Napak Tilas Tsunami Aceh Bersama IAIN Surakarta

SINAR- Aceh dikenal sebagai salah satu daerah yang memegang teguh agama sehingga nilai-nilai agama menjadi dasar dalam setiap tindakan kebijakan. Masyarakat Aceh sebelum tsunami sangat mengedepankan nilai-nilai kebudayaan. Karakter masyarakat Aceh pada saat itu belum terkontaminasi dengan budaya luar, sehingga tingkat kehidupan comunality dan kehidupan gotong royong tetap eksis. Selain itu, karakter masyarakat Aceh juga cenderung lebih lembut dan ramah sesuai dengan adat kebiasaan orang Aceh.

Gempa dahsyat pada Minggu, 26 Desember 2004, pagi yang disusul tsunami telah meluluh lantakkan sebagian besar wilayah Provinsi Aceh. Gempa berkekuatan 8,9 skala Richter ini telah menelan sebanyak 240.000 jiwa. Kepedihan dan duka yang tersisa sejak 2004 masih terpatri dalam ingatan warga Aceh. Kehidupan masyarakat Aceh yang berada dalam lingkaran musibah tsunami, telah mengakibatkan masyarakat Aceh trauma dan dipenuhi dengan rasa ketakutan.

Kini setelah 13 tahun berselang perubahan masyarakat Aceh pasca tsunami lebih pada hal-hal positif. Mereka bergerak maju untuk membawa Aceh menjadi lebih baik. Lahirnya penulis-penulis baru yang mengisahkan konflik dan tsunami. Menguatnya seni-seni suara dan tari untuk membudayakan tradisi Aceh. Hal itu terbukti dari pembukaan kegiatan Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni dan Riset (PIONIR) VIII sedang berlangsung di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh dengan menampilkan kolaborasi seni yang diikuti oleh 500 mahasiswa yang dihadiri oleh 55 PTKI se-Indonesia, salah satunya dari IAIN Surakarta.

Mereka juga memenuhi kebutuhan penduduk akan pendidikan. Memenuhi tranportasi dengan trans Kuta Raja yang tidak di pungut biaya. Mendidik karakter generasi muda dengan cara syar’i, yakni memberi batas keluar malam bagi para perempuan yang tidak di dampingi mahram, menerapkan cara berpakaian yang sopan, dan meminimalisir tempat-tempat hiburan malam.Selain itu, dari segi bangunan tampak komplek rumah-rumah yang bagus. Pembenahan dalam aspek fisik yang berupa perbaikan-perbaikan kembali fasilitas-fasilitas umum, sekolah-sekolah, dan kantor pemerintahan.

Untuk mengingat sejarah, rombongan IAIN Surakarta pun mengadakan study tour di wilayah Aceh. Masjid Baiturrahman yang terletak di jantung kota Banda Aceh menjadi tujuan pertama. Masjid Baiturrahman merupakan salah satu masjid yang masih berdiri kokoh ketika bencana tsunami melanda Aceh.

Kedua, Museum tsunami yang berlokasi di Jalan Iskandar Muda, Banda Aceh. Museum ini dibangun untuk mengenang para korban bencana tsunami, sebagai pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami, dan pusat evakuasi jika bencana tsunami terjadi lagi. Selain itu, juga sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.

Ketiga, Monumen Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung, di desa Punge, Blancut, Banda Aceh. Sesuai namanya, kapal ini merupakan sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheu – tempat kapal yang ditambatkan sebelum terjadinya tsunami. Kapal dengan panjang 63 meter ini mampu menghasilkan daya sebesar 10,5 megawatt, dengan luas 1.900 meter persegi dan bobot 2.600 ton, tidak ada yang mampu memindahkan kapal ini kecuali atas kehendak Allah.

Keempat, Kapal di atas rumah di kawasan Gampong Lampulo, Kecamatan Kuta Alam di atas rumah keluarga Pak Misbah dan Ibu Abasiah. Kapal ini memiliki panjang 25 m, lebar 5,5 meter, dan berat 20 ton. Berkat kapal ini, 59 orang terselamatkan dari murkanya air tsunami.

Kelima, Rumah Chut Nyak Dien berada di Jalan Banda Aceh-Meulaboh, km 8 Lampisang Peukan Banda, Aceh Besar- 23331. Rumah Cut Nyak Dien, atau lebih dikenal dengan Rumoh Aceh adalah rumah peninggalan suaminya, Teuku Umar, yang sekaligus rumah peninggalan penjajag Belanda. Karena memang rumah tersebut dibangun oleh Belanda untuk Teuku Umar, karena hubungan kerja sama. ( Gus/ Humas Publikasi) #BanggaIAINSurakarta