Fenomena Berita Hoax dan Gagagalnya Dunia Pendidikan

Terdapat sebuah fenomena yang menarik untuk ditilik berkaitan dengan perkembangan informasi di jagat dunia maya. Dunia maya menyajikan banyak manfaat, namun tak dapat dihindari juga muncul sisi negatif pula. Sebagaimana kita ketahui, jagat maya memang menawarkan kecepatan untuk mendapatkan informasi. Kecepatannya jauh lebih cepat mengungguli media cetak konvensional yang dianggap tidak efisien.

Perkembangan akses digital media yang semakin maju, suatu informasi bisa didapat secara cepat hanya dengan jari-jemari di tangan. Namun, ada hal yang perlu diwaspadai oleh para warganet (netizen) dalam mengakses suatu informasi atau berita di internet. Kewaspadaan itu perlu ditingkatkan setelah muncul tren fenomena hoax (berita palsu) yang diproduksi oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan suatu politik- ekonomi.

Beberapa kelompok yang memproduksi sekaligus penyebar koten hoax yaitu Saracen. Sebagaimana dikutip dari laman DetikINET, Selasa, 29/08/2017, kelompok Saracen ini menggunakan lebih dari 2000 akun media untuk menyebarkan konten kebencian. Rilis resmi dari kepolisian menyebutkan bahwa akun yang tergabung dalam jaringan kelompok Saracen berjumlah lebih dari 800.000 akun. Angka yang cukup fantastis ini tentu tak terbayang berapa juta para pembaca yang telah menjadi korban dari konten hoax.

Konten hoax paling banyak diproduksi biasanya bertemakan tentang kesehatan, politik, ekonomi-bisnis, bahkan agama. Konten hoax yang diproduksi oleh kelompok saracen sebenarnya bukan barang baru. Sejarah mencatat, istilah hoax dalam suatu pemberitaan maupun artikel sudah muncul sejak lama. Seorang sarjana bernama Lynda Walsh dengan bukunya berjudul Sins Against Science mengatakan bahwa konten hoax adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang sudah ada sejak era revolusi industri Ingris. Kata hoax diperkirakan pertama kali muncul pada tahun 1808.

Bahkan lebih lama lagi, seorang sarjana bernama Alexander Boese dengan bukunya berjudul Museum of Hoaxes, menyatakan hoax pertama yang dipublikasikan yaitu sistem penanggalan palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada tahun 1709. Jonathan Swift saat itu meramalkan meninggalnya astrolog John Partridge supaya dapat meyakinkan publik. Jonathan bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Swift membuat kabar bohong ini untuk mempermalukan Partridge di hadapan publik yang mengakibatkan Partridge berhenti dan “minder” membuat penanggalan astrologi hingga enam tahun setelah hoax tersebut tersebar. Karya Alexander Boase semakin dikenal ketika buku dengan judul yang sama diangkat dilayar lebar pada tahun 2006.

Mengapa Banyak Orang Termakan Konten Hoax ?

Menurut sebuah penelitian oleh Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Wina Armada Sukardi menyebutkan, “hoax” yang paling banyak tersebar adalah mengenai informasi kesehatan. Saya melihat, banyaknya masyarakat yang termakan berita hoax ini disebabkan oleh kultur skeptis dan model pendidikan Indonesia yang tidak dialektis. Sebagian masyarakat Indonesia memang terbilang “kagetan”, masyarakat kita begitu mudah mempercayai suatu kabar dari mulut ke mulut tanpa meng-kroscek sumbernya langsung, budaya gosip seolah menjadi sebuah pembenaran paling nyata dalam setiap pembicaraan.

Demikian juga dengan model pendidikan kita yang lebih mengutamakan hafalan. Guru pemberi materi, sementara murid diharuskan menghafal semua teori yang disampaikan guru tanpa mengkiritisinya atau berdialektis mempertentangkan dua teori yang ada. Dalam hal ini, murid mempersepsikan diri bahwa guru adalah kebenaran mutlak yang tidak terbantahkan. MenurutPaulo Freire, seorang tokoh pendidikan dari Brasil menjelaskan bahwa pendidikan sistem ini seperti model Bank, dimana murid diibaratkan sebuah bejana kosong yang harus diisi dengan ilmu pengetahuan. Model pendidikan ini kemudian menurut saya yang menumbuhkan mental “sendiko dhawuh”, dimana berbagai suatu pengetahuan selalu diterima tanpa perlu dibuktikan kebenarannya. karena terbiasa dididik seperti inilah kita sering mudah termakan berita hoax. Korban hoax semakin banyak dengan kondisi budaya masyarakat Indonesia yang minat bacanya rendah.

