku ini pun bisa dikatakan sebegai buku tentang penerjemahan yang cukup bagus terutama karena jarangnya buku-buku yang membahas mengenai penerjemahan untuk video game. Maka sangat layak sekali buku ini dimiliki oleh para pelaku dan praktisi penerjemahan. (Muntaha)