Sadarkan Mahasiswa

Okta Nurul Hidayati

Okta Nurul Hidayati
Mahasiswa Bidikmisi 2015/ Jurusan Pendidikan Agama Islam

KKNI sepertinya merupakan kurikulum baru yang belum menarik perhatian mahasiswa. Saya membaca esei Ahmad Alfi yang menyatakan bahwa KKNI sebagai jembatan untuk berkarya (Solopos, 26 April 2016). Saya mengatakan belum menarik, karena realitas yang terjadi adalah demikian.

Setelah saya bertanya pada beberapa mahasiswa, kebanyakan dari mereka menjawab belum tahu, atau malah acuh tak acuh dengan apa yang saya tanyakan. Paling-paling hanya kaum minoritas yang mengetahuinya. Itupun dari mahasiswa yang sudah dianggap tinggi intelektualnya. Lalu bagaimana kurikulum itu akan berjalan? Jika mahasiswa sebagai objek yang dituju seakan menutup mata dengan hadirnya KKNI?

KKNI pada dasarnya adalah kerangka acuan minimal yang digunaka untuk melakukan penjenjangan kualifikasi kompetensi pendidikan. Kurikulum ini mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan pelatihan kerja. Dengan tujuan pengakuan kompetensi kerja sesuai dalam struktur pekerjaan diberbagai sektor. Sistem ini digadang-gadang mampu berjalan dengan baik di era global yang sarat akan pengembangan ilmu pengetahuan.

Kurikulum ini sebenarnya sudah diterapkan perguruan-perguruan lain di luar negeri. Bagi indonesia, pengembangan struktur di bidang pendidikan sangatlah penting. Apalagi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pelajar kita harus mampu bersaing di kancah internasional. Jika mereka berlaku masa bodoh dengan perkembangan yang ada, bagaimana bisa meningkatkan kualitas SDM dalam persaingan kerja di dalam negeri maupun luar negeri?

Mahasiswa pada umumnya hanya sadar bahwa ia berstatus mahasiswa. Namun, tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan sebagai mahasiswa. Mereka seakan-akan  menganggap dirinya sudah mafhum akan tugas seorang mahasiswa. Tentunya dengan melakukan aktivitas mahasiswa di kampus. Mereka mengikuti perkuliahan, mendengarkan dosen, berdiskusi, dan menyelesaikan skripsi. Mereka menganggap tugas-tugas itu adalah perjuangan seorang mahasiswa. Ada perasaan bangga setelah menyelesaikan apa yang menjadi tugas pokoknya. Padahal, itu bukan persaingan sesungguhnya.

Di sinilah saat-saat mental mahasiswa itu harus diubah. Dalam eseinya, Ahmad juga menyinggung tentang pembentukan mental melalui budaya literasi. Namun agaknya mereka harus disadarkan tentang dunia kerja yang semakin kejam dengan persaingan ketat, dan kualitas keahlian yang tinggi. Dunia kerja membutuhkan orang-orang yang mau dan mampu bekerja keras mempertahankan intergrasinya dalam berkompetensi.

Sebenarnya, upaya-upaya untuk membuka kesadaran akan dunia kerja sudah dilakukan. Banyak penyelenggaraan kegiatan yang mendukung seperti sosialisasi atau seminar-seminar dalam area pendidikan maupun umum. Namun kebanyakan acara mengutamakan pembahasan tentang MEA. Tak salah jika MEA harus dipromosikan lebih gencar. Karena hal tersebut juga sangat penting menyangkut kelanjutan nasib Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya.

Walaupun demikian, pengenalan pola-pola yang ada di dalam pendidikan itu sendiri juga tidak boleh disepelekan. Seperti yang diungkapkan Munif Chatib dalam bukunya Guardian Angel(2013) hal yang pertama dilakukan adalah dalam perkuliahan adalah pengenalan Sekolah secara komprehensif. Hal itu mulai dari kurikulum, pelaksanaan kurikulum, strategi mengajar, raport guru sebagai penilaian kinerja, sampai total quality management in academic. Itulah pijakan awal untuk mahasiswa sehingga tidak salah paham dengan pembelajaran yang akan ditempuhnya.

