Lihat di Australia – Trotoar di Solo Belum Berfungsi Sebagaimana Mestinya

Oleh: Nur Isnaini Wulan Agustin
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris-Bidikmisi IAIN Surakarta

#BanggaIAINSurakarta

Mengikuti Student Mobility program pada akhir bulan Oktober 2016 lalu membuat saya terpesona dengan kecantikan Australia tepatnya kecantikan kota Melbourne. Program tersebut adalah program fully-funded (gratis) yang diselenggarakan oleh Kementrian Agama untuk mahasiswa S1 dari Sabang sampai Merauke agar memperoleh pengalaman belajar dan tinggal di luar negeri. Kami berkesempatan belajar disana selama satu minggu. Sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi saya mengenal kehidupan di kota Melbourne. Salah satu impian yang tak disangka datangnya.

Banyak hal yang menarik untuk dibahas tentang Melbourne. Ibukota dari Victoria ini merupakan kota yang kaya ragam budaya dengan jumlah penduduk sekitar 3 juta jiwa. Disana saya berjumpa dengan orang baru, budaya yang baru, sarana transportasi baru yang wajib untuk dicoba, gaya hidup baru, restoran dan makanan – makanan baru, sistem pendidikan yang beda dengan apa yang telah saya jalani di Indonesia.

Sebagai mahasiswa yang datang dari kota kecil dengan jargon “The Spirit of Java”, saya sangat terkagum dengan sarana transportasi disana. Sarana transportasi yang jauh berbeda dengan apa yang ada di Indonesia, terlebih di Solo. Semua transportasi umum sangat nyaman dinikmati. Tidak kalah nyaman adalah sarana transportasi untuk pejalan kaki “sidewalk” atau yang biasa kita sebut trotoar.

Trotoar adalah fasilitas pejalan kaki. Trotoar diharapkan memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penggunanya. Oleh sebab itu, trotoar adalah hak pejalan kaki dan hanya diperuntukkan untuk pejalan kaki yang tidak boleh diselewengkan dengan cara apapun, termasuk dilintasi oleh pengendara sepeda motor.

Di Australia, trotoar memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Hal ini dikarenakan oleh mayoritas penduduk Australia yang suka berjalan kaki setiap ingin pergi ke suatu tempat. Itulah juga yang saya alami disana. Untuk berangkat ke tempat belajar (Deakin University), saya harus berjalan terlebih dahulu sebelum menaiki bus/ tram/ train. Saya berjalan kaki dengan sangat nyaman karena fasilitas trotoarnya cantik. Meski saya berjalan cukup jauh setiap hari, saya merasa aman. Jangankan kendaraan yang melintas di trotoar tersebut, trotoar berlubang pun tidak saya temui disana.

Menurut Manunggal (alumnus Monash University Australia) dari artikel yang pernah saya baca, prinsip kewajiban negara yaitu menyediakan jalan yang bagus dan aman. Sehingga apabila terjadi kecelakaan yang disebabkan karena jalan berlubang, jalan rusak atau marka jalan yang tidak jelas maka pemerintah harus bertanggung jawab. Bahkan jika ada penduduk ada yang tersandung karena trotoar rusak pun bisa menggugat pemerintah setempat.

Hal yang tidak saya jumpai juga di Indonesia, yaitu tentang design trotoar tersebut. Trotoar di Australia tidak bersatu dengan jalan, melainkan terpisah dengan taman atau rerumputan. Trotoar didesign sedemikian rupa agar pejalan kaki merasa nyaman dan tidak terganggu. Yang saya amati disana, semua rumah penduduk Australia mempunyai taman dan trotoar. Jalan besar hanyalah milik mobil, bus, tram, dan train. Karena disana saya juga jarang menemui sepeda motor. Bahkan selama disana saya tidak melihat sepeda motor yang melintas di jalan sekalipun.

Sungguh ironi memang ketika dibandingkan dengan Solo atau bahkan trotoar di Indonesia. Trotoar belum tertata rapi untuk pengguna jalan kaki. Banyak sekali sepeda motor yang melintas tanpa perasaan bersalah. Belum lagi persoalan pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima memenuhi area yang seharusnya bukan tempat berjualan. Satpol PP masih berusaha keras menuntaskan persoalan tersebut. Pedagang yang dengan terpaksa digusur karena memenuhi trotoar. Papan peringatan banyak dipasang di bahu jalan agar tidak berjualan di trotoar. Tapi apalah daya, banyak pedagang yang masih melanggar aturan tersebut. Sampai sekarang fungsi trotoar belum difungsikan sebagaimana mestinya.

Untuk itu saya ingin mengajak pembaca untuk memulai sesuatu yang kecil dari diri kita sendiri. Ketika kita ingin berjalan kaki nyaman di trotoar, janganlah melanggar aturan yang terdapat dalam Undang Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa “Trotoar merupakan salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan di antara fasilitas – fasilitas lainnya yaitu: lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan atau fasilitas khusus penyandang cacat dan manusia usia lanjut”. Menghargai orang lain dilakukan dengan menghargai budaya tertib terhadap peraturan.

Dengan begitu ketika pemerintah memperbaiki sistem sarana transportasi pejalan kaki menjadi lebih baik, kita bisa menggunakannya dengan baik juga. Dari pengalaman singkat saya hidup di Melbourne, besar harapan saya agar pemerintah juga memperhatikan trotoar seperti halnya sarana transportasi yang lain dan yang lebih penting mensosialisasikan fungsi trotoar tersebut agar tidak disalahgunakan.

“Datang ke negara lain merupakan pengalaman yang menarik dan ingin kembali menjadi lebih baik