KARTINI: Dari Emansipasi, Pendidikan, Sampai dengan Buku

Oleh : Triningsih, SIP.
(Pustakawan Muda IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.

Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat RA. Kartini kepada Prof. Anton dan istrinya, 4 Oktober 1902)

Sudah tidak asing di telinga kita bahwa di bulan April yaitu tanggal 21 diperingati sebagai Hari Kartini. Berdasarkan SK Presiden RI No 108 Tahun 1964, tertanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno, RA Kartini telah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional. Pada tanggal 21 April, pelajar putri biasanya mengenakan pakaian tradisional kebaya ketika berangkat sekolah. Begitu juga dengan para pelajar putra. Di kantor-kantor pun juga demikian. RA Kartini adalah sosok emansipasi bagi wanita Indonesia. Kenapa demikian? Dan keteladanan apakah yang harus diteruskan oleh kaum wanita sekarang ini dalam meneladani RA.Kartini? Apakah hanya dengan memakai pakaian tradisional kebaya di setiap tanggal 21 April sudah memaknai sebagai Hari Kartini? Semoga tidak demikian, meskipun secara kasat mata jika kita melihat foto RA Kartini mengenakan pakaian adat tersebut.

Jika dilihat dari aspek heroisme, ada sejumlah perempuan yang dianggap lebih dahsyat dalam berjuang secara fisik melawan Belanda, seperti Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu. Lalu kenapa tidak ada Hari Cut Nyak Dien ataupun Hari Christina Martha Tiahahu?  Ternyata, ada tiga hal penting yang ada dalam diri RA Kartini yang sangat tidak umum untuk kalangan wanita pada masa itu. Tiga hal penting yang ada dalam wanita berparas ayu tersebut yaitu :

Pertama, Tentang Emansipasi Wanita

Kehidupan yang dijalani Kartini cenderung biasa-biasa saja, tenang, damai sebagai keturunan ningrat, sebagai anak Bupati Jepara dan sekaligus sebagai istri dari Bupati Rembang. Ada sesuatu yang istimewa dalam diri wanita berparas ayu tersebut, yaitu bahwa Kartini menunjukkan empati terhadap nasip kaum perempuan. Beliau merasa gelisah melihat nasip perempuan sebagaimana yang dialaminya sendiri pada masa kecil, dipingit orang tua, dinikahkan dengan pria pilihan orang tua, masih bodohnya kaum perempuan di Jawa, rendahnya harkat dan martabat kaum perempuan dimata kaum pria saat itu.

“Akan datang juga kiranya keadaan baru dalam dunia bumiputra, kalau bukan oleh karena kami, tentu oleh orang lain, kemerdekaan perempuan telah terbayang-bayang di udara, sudah ditakdirkan…” (Surat R.A. Kartini kepada temannya Zeehandelaar, 9 Januari 1901)

Emansipasi perspektif islam berasal dari bahasa Arab yang dikenal dengan istilah tahrir al-mar’ah yang bermakna pembebasan wanita dari status sosial ekonomi yang rendah dan pembatasan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam Al Qur’an  surat Al Hujurat 49:13 bisa dilihat mengenai persamaan dan kesetaraan status : “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Pemikiran RA.Kartini jelas sekali sejalan dengan firman Allah tersebut, bahwa yang membedakan manusia adalah bukan gendernya ataupun kedudukan sosialnya, namun hanyalah taqwanya. Islam dan Kartini sama-sama menghendaki kemuliaan derajat bagi kaum wanita, emansipasi yang memperjuangkan kesetaraan kedudukan kaum wanita dan pria tanpa melupakan kewajiban mereka.

Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad dalam Muhammad the Liberator of Women (2015:20), menjelaskan bagaimana Rasulullah telah mengumumkan bahwa Allah telah mempercayakan kepada beliau tugas untuk menjaga dan melindungi hak-hak kaum wanita. Beliau mendeklarasikan atas nama Tuhan bahwa pria dan wanita dengan segala sifat umum kemanusiaannya adalah sama satu dengan yang lain dan dalam hidup berdampingan sebagaimana pria memiliki hak-hak tertentu atas wanita, sama halnya wanita juga memiliki hak-hak tertentu yang sama dengan pria.

Kedua, tentang wanita sebagai pendidik

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya.

Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat RA. Kartini kepada Prof. Anton dan istrinya, 4 Oktober 1902)

Dalam surat diatas, jelas sekali tentang pendapat RA.Kartini mengenai kesetaraan bagi kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan, agar wanita lebih terampil dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mempersiapkan generasi masa depan bangsa ini, bukan untuk menjadi pesaing bagi kaum pria. Wanita adalah tiangnya Negara.

Sesuai fitrahnya bahwa wanita itu akan mengandung, melahirkan, serta membesarkan putra putrinya. Ikatan emosional ibu kepada anaknya sudah terbentuk ketika mengandung tersebut. Ibarat kertas yang putih bersih, sang ibu lah yang nantinya memberikan warna pada jiwanya. Ibu yang pertama kalinberkomunikasi dengan anaknya, dengan tatapan mata, sentuhan, dan berbicara kepadanya. Apa yang ibu rasakan dan pikirkan, akan pula dirasakan oleh buah hatinya. Untuk memenuhi fitrahnya tersebut, maka wanita harus mempunyai bekal pendidikan yang cukup. Ibu yang cerdas akan melahirkan generasi yang cerdas pula. Wanita yang cerdas akan lebih disukai karena pancaran ilmunya yang diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kartini & Buku

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk ke-abadian”

(Pramoedya Ananta Toer).

Buku adalah kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar. Setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman. Seiring dengan perkembangan dalam bidang dunia informatika, kini dikenal pula istilah e-book atau buku-e (buku elektronik), yang mengandalkan komputer dan Internet (jika aksesnya online). [http://id.wikipedia.org/wiki/Buku]

Si gadis Kabupaten yang hidup pada akhir abad ke-19 telah telah menunjukkan hal lain pada kita. Ialah bahwa berjuang melawan musuh (baginya musuh utama ialah adat istiadat Jawa, khususnya yang membelenggu perempuan Jawa) tidak terbatas pada mengangkat senjata. Tetapi seperti Kartini sendiri katakan, yang menjadi senjatanya ialah penanya, alat tulisnya (Ik zal me ijverig oefenen in het hanteren van mijn wapen) (Soebadio dalam Kartini Pribadi Mandiri : 58, 1990).

Sosok Kartini mempunyai dimensi yang lebih luas dibandingkan wanita di zamannya. Beliau menggunakan pena sebagai senjatanya. Dengan pena itulah beliau menumpahkan segala pengetahuannya. Dari goresan pena tersebut terbentuklah surat-surat yang beliau kirimkan kepada sahabat penanya di Belanda. Menulis bukanlah pekerjaan yang gampang. Apalagi tulisan yang mengandung pengetahuan yang begitu dalam terhadap kondisi bangsanya. Kumpulan surat-surat tersebut dijadikan satu, maka terbentuklah buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tidak akan lekang oleh zaman, meskipun penulisnya sendiri sudah habis ditelan zaman.

Marilah kita meneladani Kartini. Beliau mengajarkan tentang arti pentingnya wanita. Tentang wanita dengan emansipasinya dan tentang wanita sebagai pendidik bagi putra putrinya. Serta arti pentingnya pena bagi kehidupan kekal abadi, Kartini akan abadi oleh kaumnya.