Transfer Budaya Membaca dari Dosen Ke Mahasiswa

Dewi Nur Fitriana

Dewi Nur Fitriana
Mahasiswa Bidikmisi 2015 ( Jurusan Tadris Bahasa Indonesia)

Secara substansial, masa depan Indonesia salah satunya terletak ditangan pendidik, bukan ditangan mentri bahkan presiden. Tenaga pendidik diantaramya dosen memiliki peran penting dalam kemajuan pembangunan nasional. Hal ini bukan tanpa alasan karena dosen sebagai pendidik yang bersentuhan langsung dengan generasi bangsa dalam pembentukan karakter, dan soft skill seperti membaca, menulis, berbicara, berpikir analitik, kreatif dan kritis. Dosen juga menjadi rujukan mahasiswa dalam berpikir dan bertindak.

Jika merujuk pada tulisan Apriliadi Mimbar Mahasiswa Solopos Edisi Selasa (10/05/2016) yang mengatakan bahwa buku seharusnya menjadi alat pemenuhan kebutuhan ragawi mahasiswa: budaya akademisi yang dipercaya ampuh mengobati kegalauan dan kekhawatiran. Kesempatan membeli buku juga kadang tidak dipedulikan mahasiswa.

Dari tulisan ini saya beranggapan bahwa mahasiswa tidak sepenuhnya bersalah apabila akademisi Indonesia saat ini masih galau. Praktik instannya ilmu pendidikan yang di berikan dosen kepada mahasiswa menjadi salah satu pemicu buruknya budaya membaca generasi muda. Kecanggihan teknologi informasi memalaskan dosen untuk turun tangan memberi pendidikan. Dunia canggih tapi kemampuan manusia semakin sedikit yang berkualitas. Sehigga mahasiswa lebih mengandalkan produk ilmu pengetahuan instan dari pada membaca buku.

Minimnya budaya literasi dilingkungan mahasiswa tidak bisa dianggap remeh. Faktor rendahnya literasi bisa saja terjadi karena tidak adanya inspirasi dari sosok dosen kepada mahasiswa. Dosen sebagai motivator dalam pembelajaran sebisa mungkin bertindak pula sebagai inspirator. Motivator yang dapat memberi semangat kepada mahasiswa untuk meningkatkan kemampuan dan sebagai inspirator yang dapat menginspirasi mahasiswa dengan knowledge yang dimilikinya.

Transfer knowlegde dari dosen ke mahasiswa belum sepenuhnya dipahami. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan belakangan ini, sebagai mahasiswa saya sering mendapati pola pengajaran dosen yang lepas buku. Dalam artian bahwa dosen menguasai ilmu tapi tidak mengembangkannya kepada mahasiswa. Mahasiswa hanya tahu kulit luar dari ilmu tersebut. Dosen menerangkan dan mahasiswa mendengarkan. Tidak semua dosen menerapkan kewajiban membaca buku sebagai pemenuhan ragawi sehingga kultur membaca tidak diturunkan kepada mahasiswa.

Transfer knowledge dapat diwujudkan dengan transfer budaya literasi dari dosen kepada mahasiswa.Dilakukan dengan cara mengarahkan bahkan mewajibkan mahasiswa untuk membaca buku yang dapat menunjang pengetahuannya. Kemudian dosen mengajak mahasiswa berdisikusi, membedah wawasan dari tiap perspektif dari mahasiswa tersebut sehingga tumbuhlah budaya membaca dan tumbuhlah pengetahuannya berkat dari diskusi wawasan sehingga kelas akan hidup dengan budaya membaca.

Dalam buku Kampus Maut (2007) Karya Mesti Arnanda Nasution dan Agus Suryantoro dikatakan bahwa selain mengadakan tatap muka di kelas, hendaknya dosen memberikan tambahan pendalam materi berupa diskusi kelompok. Dalam buku ini juga di mengatakan bahwa dosen juga harus memberikan keteladanan dalam sikap dan sifat kepada mahasiswa juga memberikan sanksi tegas apabila dosen melanggar etika pengajaran.

Mahasiswa idealnya memang bergerak mencari informasi dengan lebih luas. Tetapi dosen sebagai pendidik sebaiknya mengarahkan mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Dalam bukuNgapain Kuliah Kalau Nggak Bisa Sukses? (2008) karya Heri Kuswaramengatakan bahwa komitmen belajar mahasiswa dan tersedianya berbagai sarana kampus tidak cukup untuk mencetak sumber daya manusia yang andal. Salah satufaktor yang tidak kalah penting adalah kualitas dosen sebagai staf pengajar dan pendidikan mahasiswa.

Dosen yang berkualitas tentu mempunyai berbagai referensi literatur yang dapat menumbuhkan budaya membaca mahasiswanya. Dosen idealnya mempunyai metode dan formulasi dalam menumbuhkan kesadaran membaca mahasiswa. Dosen pun harus senantiasa meng-update dan upgrade informasi ilmu pengetahuan yang dapat menambah kreatifitas dan inovasi mahasiswa.

Sebagai mahasiswa, saya menilai kualitas dosen tergantung banyaknya buku yang pernah dosen baca dan dibawa ketika mengajar. Karena bagi saya buku merupakan suatu kekayaan yang tidak semua orang memilikinya. Tidak jarang saya menemukan dosen yang selama satu semester mengajar sama sekali tidak membawa buku ketika masuk kelas. Hanya berbekal laptop saja, bahkan sering kali saya menemukan materi yang disampaikan produk dari copy paste di internet.

Jangan sampai apa yang dikemukakan Prof. Sadli dalam artikel karya Jakop Oetama berjudul Bukuku Kakiku (2004) terjadi dikalangan akademisi, beliau mengatakan bahwa orang tidak lagi bergantung pada buku. Dengan informasi yang overlood setiap pagi dan sore dari suratkabar, majalah, TV, dan radio maupun internet, akan menimbulkan pertanyaan besar siapa yang masih butuh membaca buku?, sehingga timbul gejala mahasiswa baca buku, profesor baca majalah profesi atau buku kumpulan karangan.

Unsur penting dalam pendidikan adalah dosen yang membimbing dan mendampingi para mahasiswa. Perlu adanya kesadaran bahwa mahasiswa membutuhkan sosok dosen yang dapat menginspirasi mahasiswa untuk melakukan perubahan. Dan filosofi Jawa seakan mengakar bahwa guru sebagaimana dosen tetaplah digugu lan ditiru.