Pengenalan akan adanya kurikulum baru, seperti KKNI merupakan ha lyang urgen. Menjadi lebih baik jika diantara MEA dan KKNI bisa berjalan beriringan. Keduanya akan saling menguatkan untuk bisa berjuang dalam menghadapi tantangan besar di era ini. Butuh upaya yang lebih optimal dan manjur untuk membuka kesadaran para pelaku pendidikan agar dapat mengikuti perkembangan.

Dalam perwujudan KKNI, setiap prodi diharapkan mempunyai “profil lulusan” masing-masing. Setiap prodi harus memiliki ciri khas tentang apa yang dapat diunggulkan dari konstruksi akademiknya. Profil lulusan itu yang akan memberikan pengakuan dan penilaian pendidikan. Kualitas mahasiswalah yang menjadikan profil lulusan itu diakui baik atau tidak. Jadi mahasiswa berperan penting dalam mencerminkan seberapa kualitas lulusan yang dihasilkan.

Lalu bagaimana mencetak mahasiswa yang berkualitas sesuai dengan KKNI? Mahasiswa harus mahir dalam bidangnya. Mahasiswa dituntut kreatif melakukan inovasi yang dapat meningkatkan kualitas dirinya. KKNI mengharapkan mahasiswa untuk aktif berkarya sesuai dengan potensi yang dimiliki. KKNI berusaha mengubah cara melihat kompetensi berdasarkan kemampuan bukan gelar.

KKNI mempertimbangkan sebuah capaian pembelajaran (learning outcome) yang berupa sikap (attitude), bidang kemampuan kerja, pengetahuan, dan manajerial dan tanggung jawab. Hal itu merupakan pendidikan yang terstruktur. Rancangan pendidikan yang dapat mencakup suatu bidang ilmu atau keahlian melalui pengalaman kerja. Keempat aspek itulah yang bisa dijadikan modal mahasiswa untuk bisa mengoptimalkan diri.

Akan tetapi mahasiswa sering menganggap bahwa mereka hanya bisa bekerja di bidang yang telah ditekuninya selama ini. Bekerja sesuai apa yang telah diarahkan prodinya. Padahal jika mahasiswa mau mengeksplore kemampuannya, mereka akan memiliki banyak keahlian lebih dari yang mereka bayangkan.

Saya sangat setuju dengan pendapat Ahmad Alfi jika mahasiswa itu tak perlu khawatir dengan pekerjaannya kelak. Asalkan mau berkarya dan berusaha keluar dari zona nyamannya, peluang kerja akan datang dengan sendirinya. Dunia kerja akan terus mencari bibit-bibit unggul yang kiranya dapat diajak untuk bekerjasama.

Rhenald Khasali dalam bukunya “Self Driving” (2014) mengatakan bahwa salah satu persoalan yang dihadapi negeri ini adalah tidak mau keluar dari comfort zone. Sehingga tidak ada upaya perubahan yang dilakukan untuk menuju kemajuan. Mahasiswa seharusnya dibiasakan untuk melakukan hal-hal diluar bayangan mereka. Rhenald Khasali mencontohkan, mahasiswa di kelasnnya wajib memiliki paspor, dan pergi ke luar negeri sendirian. Itu merupakan ujian mental sekaligus motivasi untuk mahasiswa agar mau berfikir lebih keras dan keluar dari zona nyaman.

Cepat-cepat lah mengubah mindset kita akan peluang kerja yang sempit. Motivasi diri sendiri untuk bisa berprestasi. Jangan takut akan masa depan, yakinlah kita mampu bersaing dengan berkarya. Pupuklah rasa kepercayaaan diri kita terlebih dahulu dengan terus mengasah potensi yang kita miliki.

Tidak ada lagi istilah kejenjangan dalam pendidikan. Yang ada hanyalah berkompetensi dengan kemampuan. Perguruan tinggi yang terakreditasi baik tidak bisa dijadikan patokan utama dalam menjamin lulusan berkualitas. Belum tentu yang bagi perguruan tinggi yang kurang tersohor kemudian dipandang rendah begitu saja. Semua tergantung keberhasilan profil lulusannya dalam mencetak mahasiswa yang unggul.Setiap mahasiswa punya kesempatan yang sama untuk bisa bersaing. Hilangkan anggapan tentang adanya disparitas, dan yakinlah untuk maju.