Akhir Romantisme adalah Gigitan

Oleh: Isvita Septi Wulandari

Lupakanlah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Sebuah tragedi yang tidak hanya menyangkut politik, namun juga lenyapnya nilai kemanusiaan. Gedung-gedung dan pertokoan dibakar, etnis Thionghua dianiaya dan dibunuh, serta penjarahan. Kita pun tahu dalam dramaturgi  tersebut, salah satu yang menjadi aktor figuran adalah mahasiswa. Mereka melakukanaksi demonstrasi besar-besaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyatuntuk menurunkan Soeharto dari jabatan presiden karena ketidakmampuannya dalammenjaga stabilitas ekonomi dan politik yang membuat inflasi, menjamurnya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) serta tak mampu mengendalikan ketahanan pangan.

Para aktivis mahasiswa dari berbagai organisasi pergerakan mahasiswa seluruh Indonesia seperti HMI, PMII, GMNI dan lainnya membentuk Perhimpunan Nasional Aktivis 1998 (Pena 98)bergerak ke senayan serta tempat-tempat strategis di seluruh nusantara.

Bangga bercampur iba saat membicarakan peran mahasiswa saat itu. Bangga karena setelah Soeharto lengser, masyarakat mengalami perubahan dalam cara berfikir. Hal itu secara otomatis mengubah tatanan politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya. Kita bisa melihatnya dengan munculnya partai-partai baru yang menunjukkan adanya kebebasan berpolitik, pers memiliki keberanian dalam mengungkap berbagai fakta yang tadinya dibungkam dan berbagai fakta menarik yang memberikan harapan bagi tumbuhnya kebudayaan baru. Tentu hal itu sangat berbeda dengan pemaknaan dalam esai Kalis Mardi Asih yang berjudul Kritik untuk Kaum Romantikus 1998(Solopos, 25 Mei 2015) yang mengatakan angkatan 1998 seakan lupa bahwa mereka sesungguhnya tidak pernah membikin zaman baru, sekadar mengakhiri sebuah zaman ketika kebebasan untuk bersuara dibungkam. Reformasi hingga hari ini tetaplah sekadar jargon.

Iba!.  Ya mesti kita iba juga melihat realitas saat ini kebebasan telah melampaui batasnya. Kasunyatan seperti itu melahirkan sikap banal dan mengarah pada anarkhisme. Menurut Erich Fromm kebebasan haruslah lahir dari kecerdasan pikir dan kejernihan hati manusia dari percakapan antara tuntutan akal dan asas kepantasan dalam buku yang berjudul Antropologi Tasawuf oleh Abdul Kadir Riyadi (2014).

Sudah menjadi hobi dan kebiasaan masyarakat Indonesia bahwa segala sesuatu yang telah berlalu dihidupkan kembali dan diagungkan. Peristiwa 98 yang mestinya biasa saja dianggap sebagai era digdaya yang patut dijadikan rujukan. Termasuk para mahasiswa ingin menurunkan Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla yang menurut saya adalah ide yang tergesa-gesa dan cenderung politis. Hal itu berbeda sekali dengan cara masyarakat kepulauan sebelum menjadi Indonesia.

Mengubur Mitos

Kita bisa melihat jejak itu pada peristiwa penggulingan rezim majapahit oleh raden Fatah Demak.Peristiwa itu tak diagungkan sebagaimana 98, namun memiliki visi yang lebih jelas dan berarti. Berbeda dengan cara berfikir mahasiswa saat ini yang cenderung nostalgic. Moment 98 dijadikan rujukan dan dijadikan sebagai tanda kebangkitan nasional. Termasuk beberapa pekan lalu banyak di antara mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menuntut Jokowi-JK turun dari jabatannya. Aksi tersebut menurut saya terkesan iseng dan coba-coba sebagaimana orang mengisi teka-teki silang. Pasti usaha semacam itu takkan memberikan hasil yang bermanfaat bagi perkembangan kebudayan bangsa ini.

Kita mesti belajar untuk tidak berfikir romantis. Lihatlah! Hingga saat ini kita kesulitan mencari di mana letak kerajaan Demak. Masyarakat tradisional kita telah terbiasa dengan penghancuran sesuatu yang telah berlalu. Hal itu memberi terang kepada kita bahwa tidak perlu adanya pengidolaan-pengidolaan pada figur maupun zaman.

Hal semacam itu juga dilakukan pula oleh Soekarno.Ia menghancurkan rumah di Pegangsaan Timur No 56 yang menjadi tempat proklamasi dibacakan. Kita bisa melihat, di situ Soekarno tidak menghendaki adanya pemujaan tempat yang menyatu dengan peristiwa. Nostalgia romantis bisa mengarah pada cara berfikir mistis.

Nostalgia romantis saat mahasiswa kerap kali dieluhkan-eluhkan dengan generasi muda adalah generasi penerus bangsa sebagai agent of change seperti yang dikatakan Kalis. Menurut saya, kalimat tersebut nyatanya tetap sekadar menjadi kata-kata. Dan bagi saya agent of change itu hanyamitosyang sengaja digelorakan oleh pemerintah. Mereka merasa perlu membuat mitos itu lantaran keterlibatan mereka dalam menyampaikan pesan-pesan pemerintah kepada masyarakat. Mereka memanfaatkan mahasiswa untuk menjadi jembatan melalui kurikulum yang diajarkan. Seorang mahasiswa sejati tak perlu mempedulikan mitos sebagai agent of change.

Yang perlu dilakukan oleh mahasiswa adalah bagaimana mampu membawa kepada kesejatian dirinya selaku mahasiswa. Kesejatian seorang mahasiswa adalah pencarian yang tak mengenal henti. Dengan cara semacam itulah maka kita akan terhidar dari cara berfikir romantis. Ada lelucon dikalangan teman-teman yang perlu kita perhatikan bersama bahwa romantisme akan selalu berakhir dengan gigitan.