Pendidikan Multikultural di Sekolah

Iklim demokrasi tengah bersemi di bumi nusantara Indonesia. Publik dunia pun sangat mengakui bahwa bangsa Indonesia telah berhasil membangun sistem demokrasi terbesar di dunia setelah tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998. Namun iklim demokrasi yang baru bersemi di bumi nusantara ini baru sebatas dalam konteks politik saja. Oleh karena itu, agenda terberat bagi bangsa ini adalah, bagaimana menerapkan sistem demokrasi itu ke dalam aspek-aspek kehidupan berbangsa ?

Dalam hal ini, demokrasi dalam konteks pendidikan belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, bisa dikatakan bahwa pendidikan belum mencerminkan atas kekuasaan rakyat semesta. Jika kita sepakat bahwa sistem demokrasi itu bermuara pada seluruh kepentingan rakyat, maka penyelenggaraan pendidikan nasional harus benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat itu. Namun, kenyataannya sekarang, pendidikan bukan lagi menjadi kepentingan rakyat.

Pada era demokrasi, penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada kepentingan kehidupan rakyat. Realitas kehidupan rakyat Indonesia sangat heterogen, baik dalam aspek kemampuan diri, kehidupan ekonomi, ras, agama, suku, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan di era demokrasi saat ini harus mengandung wawasan kebhinekaan atau multikulturalisme.

Memahami Pendidikan Multikultural

Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.

Menurut Musa Asy’arie (2005), Pendidikan Multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Jadi dengan adanya pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Sedangkan menurut Mu’arif (2008), paradigma pendidikan yang berwawasan multikultural sebenarnya berangkat dari suatu kesadaran, bahwa setiap manusia potensi-potensi yang berbeda. Berarti setiap manusia memiliki perbedaan potensi (kemampuan), maka proses pendidikan wajib dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Jangan sampai setiap potensi yang dimiliki peserta didik diabaikan begitu saja. Sebab yang demikian akan menimbulkan model penindasan baru dalam lembaga pendidikan.

Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.

Maraknya para pakar dan praktisi pendidikan yang mulai melirik paradigma multikultural mengindikasikan bahwa selama ini wajah pendidikan kita kurang mengakomodir perbedaan-perbedaan kultur yang dibawa oleh para peserta didik. Malah terkesan jika model-model yang digunakan dalam pembelajaran cenderung mengabaikan potensi-potensi peserta didik.

Revitalisasi

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kegiatan kepramukaan merupakan salah satu pondasi untuk membangun cara hidup multikultural yang bertujuan untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepramukaan tidak realitas terhadap perubahan-perubahan sosial masyarakat yang saat ini dalam tekanan budaya global yang lebih cenderung materialistik dan hedonistik.

Berdasarkan hal diatas maka perlu adanya sebuah revitalisasi dalam setiap mata pelajaran untuk selalu menyesuaikan dengan kondisi yang saat ini berkembang. Sebab sebuah ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari realitas, baik ilmu sebagai produk, proses, maupun masyarakat. Maka saat teori itu diajarkan, sebenarnya realitas telah berubah. Apalagi dalam rentang waktu panjang saat anak didik menyelesaikan pendidikannya.

Bagaimanapun juga pendidikan kita harus diubah menjadi realitas. Pendidikan harus menyerap realitas dan menjadi jawaban atas realitas. Karena itu, pendidikan merupakan dunia perubahan yang terus menerus, yang tidak hanya sekedar menghafal teori-teori saja. Akan tetapi, berterori sesuai dengan realitas yang terjadi saat ini.

Pendidikan bagaimanapun juga harus dapat menawarkan konsep ilmu yang aktual. Proses pembelajaran keilmuan tidak boleh dilepaskan dari realitas kehidupan aktual yang harus dikritisi secara rasional.

Artikel ini pernah dimuat di Harian Umum Joglosemar (4/11)