Abidah El Khalieqy: Kartini, Perempuan Yang Luar Biasa Kritis

SINAR– “Kartini itu seorang muslimah, namun ia tidak suka dengan Islam. Tidak seharusnya peringatan Hari Kartini di zaman sekarang hanya dipandang dan dimeriahkan secara outfit atau artificial saja dengan menggunakan busana kebaya dan konde di rambut. Lha wong Kartini sendiri tidak suka mengenakan baju kebaya. Ia memakai kebaya ya karena saat itu hanya ada kebaya dan harus menggunakan itu. Kartini juga tidak suka dengan konde, saat di kamar pribadi bersama saudaranya ia lebih suka mengurai rambutnya,” kata Abidah El Khalieqy, penulis Novel Ada Apa dengan Kartini.

Novel yang ditulis berdasar skenario Film Ada Apa Dengan Kartini merupakan karya fiksi yang berdasarkan penelitian dan kajian yang mendalam. Abidah juga mengatakan bahwa ia melakukan kunjungan di Museum Kartini di Jepara sebagai kebutuhan penulisan novel tersebut.  “Ini memang fiksi, namun riset lapangan adalah hal mutlak untuk sebuah karya fiksi,” tuturnya.

Kartini yang sosoknya kita kenal sebagai perempuan berkebaya, santun karena berasal dari anak bangsawan ternyata adalah seorang perempuan yang luar biasa kritis. Pertama, saat ia diminta ayahnya untuk belajar mengaji Qur’an. Berulang kali ia meminta Guru Ngajinya agar memberi informasi tentang apa yang sedang ia baca. Namun sang Guru tak pernah memberi tahu. Hal ini menunjukkan bahwa ia adalah sosok pencari. Kedua, ia yang mendapat pasokan bacaan/buku dari Kakaknya, Kartono, membuat ia semakin kritis. Setiap hal yang ia rasa tidak sesuai dengan rasa keadilan dan kemanusiaan akan ia tulis dalam sebuah surat, dan surat tersebut ia kirimkan pada kawan-kawannya yang melanjutkan studi di Belanda. Saat menulis surat, janganlah membayangkan seorang perempuan menulis di atas meja dan duduk manis di atas kursi. Menurut kajian, Kartini selalu menulis surat di atas pohon meskipun ia berkebaya, dan tulisan tersebut di tulis dalam bahasa yang runtut hingga 40 halaman dalam Bahasa Kompeni, alias Bahasa Belanda. Hal tersebut menunjukkan seorang Kartini yang cerdas. Ketiga, meskipun Kartini hanya lulusan E.L.S atau setara SD, ia mampu menulis sebuah riset tentang Pernikahan Koja. Riset itu ia tulis saat usia 16 tahun, pasca pingitan pertamanya. Karyanya yang luar biasa tersebut telah dibaca para akademisi di Belanda dan dikatakan sebagai karya antropoli terbaik sepanjang masa.

Panjang lebar sang penulis novel mengisahkan tentang seorang Kartini yang umumnya tidak dikenal oleh masyarakat luas pada Talkshow Ada Apa dengan Karini yang diselenggarakan oleh Jurusan Tadris Bahasa Indoensia di Ruang Aula Pasca Sarjana IAIN Surakarta, Rabu (3/5).

Dr. Syamsul Bakri pun juga turut memberikan pendapatnya tentang  novel tersebut. Menurutnya kajian semacam ini penting. “Kajian ini penting. Membaca novel ini seperti membaca buku sejarah, namun sejarah jangan dicampur dengan mitos. Hal yang paling menarik adalah bentuknya novel namun seperti buku sejarah dan ditulis dengan ala tulisan fiksi,” terangnya.

Selebihnya, menurut Syamsul, mengenalkan Kartini kepada para generasi muda sangatlah penting. Jangan sampai para perempuan hanya mengenal Kartini sekedar melalui perayaan berkebaya dan masakan nusantara. Jauh lebih penting dari itu dimana arus globalisasi begitu dahsyat adalah mengenalkan pemikiran-pemikiran kritis Kartini sebagai sosok pejuang untuk perubahan, khususnya perubahan kaum perempuan. (Yin/ Humas Publikasi) #BanggaIAINSurakarta