Upaya Mengenali Hoax

Konten hoax sebenarnya mudah dikenali. Dalam teori linguistik, kita mengenal semiotika dan pragmatika sebagai sebuah kajian dari cabang ilmu lingustik yang mempelajari tanda-tanda dan maksud (pemaknaan) dalam pesan. Dalam hal ini, sebuah narasi hoax bisa sangat mudah dikenali jika seseorang mengetahui tanda-tanda dari pola-pola hoax yang sudah dikenali. Tanda-tanda hoax ini di antaranya menggunakan jenis kalimat paranoid (ketakutan).

Dalam perpespektif pragmatika, penggunaan kalimat paranoid oleh para pembuat konten hoax ini dimaksudkan untuk mempercepat tersebarnya informasi. Kondisi takut selalu diikuti dengan keadaan tidak baik. Hal inilah yang membuat pembaca konten hoax berfikir untuk segera membagikan suatu informasi yang didapatkanya ke orang lain.

Beberapa contoh konten hoax yang menggunakan penanda kalimat paranoid yaitu berita tentang Penculikan Anak Oleh Orang Gila di Wilayah Pantura (Pemalang, Brebes, Tegal) yang terbukti hoax. Selain itu, frasa “mohon sebarkan” atau “mohon viralkan” yang diselipkan dalam sebuah konten hoax patut diwaspadai. Pasalnya frasa ini sering digunakan dalam medio propaganda sebuah pesan berantai. Semiotika lainnya, konten hoax sering dijumpai menggunakan tata bahasa yang tidak baik dan benar. Penyebutan instansi yang tersemat dikonten hoax jika diperhatikan banyak yang tidak sesuai dengan EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) dan muatan kontenya pun cenderung provokatif-agitatif.

Sementara dalam dunia Intelijen, kita mengenal sebuahistilah Admiralty Code.Admiralty Code ini suatumetode yang digunakan para Intelijen untuk menilai kebenaran suatu informasi berdasarkan sumbernya. Sumber A1 adalah informasi yang didapatkan langsung dari sumber terkait (Completely reliable), A2 merupakan sumber yang didapatkan dari pihak ke dua (Usually reliable), A3 dari pihak ke tiga (Fairly reliable), A4 dari pihak ke empat (Not usually reliable), A5 dari pihak ke lima (Unreliable), A6 dari pihak ke enam (Reability cannot be judget), dan seterusnya.

Jelasnya, semakin suatu berita didapatkan dari sumber paling buncit, kesimpangsiuran dan kebenarannya semakin diragukan. Sebagai contoh, “Minggu lalu saya bertemu dengan si A yang menginformasikan bahwa si B bercerita kepadanya tentang si C yang diceritakan oleh si D tentang si E yang membunuh adiknya”. Kaitanya dengan konten hoax, warganet harus benar-benar selektif dalam memilih portal berita yang kredibel, Netizen perlu mengkritisi apakah berita yang didapatkanya dari pihak A1 atau bukan, jangan mudah percaya terhadap berita broadcast message dalam sosial media yang susah dinilai dengan metode Admiral Code.

Dalam hal ini, Netizen perlu mengklarifikasi kebenaran suatu berita yang didapatkanya ke portal media kredibel lain yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Jika berita tersebut juga dimuat dalam konten yang sama, bisa dipastikan kebenaranya.

Netizen juga perlu bergabung di komunitas pengkaji konten hoax seperti Indonesian Hoaxes, Masyarakat Anti Hoax, maupun Forum Anti Fitnah. Ada banyak metodologi yang digunakan ketiga forum itu dalam membedah berita hoax. Mulai dari pencarian konten yang diduga hoax melalui teknologi Googel Image, analisis propaganda, analisis leksikal bahasa, hingga pencarian kebenaran suatu berita langsung di lapangan. Sejauh ini forum-forum pengkaji berita hoax cukup membantu mencerahkan kesimpangsiuran sebuah berita.

DAFTAR PUSTAKA

Museum of Hoaxes( E.P. Dutton, 2002, ISBN 0-525-94678-0)

Sins Against Science: The Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others, ISBN13: 978-0791468784

https://www.detik.com/news/kolom/d-3619894/fenomena-apakah-saracen-itu?_