Pendidikan Nilai Dan Karakter Dalam Tradisi Sadranan

Oleh: Rohim Habibi, S.Pd.I.
(Staff Lembaga Penjaminan Mutu)

#BanggaIAINSurakarta

Indonesia adalah negara multi kultural, negara yang terdiri dari berbagai pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya, adat (tradisi) atau kebiasaan yang berbeda-beda. Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui kebudayaan manusia beradaptasi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan.

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kebudayaan. Manusia disatu sisi menjadi kreator sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus berlangsung mengikuti alur jaman. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptayan kembali. Perkembangannya bisa berlangsung cepat dan juga berkembang secara perlahan tergantung manusia.

Dalam sejarah perkembangan kebudayaan mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebut saling berinteraksi secara terus-menerus menjadi norma yang kemudian ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat dan wariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

Salah satu budaya yang mengalami akulturasi yakni tradisi sadranan. Sadranan, sebagian orang menyebutnya sebagai ruwahan, dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sya’ban atau menjelang Ramadhan. Pada bulan ini kebanyakan masyarakat berdoa (mengirim doa) kepada pada leluhur yang telah meninggal dunia agar diampuni dosa-dosanya, diterima amal baiknya, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Ritus ini dipahami oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan budaya para nenek moyang. Ritus yang tetap bertahan meski jaman menjadi modern dan ilmiah.

Tradisi sadranan merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Sadranan merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami. Sadranan menjadi contoh akulturasi agama dan kearifan lokal.

Akulturasi budaya sangat terlihat nyata pada tradisi sadranan yang dipraktekkan oleh masyarakat Jawa. Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha sekitar abad 15. Dalam perjalanannya, sadranan mengalami akulturasi dengan budaya Islam. Sadranan yang dulu syarat dengan pemujaan roh kemudian diluruskan niatnya kepada yang Maha Esa oleh para ulama (wali songo). Akulturasi budaya tersebut kini telah menjadi laku tetap bagi masyarakat Jawa. Tradisi sadranan mampu menyatukan heterogenitas masyarakat Jawa. Tradisi yang kental akan nilai-nilai pluralitas dan menjadi watak masyarakatnya.

Selain nilai-nilai tersebut, masih banyak nilai-nilai agung yang terpendam dalam tradisi sadranan. Nilai-nilai tersebut menjadi karakter bagi masyarakat Jawa. Karakter yang secara tidak disadari terintegrasi dalam jiwa generasi berikutnya.

Makna Ritual Sadranan

Setiap bulan Ruwah atau Sya’ban, masyarakat Jawa berduyun-duyun datang ke makam dan melakukan ritual bersama. Semua orang bercampur membaur dalam satu tempat dan niat. Semua agama duduk bersilah bersama tanpa ada rasa saling menang sendiri. Tanpa merasakan perbedaan. Bahkan ada beberapa orang yang sangat mengilhami laku itu hingga menangis. Merasa bahwa leluhurnya perlu beri apresiasi sangat besar dengan cara do’a bersama. Memohon kepada yang Maha Kuasa agar leluhurnya (ahli kubur) diampuni semua keburukan dan diterima amal ibadahnya serta ditempatkan di Surga yang indah. Laku masyarakat itu adalah laku sadranan dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus sadranan tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Sadranan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual Sadranan biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga
jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih
tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Pertama biasanya masyarakat melakukan bisik atau bersih makam. Bisik ini dilakukan pada sore hari. Semua anggota keluarga datang ke makam dan membersihkan semua area pemakaman. Selesai melakukan pembersihan makam, masyarakat menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Ada juga yang dilakukan pada pagi hari. Sebelum dilakukan Kenduri masyarakat memberi tahu kepada masyarakat lain melalui pengeras suara di Musholla dan Masjid. Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir dalam acara kenduri itu. Tiap keluarga biasanya akan membawa makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama. Kemudian, tokoh masyarakat membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, dilakukan doa bersama dengan di pimpin oleh ulama setempat.

Sebagian masyarakat, tradisi sadranan dikemas dalam bentuk pengajian. Masyarakat berkumpul dalam tempat tertentu seperti madrasah atau masjid dekat makam yang telah ditentukan oleh panitia. Sejak pagi hari masyarakat bersama-sama melakukan kerja bakti menyiapkan keperluan kenduri atau pengajian. Menyiapkan masakan yang akan dihidangkan pada saat pengajian bersama-sama. Kemudian mereka pulang dan bersiap-siap untuk melakukan ritual kenduren.

Kenduri diawali dengan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an kemudian dilanjutkan shalawat. Setelah itu masyarakat bersama-sama membaca tahlil untuk para leluhur dan ahli kubur. Pembacaan tahlil biasanya dipimpin oleh ulama desa. Saat pembacaan tahlil, semua aktifitas masyarakat berhenti. Dilanjutkan dengan do’a tahlil. Do’a tahlil biasanya berisi permohonan ampun untuk para leluhur dan permohonan agar leluhur dan para ahli kubur ditempatkan di sisi-Nya. Tidak lupa permohonan kebaikan dan ketentraman bagi desa dan semua warga desa, baik dunia maupun akhirat. Ditutup dengan do’a sapu jagat.

