Terorisme, Agama, dan Tatanan Dunia Baru

Dhofir edit

Oleh: Mudofir Abdullah

(Rektor IAIN Surakarta)

Zaman baru bagai petir, membuat tumpukan jerami mudah terbakar Alam liar ataupun taman tiada yang aman dari serangannya. Dalam api baru ini, bangsa-bangsa tua bagaikan ikatan ranting di atas api unggun. Pengikut Rasul terakhir terbakar dalam apinya (Muhammad Iqbal, 1877-1938)

           Ledakan bom dan baku tembak di jalan Thamrin yang merenggut 7 korban tewas dan 24 luka-luka Kamisdi Jakarta (14/01) mengirim sinyal kuat bahwa Indonesia belum terbebas dari aksi terorisme. Jalan masih panjang untuk membasmi aksi-aksi teror berbasis ideologi dan keyakinan. Perlu tindakan komprehensif menangani terorisme karena ia tidak saja menyangkut doktrin, motif politik dan kesenjangan sosial-ekonomi, tetapi juga terkait rasa keadilan global dan ideal-ideal keagamaan yang hendak diwujudkan para pelaku.

           Setelah lebih dari tujuh tahun masyarakat merasa aman, teroris kini membuat aksi lagi. Tewasnya Osama bin Laden dan para tokoh Al Qaidah, tidak menyurutkan semangat para pengikutnya untuk melanjutkan “jihad” melawan musuh. Musuh-musuhnya semakin meluas karena doktrin “jihad” versi mereka adalah melawan kemungkaran dan ketidakadilan global. Kemungkaran bisa direpresentasikan oleh budaya Barat yang secara global melanda dunia Muslim. Juga diartikulasikan oleh para penguasa negara yang dianggap memusuhi umat Islam beserta para aparat kepolisian, militer, dan tokoh-tokoh masyarakat yang membelanya.

Lebih Radikal

           Peledakan di jalan Thamrin kemarin tidak berdiri sendiri. Wakapolri Jenderal Budi Gunawan menengarai keterkaitannya dengan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Meski masih perlu dibuktikan, tengara ini menunjukkan bahwa para pelaku adalah perpanjangan dari jaringan global, dari sel-sel teroris tersisa yang telah dimanfaatkan oleh ISIS.

           ISIS adalah kelompok Islam radikal Sunni yang gerakannya jauh lebih berbahaya. Kini dia tercatat sebagai gerakan radikal dengan aset terkaya di dunia. Menguasai kilang minyak di sejumlah daerah Irak dan paberik kimia peninggalan Sadam Husein. Dengan aset semacam ini, ISIS punya kemampuan melampaui Jamaah Islamiyah pimpinan Ayman Jawahiri dan al-Qaidah pimpinan Osama bin Laden tahun 1990 dan 2005-an. Ditambah doktrin jihad global melawan orang-orang “kafir”, daya rusak ISIS cukup mengkhawatirkan dunia.

           Visi ISIS pada dasarnya adalah visi global untuk menata dunia menurut perspektif teologi dan pandangan dunia para pimpinannya. Semua yang berada di luar mazhab ISIS adalah salah dan kafir. Doktrin takfir menghalalkan orang untuk membunuh siapa saja, termasuk warga sipil di luar jaringan mazhabnya. Ansyad Mbai mantan Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) bahkan menyatakan ISIS lebih berbahaya dari Jamaah Islamiyah dan al-Qaidah yang pernah merobohkan dua Menara Kembar (World Trade Centre) di Amerika Serikat 11 September 2001. Jika demikian, maka ISIS adalah ancaman dunia dan semua bangsa perlu melindungi warganya dari ancaman tersebut.

           Beberapa sumber menyebutkan bahwa ISIS adalah ciptaan Amerika yang dibentuk untuk melawan rejim Basyar Assad yang Syi’ah dan pro Rusia. Tapi ketika sudah terbentuk, ISIS dan para pimpinannya tak mampu dikendalikan lagi. Mereka memiliki agenda sendiri dengan memasukkan elemen-elemen jihad global dalam visi organisasinya. Seperti bola liar, ISIS semakin meluas dan justru mendeklarasikan diri sebagai Negara Islam bertujuan global serta menampung semua warga dunia untuk bersatu. Selama lebih dari dua tahun, ISIS telah menimbulkan ribuan korban baik di dalam maupun luar negeri.

