Ujian Deklarasi Aceh Di IAIN Surakarta

Oleh: M. Zainal Anwar
(Dosen FEBI IAIN Surakarta)

#BanggaIAINSurakarta

Dari serambi Mekkah, para petinggi di jajaran Kementerian Agama khnnususnya para pimpinan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri pada tanggal 26 April 2017 mengumandangkan Deklarasi Aceh yang salah satunya berisi tentang perlunya menghargai tentang kemajemukan dan kesadaran tentang realitas bangsa yang majemuk.

Dalam hitungan hari, Deklarasi Aceh ini langsung menjalani ujian pertama di IAIN Surakarta tatkala sekelompok orang yang mengatasnamakan umat Islam se-Solo Raya menolak kehadiran Haidar Bagir dalam acara bedah buku pada tanggal 9 Mei mendatang dan meminta acara bedah buku tersebut dibatalkan atau diganti nara sumber yang “se-akidah” dengan para penolak tersebut.

Pasalnya, Haidar Bagir dianggap tokoh syiah di Indonesia dan dikhawatirkan akan “meracuni” akidah umat Islam di Solo. Bukan bukunya yang ditolak, tapi individu Haidar Bagir yang menjadi sasaran tembak. Padahal, acara juga diadakan di kampus, dimana nalar dan nilai akademik menjadi payung utama. Justru, dengan membedah bukunya, civitas akademika IAIN Surakarta hendak menilai dan “menghakimi” isi buku tersebut.

Ancaman pelarangan kegiatan akademik di kampus oleh masyarakat luar kampus adalah lonceng kematian bagi civitas akademika. Jika jaman orde baru dulu, larangan kegiatan kampus dilakukan oleh aparatur negara, kini justru dilanjutkan oleh masyarakat sipil. Ibaratnya, keluar dari mulut harimau masuk ke mulut singa. Dunia akademik tidak hanya mati pelan-pelan karena banyaknya peraturan yang membelenggu seperti soal finger print dan sebagainya tapi juga dihabisi oleh oknum masyarakat sipil melalui ancaman larangan kegiatan. Apa kata dunia jika kampus harus mengundang nara sumber yang harus lulus “sertifikasi” dari sekelompok orang di luar kampus?

Dalam dunia kampus, nalar akademik dan kebebasan bependapat menjadi nafas. Jika nafasnya sudah mulai disumbat, maka pengembangan dunia akademik segera menemui ajalnya. Dalam kebebasan berpendapat di dunia kampus, pendapat apapun dipelajari secara akademik. Ibaratnya, dalam mata kuliah ilmu Kalam, dosen dan mahasiwa mengkaji berbagai aliran mulai dari murjiah, mu’tazilah dan sebagainya tentu tidak dalam rangka mengindoktrinasi agar mahasiswa menjadi seorang murjiah. Tetapi, jelas dalam rangka memperdalam bagaimana dan seperti apa corak aliran murjiah tersebut.

Dalam bayangan saya, pihak kampus juga akan menghormati kebebasan berpendapat para penolak kehadiran Haidar Bagir tersebut. Tentu, kebebasan berpendapatnya disampaikan secara proporsional dan saling menghormati. Jika mau ikut dalam acara diskusi, pihak kampus tentu menyambut dengan tangan terbuka. Tetapi, jika sudah mengarah pada tindakan pemaksaan pemikiran apalagi mendekati pada tindakan kekerasan, maka pihak keamanan punya tugas untuk menindaknya.

Kedatangan pihak aparat keamanan ke kampus pada Rabu (3/5) terkait acara bedah buku dan ancaman terhadap penyelenggaraan bedah buku tentu patut diapresiasi. Tapi, nalar yang dibangun tidak kemudian melarang kegiatan bedah buku tetapi bagaimana menjamin kegiatan akademik tetap berjalan sesuai dengan kodratnya. Adapun jika ada penolakan terhadap acara, silahkan dilakukan di luar kampus atau membuat acara tandingan. Tidak tepat jika aparat keamanan justru meminta kampus untuk menghentikan kegiatan akademik semacam bedah buku. Ibaratnya, kampus akan “diserang” dua arah yakni dari pihak penolak dan aparat keamanan yang gagal menjaga iklim kebebasan akademik kampus.

Lebih jauh, ancaman kebebasan akademik dari sekelompok orang juga kabar buruk bagi Nawa Cita yang dikumandangkan Presiden Jokowi terutama yang terkait dengan aspek pendidikan. Kebijakan “Indonesia Pintar” tidak akan berjalan optimal jikalau model ancaman dan pemaksaan sebagaimana yang terjadi di IAIN Surakarta akan diadopsi ke seantero negeri. Bagaimana mau pintar jika belajar pun harus seragam dan “diawasi” orang yang tidak pada kompetensinya. Poin “Memperteguh kebhinekaan dan Memperkuat Restorasi Sosial Indonesia” hanya akan menjadi macan ompong jika aparat keamanan justru tidak mampu menjaga institusi kampus ketika mendapat ancaman.

Jika kampus semacam IAIN Surakarta yang notabene adalah institusi perguruan tinggi negeri bisa dengan mudahnya didikte oleh sekelompok orang yang cenderung abai dengan nalar akademik, apa kata dunia? Yang jelas, Deklarasi Aceh akan dianggap angin lalu dan hanya selebrasi semata jika tidak mampu melewati ujian pertamanya di IAIN Surakarta.

Artikel ini telah diterbitkan di http://gayengnews.com/ edisi tanggal 4 Mei 2017