Tantangan BIPA pada Era MEA

SINAR-Seiring dengan bergulirnya sistem perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka dalam bidang kebahasaan setidaknya Indonesia memiliki peluang besar dalam internasionalisasi bahasanya melalui program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Telah jamak diketahui bahwa bahasa dan kebudayaan negara kita mulai dipelajari oleh negara-negara tetangga, baik secara formal dalam beberapa jenjang pendidikan maupun nonformal melalui kursus kebahasaan. Berangkat dari kenyataan seperti itulah kemudian kebutuhan akan penutur asli (native speaker) sebagai pengajar Bahasa Indonesia pada negara-negara tersebut semakin besar.

Inilah yang kemudian melatarbelakangi diadakannya acara Sarasehan Praktisi BIPA Jogja pada kemarin Jumat, 26 Februari 2016 di Universitas Negeri Yogyakarta. Kebetulan saya ikut menghadiri acara tersebut dari awal sampai akhir, dan dari acara tersebut kemudian saya bisa mencatat bahwa terdapat tantangan yang perlu diperhatikan bersama.

Namun, sebelum lebih jauh kita membahas mengenai tantangan itu perlu diketahui bahwa Bahasa Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi bahasa ASEAN. Terbukti setidaknya secara berkala, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus mengirim pengajar BIPA ke beberapa negara ASEAN, seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Sedangkan di luar Asia Tenggara ada Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Tunisia, dan Maroko yang juga selalu mengajukan permintaan pengajar Bahasa Indonesia. Tentunya ini menjadi angin segar yang tak bisa kita lepas begitu saja.

Hal ini menandakan bahwa antusiasme masyarakat internasional untuk mempelajari bahasa dan budaya Indonesia cukup tinggi. Dan memang benar, peluang ini kemudian disambut riuh rendah oleh para akademisi kita. Setidaknya ini terlihat dari banyaknya peserta sarasehan pada acara yang saya hadiri itu. Didominasi oleh kalangan mahasiswa Yogyakarta dan sekitarnya, mereka begitu bersemangat untuk bisa ikut berperan aktif dalam kegiatan tersebut.

Peluang dan Tantangan

Jika kita melihat secara sekilas kondisi di atas, ini merupakan sebuah kesempatan emas. Ibarat pepatah, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu sisi, kita sudah turut menyukseskan internasionalisasi Bahasa Indonesia dan tidak menutup kemungkinan kesempatan untuk menjadi salah satu bahasa internasional semakin besar. Di sisi lain, bagi para pengajar yang dikirim pun semakin bertambah wawasannya.

Namun demikian, di balik peluang itu juga terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan. Pertama, dari segi kesiapan pengajar. Mayoritas dari kita mengira bahwa mengajarkan Bahasa Indonesia kepada penutur asing adalah sekadar mengajarkan untuk bisa fasih menyapa, menanyakan kabar, dan melakukan percakapan sehari-hari lainnya kepada lawan tutur. Padahal tidak demikian kenyataannya. Pembelajaran bahasa tak bisa dilepaskan dari budaya di mana bahasa itu berkembang. Dengan kata lain, bahasa dan budaya adalah dua unsur yang saling berkaitan dalam keberhasilan suatu pembelajaran bahasa.

Hal ini disebabkan, bahasa adalah produk budaya dan sebaliknya perkembangan budaya suatu daerah tak bisa dilepaskan dari peran bahasa. R Kunjana Rahardi menuliskan di dalam bukunya yang berjudul Dimensi-dimensi Kebahasaan, “Sosok bahasa diyakini selalu saling bertaut-tautan secara erat sekali dengan segala aspek indeksal dari masyarakat dan lingkungan budaya yang menjadi wadahnya. Maka, lantas diyakini pula bahwa belajar bahasa juga harus dikaiteratkan dengan pemahaman ihwal kelaziman, rupa-rupa tata adat, dan aneka aspek referensi serta kondisi sosio-kultural lainnya yang ada di dalam masyarakat dan wadah kebudayaan itu” (2006: 123).

Maka dari itu, tidak heran kemudian jika kita sering menemukan video dokumentasi masyarakat asing menyanyikan salah satu lagu nasional negara kita, bersandiwara dengan berbahasa Indonesia bahkan bahasa daerah, menggelar pentas tari tradisional Indonesia, hingga video proses memasak nasi kuning bak koki ternama. Semua itu mereka lakukan dalam rangka memahami bahasa dan budaya kita. Dengan perantara produk budaya itulah mereka semakin mudah memahami Bahasa Indonesia.

Permasalahan kedua, kita harus arif dan bijak menyikapi apa sebenarnya tujuan utama mereka berbondong-bondong mempelajari Bahasa Indonesia berikut budayanya. Perlu dipahami bahwa pada wilayah Asia Tenggara saja, semisal di Thailand pada beberapa perguruan tingginya telah membuka kelas Bahasa Indonesia. Kemudian di luar Asia Tenggara, semisal di Republik Rakyat Tiongkok (China) pada beberapa universitasnya juga telah dibuka Jurusan Bahasa Indonesia. Mereka secara berkala selalu mengajukan permintaan tenaga pengajar BIPA kepada Indonesia.

Jika semua itu merupakan bentuk apresiasi positif mereka terhadap bahasa persatuan kita, tak mengapa. Justru sangat berimbas positif terhadap proses internasionalisasi Bahasa Indonesia. Hanyasaja, terdapat juga kemungkinan lain di balik itu bahwa bisa saja pihak asing ingin menguasai bahasa kita untuk dijadikan perantara agar bisa memasuki pasar Indonesia dengan lebih mudah. Di mata mereka, Indonesia adalah pasar yang potensial. Negara kita adalah negara dengan populasi penduduk yang paling besar di Asia Tenggara, maka jika mereka dapat memasuki pasarnya otomatis secara ekonomi mereka telah menguasai tanah air kita. Lantas jika demikian, apa kemudian sikap kita?

Kuasai Bahasa Asing

Tidak ada pilihan lain dalam hal ini kita harus lebih membuka paradigma berpikir kita terhadap pentingnya mempelajari bahasa asing. Saat ini hampir semua jenjang pendidikan masih menganggap bahwa yang penting peserta didik menguasai salah satu bahasa internasional (biasanya bahasa Inggris atau Arab), itu sudah cukup. Kita luput memikirkan pentingnya menguasai bahasa negara tetangga, semisal Melayu, Vietnam, Laos, Thailand, dan sebagainya.

Padahal pada era MEA, penguasaan bahasa-bahasa tersebut menjadi sangat vital. Sebab, kendala bahasa sering menjadi kendala utama para pengusaha dalam melakukan ekspansi pasarnya ke mancanegara. Sehingga ketika kelak akan datang berbondong-bondong tenaga kerja atau produk negara tetangga memenuhi pasar dalam negeri, maka sebaliknya dalam waktu yang sama kita pun juga bisa memasuki pasar mereka dan berkompetisi di sana.

Terakhir, kembali lagi pada program BIPA yang kini menjadi “seksi” di mata para praktisi dan peminat di dunianya. Bahwa untuk menjadi pengajar BIPA, tidak diharuskan sarjana Bahasa Indonesia. Bahkan seorang Sarjana Syariah pun tetap memiliki peluang untuk bisa bergiat di sana. Hanya saja, mereka harus menguasai dasar-dasar ilmu linguistik dan kaidah bahasa baku terlebih dahulu. Jangan sampai kemudian ditemukan ada pengajar BIPA yang tak bisa membedakan makna antara penembak dan petembak.

Pernah di terbitkan pada Gagasan Solopos, Selasa (15/3/2016)