           Dunia Islam telah menolak garis-garis ideologi dan teologi ISIS yang mengedepankan kekerasan dan dianggap telah mencederai citra Islam yang rahmatan lil-alamin. ISIS dianggap telah memelintir doktrin jihad dan hanya memenuhi ambisi segelintir pimpinanannya yang tidak bernalar kemanusiaan. Alih-alih membangun peradaban Islam, ISIS justru menghancurkannya lewat kekerasan global. Peledakan Paris dan Jakarta baru-baru ini adalah ulah ISIS. Bahkan sepanjan November ISIS telah menewaskan 5000 jiwa secara mengenaskan. Membangun peradaban tidak dengan kebrutalan yang anti kemanusiaan, tetapi justru melalui karya-karya kreatif kebudayaan, pendidikan, dan pembangunan ruhani serta jasmani.

Tatanan Dunia Baru

           Ketika George W. Bush menyerukan tatanan dunia baru, Osama bin Laden yang sedang bersembunyi di gua Tora Bora Afghanistan menyatakan bahwa organisasinyalah yang layak membuat tatanan dunia baru itu. Menurut Osama, kalau Amerika dan sekutunya yang menata dunia ini, maka kemungkaran dan ketidakadilan akan terus lahir. Itulah sebabnya Jamaah Islamiyah pimpinan Jawahiri bergabung dengan Osama untuk bersama-sama menata dunia ini agar sesuai dengan Syariah Islam versi mereka.

           Cita-cita besar Al Qaidah sangat ambisius, bersemangat, dan irasional. Musuhnya tidak lagi Rusia yang komunis dan Amerika yang kapitalis. Tetapi telah bergeser ke arena global dengan memerangi negara-negara yang dipimpin oleh kaum sekuler dan telah memusuhi mereka. Kini Al Qaidah telah berubah bentuk menjadi ISIS dengan ideologi yang lebih radikal. Cita-cita besar ISIS adalah menata dunia ini agar lebih Islami; agar semua orang tunduk pada ketentuan Syariah; dan agar Palestina serta negara Islam yang tertindas lainnya dapat tegak dan mengalahkan negara-negara kafir.

           Tatanan dunia baru atau the new world order adalah istilah yang dipakai untuk menyebut periode sejarah modern manapun yang mengalami perubahan pemikiran politik dunia dan keseimbangan kekuasaan yang besar. Dalam perspektif Amerika, tatanan dunia baru adalah dunia yang demokratis, menghargai hak-hak asasi manusia, mematuhi hukum, dan bekerjasama. Namun pengertian ini sering disempitkan hanya untuk kepentingan Amerika sendiri. Itulah sebabnya, istilah tatanan dunia baru sering berkonotasi “menata negara-negara Muslim yang tidak patuh” melalui kebijakan standar gandanya. Irak, Iran, Pakistan, Mesir, dan lain-lainnya telah menjadi sasarannya selama sejarah modern.

           Karena itu, terjadi benturan terus-menerus antara Amerika dan lainnya, terutama dunia Islam. Samuel P. Huntington menyebutnya clash of civilization atau benturan peradaban. Tesis clash of civilization dikemukakan tahun 1992. Teori ini seperti mendapat pembenaran ketika Perang Teluk I dan II, tragedi etnic cleansing Bosnia-Herzegovina, tragedi 9/11, Bom Bali I dan II, dan rangkaian kekerasan bom terjadi secara global. Dunia Islam dikesankan tidak bisa menerima modernitas yang khas Barat.

           Memang harus diakui bahwa selama 200 tahun modernitas hadir dengan ciri-ciri kekuatan teknologi industri, militer dan transportasi telah mengubah peta kekuatan peradaban dunia. Peradaban Islam tergeser oleh Barat dan muncul perlawanan-perlawana budaya dan moral dari pihak Islam. Semua bangsa Muslim dijajah dan dikuras sumber daya alam dan manusiannya untuk menopang kemewahan Barat. Barat sepenuhnya mendominasi jagad sains, politik, ekonomi, dan militer. Islam menerima pukulan bertubi-tubi di berbagai wilayah Muslim, pada periode panjang yang dimulai setelah Perang Dunia I dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an.

