BIPA Dan Keberdaaan Bahasa Indonesia

Oleh: Fitria Rachmawati Zain

(Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia FITK IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

Buah pikiran disajikan dalam bentuk tulisan ‘berbalut’ bahasa. Tanpa bahasa buah pikiran tidak akan bermakna. Bahasa adalah rumah yang teduh. Maka gunakan bahasa yang halus dan menarik untuk menulis, agar pembacanya tidak hanya mendapatkan informasi tetapi, juga menemukan keindahan.

-Cynthia Ozick, ahli bahasa dan sastrawati AS-

Begitulah pesan Cynthia Ozick, bahasa menjadi poin penting yang ia soroti. Keindahan bahasa tak mampu didapat jika informasi tak tersampaikan, dikarenakan penyampai informasi tidak memahami bahasa. Pengembangan bahasa untuk mahasiswa asing masih minim. Seperti yang dialami mahasiswa asing di Indonesia, salah satunya mahasiswa dari Thailand yang belajar di IAIN Surakarta. Mereka tidak dapat menikmati bahasa Indonesia, padahal mahasiswa asing yang menimba ilmu di Indonesia diharuskan mampu berbahasa Indonesia. Pada kenyataannya, mahasiswa asing tersebut belajar bahasa Indonesia secara otodidak, tanpa adanya pembelajaran khusus mengenai bahasa Indonesia. Tentu hal ini mempersulit mereka dalam menerima materi perkuliahan maupun berinteraksi.

Bahasa merupakan kunci dalam berkomunikasi. Selain itu, dengan menguasai bahasa akan mempermudah menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Sebagaimana dalam film Habibie & Ainun 2 (2016), mahasiswa Jerman heran mengetahui Habibie dapat menggunakan Bahasa Jerman (B.J). Karena Habibie sebelum belajar ke Jerman mempelajari terlebih dahulu bahasa Jerman. Dalam film tersebut juga dipaparkan bahwa, mahasiswa Jerman heran mengetahui Habibie dapat menggunakan bahasa Jerman dengan lancar. Habibie dengan entengnya menjawab bahwa orang Indonesia kanibal memakan orang Jerman. Sehingga ia dapat berbahasa Jerman. Sungguh lucu membayangkan jika mahasiswa Thailand akan menjawab begitu ketika mereka dapat berbahasa Indonesia.

Di negara tertentu, pihak universitas ataupun pemerintahnya memberikan kesempatan bagi mahasiswa asing untuk mempelajari bahasa Negara tempat mereka melanjutkan studi selama satu tahun. Hal ini bertujuan agar mahasiswa asing lebih mudah dalam bersosialisasi maupun belajar di dalam ruang kuliah.

Bahasa menjadi bekal utama dalam menghadapi perbedaan budaya. Sebelum mahasiswa Thailand memahami budaya yang banyak ragamnya, mereka terlebih dahulu dituntut untuk paham terhadap bahasanya terlebih dahulu. Sebuah pendapat dari Setyaningsih (2016: 63) mengatakan bahwa pendatang bangsa asing seperti Belanda dan Portugis menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menguasai, memerintah, bahkan menjajah. Indonesia kala itu dikuasai oleh orang asing yang berbicara asing. Tentu bahasa menjadi ‘barang’ berharga untuk memperkuat otoritas.

Dalam hal menulis, mahasiswa asing belum cukup baik, misalnya untuk menulis nggak ditulis ‘ngak’, tahun ditulis ‘tuhun’, dan mungkin ditulis ‘mumkin’. Meski terlihat sepele, hal ini akan menjadi fatal jika nantinya ditulis pada makalah atau skripsi.

Bahasa sebagai produk budaya sangatlah dinamis dan fleksibel. Bahasa dapat berkembang jauh lebih cepat sebelum pengguna bahasa sendiri tumbuh. Kosakata pada bahasa akan senantiasa berkembang terus. “Masuknya kata asing bukan hal yang eksklutif pada bahasa Indonesia. Semua bahasa mengalami proses yang sama” (Dardjowidjojo, 2008: 9). Lambat laun bahasa Indonesia akan memiliki kosakata baru.

Bagi mahasiswa yang memang berasal dari Indonesia, tidak akan mengalami kesulitan dengan bahasa Indonesia yang berkembang menjadi bahasa-bahasa yang lebih beragam. Kadangkala juga disisipkan bahasa daerah atau alay. Ini menjadi berbeda, bagi  mahasiswa Thailand yang notabene orang asing di Indonesia. Kekacauan bahasa akan mengakibatkan kecauan pikiran pula. Bahasa yang sesungguhnya untuk mengungkapkan apa yang hendak diinginkan pikiran. Pratikto (2008:47) dalam esainya Logika!, “Pikiran dan bahasa ibarat api dan asap. Keduanya berkaitan erat, keduanya tak bisa hadir tanpa yang pertama. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan lesikon bahas”.

Sejalan dengan hadirnya permasalahan di atas, maka BIPA hadir menjadi sebuah solusi. BIPA merupakan wadah untuk memberikan pembimbingan dan pembinaan bagi warga asing yang hendak belajar bahasa Indonesia. Kemdikbud mencatat di Indonesia tercatat tidak kurang dari 45 lembaga yang telah mengajarkan Bahasa  Indonesia bagi penutur asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, pengajaran BIPA telah dilakukan oleh sekitar 36 negara di dunia dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130 yang terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga-lembaga kursus.

Meski BIPA telah ditetapkan diberbagai negara baik Indonesia maupun luar negeri, namun beberapa PTKIN belum memfasilitasi adanya kegiatan pembinaan dan pengembangan bahasa bagi mahasaiswa asing, salah satunya adalah di IAIN Surakarta. Hal ini juga dibenarkan oleh Isnaniah (2015:5), mahasiswa asing yang belajar di PTKIN semakin banyak sementara Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (APBIPA) belum ada dan hanya beberapa PTKIN yang mempunyai badan penyelenggara BIPA.

Pelaksanaan BIPA perlu diupayakan bagi mahasiswa asing, untuk Kemenag belum mengeluarakan mengenai standar pengajaran BIPA. Hal ini diamini oleh Isnaniah (2015: 5), di Kemenag sendiri belum ada standar pengajaran BIPA yang bisa dijadikan acuan oleh beberapa PTKI di Indonesia, bahkan kebanyakan PTKI di Indonesia tidak memiliki lembaga penyelenggara BIPA.

Oleh karena itu, jurusan Tadris Bahasa Indonesia (TBI) IAIN Surakarta merintis adanya BIPA sebagai wadah pembelajaran bagi mahasiswa asing di tingkat Kemenag. Diharapkan, denganadanya BIPA yang dirintis TBI ini akan ikut berkontribusi dalam perbaikan bahasa Indonesia serta  kegelisahan mahasiswa asing saat kesulitan mempelajari bahasa Indonesia dapat terkikis.