Dari tata cara tersebut, jelas sadranan tidak sekadar ziarah ke makam leluhur, tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotong-royong, guyub, pengorbanan, ekonomi. Nilai-nilai itu dipraktekan oleh masyarakat Jawa dari generasi ke generasi. Sadranan sudah melekat dan menyatu pada masyarakat Jawa lintas generasi. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme warga, bahkan banyak anggota keluarga yang sedang merantau di luar kota pulang untuk melakukan sadranan dan ziarah. Mereka pulang untuk melakukan tradisi ini, sekaligus untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda.

Pendidikan Nilai dan Karakter Dalam Tradisi Sadranan

Ritual sadranan memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat Jawa. Karakteristik kuat orang Jawa sangat tampak dalam ritual tahunan tersebut. Tradisi sadranan selain bermakna ritualistik juga syarat akan pendidikan nilai dan karakter. Dalam tradisi sadranan terdapat proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai dari seseorang kepada masyarakat, dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Sadranan menjadi media internalisasi nilai-nilai agama dan budaya kepada masyarakat.

Sadranan memiliki beberapa pendidikan nilai dan karakter yang tinggi, diantaranya:

1. Nilai Religius

Masyarakat Jawa terkenal sebagai masyarakat yang religius. Religius maksudnya berhubungan dengan praktek ketuhanan. Masyarakat yang percaya akan adanya kekuatan yang maha dasyat diluar kemampuan manusia. Nilai religius ini juga tampak sangat jelas dalam ritual sadranan. Ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Do’a merupakan unsur penting dalam pelaksanaan ritual sadranan. Permohonan ampunan dan permohonan surga bagi para leluhur dilakukan dengan tahlilan yang dipimpin oleh ulama setempat. Selain itu, ritual ziarah yang meliputi sadranan, merupakan pengeJawantahan dari nilai religius. Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa setiap manusia akan kembali kepada yang Maha Esa.

2. Nilai Syukur

Masyarakat Jawa seperti telah diketahui, merupakan masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu mempunyai kesadaran akan kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk persembahannya yaitu melalui laku syukur. Syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepadanya setiap waktu. Sadranan merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa kepada Tuhan Yang Maha Kaya. Masyarakat berduyun-duyun mensodaqohkan makanan atau jajanan kepada saat sadranan. Tidak ada paksaan dalam laku ini. Masyarakat dengan suka-rela menyumbangkan sesuatu semampunya untuk orang lain. Masyarakat Jawa sangat mengilhami betul surat Ibrahim Ayat 7, bahwa “….Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Masyarakat Jawa menolak azab yang besar melalui laku sadranan.

3. Nilai Gotong-royong (Rukun)

Sikap rukun telah menjadi ciri yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan sikap rukun dalam kehidupan sosial kemasyarakat lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada pribadi., jauh dari rasa permusuhan, saling tolong menolong dalam kebaikan. Perintah wata’awanu alal birri wattaqwa bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar di atas kertas, tetapi teraktualisasikan dalam laku sosial, bahkan menjadi kebutuhan sosial masyarakat.

Seperti halnya tradisi sadranan di Jawa dirasakan menjadi milik bersama, dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dijiwai oleh rasa kebersamaan saling tolong menolong tanpa rasa perselisihan, merasa saling mengungguli. Oleh karenanya sadranan merupakan perwujudan dari laku rukun masyarakat Jawa.

4. Nilai Saling Menghormati (Pluralisme)

Sadranan hakekatnya adalah ziarah kubur. Masyarakat Jawa bersama-sama datang ke makam dalam rangka mendo’akan leluhur atau ahli kuburnya. Tidak ada kekhususan bahwa ziarah dilakukan oleh orang muslim. Semua diperbolehkan melakukan ritual ini, pun dengan non muslim. Melalui laku sadranan, nilai-nilai saling menghormati perbedaan ditanamkan kepada setiap generasi. Di tempat itu, semua orang menjadi satu atas nama persaudaraan. Setelah selesai ziarah, setiap orang yang keluar dari makam salam bersalaman, saling menbarkan kedamaian. Tua kepada yang muda, yang muda kepada yang tua saling berjabat-tangan. Ya, sadranan bagi masyarakat Jawa merupakan perwujudan laku saling menghormati perbedaan atau pluralisme.

Sadranan merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang syarat nilai dan karakter luhur. Tradisi apapun bentuknya jika tidak dijaga dan dilestarikan akan hilang tergerus jaman. Jika bukan manusia sekarang, lalu siapa lagi yang akan menjaga dan mengamalkan tradisi luhur para leluhur kita.

Referensi Bacaan

Abdullah Faishol dan Syamsul Bakri, Islam dan Budaya Jawa, Surakarta: Elsab, 2014.

Depan RI, Al Qur’an dan Terjemahan, Semarang: CV. Toha Putra, 1989.

https://www.academia.edu/25628669/Resensi_Buku_ETIKA_JAWA_Franz_Magnis-_Suseno_SJ diakses pada 15 Mei 2017.

https://id.wikipedia.org/wiki/Nyadran diakses pada 15 Mei 2017.

dan lainnya.