           Munculnya modernitas dan negara-bangsa telah mengubah institusi-institusi Islam yang telah lama bertahan. Konsep “khilafah” ditantang partai-partai politik dan kelas militer modern. Konsep “imamah” ditantang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan berbagai gagasan “kedaulatan rakyat”. Sistem kekeluargaan terancam oleh fondasi-fondasi perekonomian yang berubah-ubah serta perjuangan hak kaum wanita. Pengaruh para hakim yang berpegang pada hukum Syariah harus tersingkir karena hukum-hukum sipil dan pidana baru yang sekuler. Pasar-pasar terbuka bazar, sistem pengrajin, dan pola-pola perdagangan tradisional digeser oleh korporasi, keuangan berdasarkan bunga, dan investasi asing. Daftarnya tidak berujung dan mencakup segalanya. Marshall G. Hodgson pada bab terakhirnya The Venture of Islam menulis “Islam sebagai suatu tradisi institusional yang khas mungkin tidak akan berlangsung selamanya”.

           Intinya, modernitas telah melemparkan peradaban Islam di pinggiran dan menempatkannya sebagai anak yatim sejarah. Barat di sisi lainnya, terus-menerus membordir bangsa-bangsa Muslim dengan nilai-nilai baru yang dianggap merampas kesetiaan umat pada agamanya sendiri. Dalam krisis identitas diri inilah, sebagian umat Islam yang mengalami kejutan budaya melakukan perlawanan terhadap Barat dan simbol-simbolnya. Sebagian melalui strategi kebudayaan, sebagian yang lain melalui partai politik, dan sebagian lagi melalui jalan kekerasan.

           Saya menduga, kekerasan demi kekerasan yang dilakukan para “jihadis” terhadap Barat dan kepentingannya atau sebaliknya adalah artikulasi dan perulangan dari benturan-benturan di atas selama berabad-abad. Sejarah kolonialisme Barat yang sangat kejam atas bangsa-bangsa Muslim juga menjadi memori publik yang menambah amunisi benturan. Karena itu, baik Barat maupun Dunia Islam sama-sama menyumbang benturan peradaban hingga kini.

           Harus diketahui bahwa gerakan radikal atas nama “tatanan dunia baru” versi Al Qaidah dan anak kandungnya ISIS bukanrepresentasi dari seluruh mazhab Islam. Para “jihadis” bergerak sendiri mengikuti perintah pimpinan yang terlebih dahulu menafsirkan ayat-ayat Quran dalam kotak teologi konspiratif yang mematok konsep “kami-mereka” atau “minna wa minhum”. Dalam kenyataannya, umat Islam tidaklah tunggal. Representasi dunia Islam diwakili oleh entitas negara-bangsa. Gerakan Islam radikal dalam sejarahnya tak pernah mendapat restu dari negara. Gerakan Islam radikal lebih mewakili organisasi-organisasi atau individu-individu yang memobilisasi orang untuk melakukan teror.

           Dengan demikian gerakan “tatanan dunia baru” dari kedua kubu—Amerika atau Barat versus ISIS dan jaringannya”—tidak pernah bisa dipertemukan. Yang satu ke utara yang lainnya ke selatan; yang satu memburu kehidupan dan yang lainnya mencintai kematian. Perspektif-perspektifnya sulit berjalan ke arah titik temu atau konvergensi konstruktif guna membangun tatanan dunia baru yang adil dan damai.

           Menurut saya, mengutuk terorisme hanya akan efektif jika pada saat yang sama dunia bertindak adil atas negara-negara Muslim. Juga menciptakan tatanan dunia baru yang adil atas dasar saling menghormati keunikan masing-masing. Para pemimpin Muslim—termasuk kaum elitnya (para ulama, pendidik, penulis, dan tokoh politik) memberikan wawasan-wawasan yang strategis tentang manfaat modernitas. Modernitas adalah anugerah Tuhan yang pernah ada dalam kehidupan di muka bumi sembari tetap memasukkan elemen-elemen spiritual ke dalamnya. Menolak modernitas dengan seluruh nilainya sama saja dengan membalikkan jarum jam sejarah.

           Saatnya, dunia Islam bersatu dan bertindak strategis guna mempertahankan peradabannya di era modern. Satu-satunya jalan adalah dengan persatuan dan bekerjasama dengan lintas peradaban. Umat manusia menghadapi problem besar yang sama di masa depan, yakni krisis lingkungan. Bumi yang merupakan warisan satu-satunya kini sedang di ujung tanduk dengan berbagai krisis: penyusutan hutan, pencemaran, ledakan penduduk, krisis energi, ancaman nuklir, dan lain sebagainya. Dan mestinya dunia disatukan oleh problem besar ini.

Surakarta, 18 Januari 2016